Energi

Sebuah Kejahatan Bernama “Illegal Drilling”

Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi

illegal drilling dapat diketegorikan sebagai kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime), oleh sebab itu penegakan hukum illegal drilling harus dilaksanakan

Ngatijan tenaga ahli Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (SKK Migas) pada Local Media Briefing SKK Migas yang diikuti wartawan media nasional, wartawan daerah dari Sumatera Selatan (Sumsel) dan Jambi berlangsung di Pangkalpinang, Jumat (5/11) memaparkan tentang kegiatan illegal drilling di Indonesia.

Menurut Ngatijan dengan mengutip data tahun 2020, khusus di Sumatera ada sekitar 4.500 sumur ilegal dengan produksi berkisar 2.500 BPOD (barrel oil per day). Kegiatan illegal drilling tersebut tersebar dari Aceh sampai ke Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel). Di Sumbagsel illegal drilling terpusat di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dan Jambi.

Tahun 2013 www.oilprice.com menyebutkan bahwa illegal drilling adalah salah satu dari praktek pencurian minyak. Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan tingkat pencurian minyak terbesar setelah Nigeria, Meksiko, Irak, dan Rusia.

Berdasarkan data Kementerian Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) aparat keamanan telah melakukan penindakan hukum terhadap pelaku kegiatan illegal drilling. Pada tahun 2018 telah ditetapkan 168 tersangka, tahun 2019 ditetapkan 248 tersangka, dan pada 2020 ditetapkan 386 tersangka.

Akibat dari kegaiatan illegal drilling negara dirugikan. “Illegal drilling selain merugikan negara juga merusak lingkungan dan menyebabkan banyak korban jiwa,” kata mantan Kepala Divisi Operasi Produksi SKK Migas.

Selain itu menurut Ngatijan, illegal drilling adalah kegiatan hulu minyak dan gas (migas) yang merupakan perbuatan melanggar hukum. Illegal drilling melanggar UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas dan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam UU No.22 Tahun 2001 pada Pasal 4 ayat 2 menyebutkan, penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

Pasal 6 ayat 1 menyebutkan, Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksup dalam PasaI 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.

Kemudian dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja kegiatan hulu migas diatur dalam Pasal 4 ayat 2, Penguasaan oleh Negara, diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat melalui kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Pada 5 ayat 1 mengatur bahwa Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Sementara itu kegiatan illegal drilling dilakukan oleh perseorangan tanpa melalui kontrak kerjasama atau perizinan dari pemerintah. Jelas kegiatan illegal drilling adalah perbuatan melanggar hukum atau kejahatan yang diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam ) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000 (enam puluh miliar rupiah).

Jika demikian, praktik illegal drilling sejatinya adalah sebuah kejahatan yang melanggar UU No. 22 Tahun 2001 atau UU No.11 Tahun 2020. Di Sumsel dan Jambi illegal drilling sudah berlangsung lama dan sangat endemis. Kini kegiatan illegal drilling semakin marak dengan dukungan pemodal dari luar daerah dan terkesan dilindungi aparat.

Jangan disalahkan jika ada yang menyatakan, penanganan illegal drilling dilakukan setengah hati karena setelah ditindak kegiatan melanggar hukum tersebut berulang kembali.

Nara sumber lainnya, Halilul Khairi Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) menyatakan, tak kunjung tuntasnya penanganan illegal drilling adalah dampak dari sentralisasi yang ada dalam UU No. 11 tahun 2020 pada sektor minyak dan gas (migas). Sentralisasi dalam UU Cipta Kerja ada pada persetujuaan tata ruang menjadi kewenangan pemerintah pusat padahal sebelumnya berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 adalah kewenangan kabupaten/ kota.

Lihat Juga  2020 Medco Fokus Pengembangan UMKM di Sumsel

Kemudian izin pemanfaatan ruang laut sampai 12 mil yang semula menjadi kewenangan provinsi berdasarkan UU No.11 Tahun 2020 menjadi kewenangan pemerintah pusat. Demikian pula untuk persetujuan lingkungan berdasarkan Pasal 12 ayat (2) PP Nomor 22 Tahun 2021, menjadi kewenangan pemerintah pusat.

“Akibat dari sentralisasi kewenangan tersebut maka tanggung jawab lebih banyak pada pemerintah pusat. Pemerintah akan kewalahan untuk pengawasan dan penindakan yang lokasinya di daerah seperti yang terjadi pada penanganan illegal drilling,” kata Halilul Khairi pada Local Media Briefing yang juga berlangsung secara daring.

Kepala Perwakilan SKK Migas Sumbagsel Anggono Mahendrawan pada pembukaan Local Media Brefing mengatakan, “Illegal drilling adalah masalah serius karena juga berdampak pada pencemaran lingkungan, kecelakaan pekerja, dan tidak adanya pemasukan untuk pendapatan daerah dari kegiatan tersebut.”

Anggono Mahendrawan memperingatkan, maraknya praktik illegal drilling bisa mengancam investasi di industri hulu migas. Keberadaan sumur-sumur ilegal dapat mengurangi minat investasi para investor menanamkan investasinya pada sektor migas.

“Kewenangan SKK Migas adalah melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan hulu migas yang berdasarkan kontrak kerja sama. Namun kami memang mengalami kesulitan karena kegiatan sumur ilegal ini tidak memenuhi kaidah yang berlaku,” katanya.

Kepala Perwakilan SKK Migas Sumbagsel menegaskan bahwa selama ini pelaku illegal drilling berlindung dengan mengatasnamakan peningkatan ekonomi masyarakat. “Kegiatan sumur ilegal sering yang menjadi pembenaran adalah menjadi penopang ekonomi masyarakat sekitar, tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang nyata dan aspek keselamatan maupun lingkungan,” katanya.

Menurut Agggono, dampak ekonomi sumur-sumur ilegal ini kecil. Tidak ada keuntungan atau penerimaan negara dari illegal drilling. “Ada kemungkinan masyarakat hanya menjadi korban eksploitasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terkait illegal drilling. Mungkin mereka mendapatkan uang sewa lahan. Tapi bagaimana dengan pemanfaatan lahan yang membuat lahan jadi rusak, yang juga berimbas lahan masyarakat sekitar sumur ilegal,” ujarnya.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pada 2020 menyatakan bahwa aktivitas pengeboran ilegal atau illegal drilling ini menjadi masalah yang serius. “Ini memang masalah serius, perkiraan produksi dari illegal drilling itu 10.000 barel per hari,” ujarnya.

Pasca terjadinya ledakan dan kebakaran sumur minyak ilegal di Musi Banyuasin Batanghari, Jambi muncul wacana untuk merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) No.1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua. Sepertinya wacana ini janggal, yang bermasalah sumur minyak ilegal yang direvisi aturan tentang sumur minyak tua.

Maka tak salah jika Kepala Perwakilan SKK Migas Sumbagsel Anggono Mahendrawan menyatakan, wacana revisi Peraturan Menteri ESDM No.1 Tahun 2008 justru tidak seirama dengan kegiatan pemberantasan sumur-sumur minyak ilegal. “Bahkan menjadi potensi meningkatkan kegiatan sumur ilegal,” katanya.

Wacana tersebut setali tiga uang dengan wacana yang sebelumnya juga mencuat untuk melegalkan kegiatan illegal drilling dengan melegalkan sumur-sumur minyak ilegal. Menurut Ngatijan wacana tersebut tidak tepat. “Yang harus dilakukan adalah menata illegal drilling,” ujarnya.

Kegiatan illegal drilling bukan hanya kejahatan yang melanggar UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas dan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, juga menjadi bagian dari kejahatan lingkungan yang menabrak UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut Beny Bastiawan Kepala Subdit Penanganan Pengaduan Lingkungan Hidup dan Kehutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan (LHK) yang juga menjadi pembicara pada Local Media Briefing SKK Migas, kegiatan illegal drilling juga diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Lihat Juga  40 Tahun PTBA Bagikan 9000 Paket Sembako untuk Dhuafa

Pada pasal 22 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009 mengatur bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak terhadap Lingkungan Hidup wajib memiliki : a. Amdal; b. UKL-UPL; atau c. SPPL. Kemudian pada pasal 60 mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

Illegal drilling menurut Beny Bastiawan adalah kegiatan pengolahan minyak mentah yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. “Perbuatan ini melanggar UU Nomor 32 tahun 2009 pasal 98 sebagaimana telah diubah pada UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berbunyi, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara, ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku, kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah),” katanya.

Kemudian kegiatan pengolahan minyak mentah tanpa memiliki persetujuan berusaha juga melanggar UU No.32 Tahun 2009 Pasal 109 sebagaimana telah diubah pada UU Cipta Kerja yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Saat ini regulasi untuk menangani illegal drilling sudah ada berikut perangkat peraturan di bawah UU, jadi tak perlu ragu untuk melakukan penegakan hukum terhadap illegal drilling yang sudah berlangsung lama dan sangat endemis. Keberhasilan penegakan hukum pidana untuk menanggulangi illegal drilling tidak hanya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan saja melainkan juga keberhasilan aparat penegak hukum yang melaksanakan penegakan hukum mulai dari tingkat penyidikan sampai tingkat peradilan.

Untuk menangani illegal drilling yang telah menjadi endemis upaya pencegahan preventif (non penal) saja tidak cukup. Fakta di lapangan, yang terjadi illegal drilling  semakin meluas, kini saat dilakukan pencegahan upaya penanggulangan (represif). Pemulihan kembali keseimbangan yang terganggu akibat adanya suatu kejahatan yang bernama illegal drilling diperlukan sekali adanya tindakan secara represif dengan menjatuhkan sanksi pidana pada barang siapa yang melakukan pencurian minyak secara ilegal sesuai dengan peraturan dan hukum acara yang berlaku.

Belajar dari penanganan pinjaman online (pinjol) setelah keluar instruksi Presiden Joko Widodo aparat penegak hukum atau polisi langsung bergerak cepat menangani membongkar berbagai perusahaan fintech ilegal yang tersebar di berbagai daerah. Seharusnya dalam kasus illegal drilling juga ada perlakuan yang sama dari penegak hukum karena tahun 2017 Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan instruksi bahwa pada akhir 2017 tidak ada lagi kegiatan pengeboran minyak ilegal atau zero illegal drilling.

Seharusnya illegal drilling sudah berhasil ditangani sejak empat tahun lalu. Kini bukan saat yang tepat untuk membahas kembali tentang cara-cara penanggulangan illegal drilling karena itu sudah dibahas sejak beberapa tahun lalu sekarang saatnya beraksi menegakan hukum bagi para pelaku tindak pidana illegal drilling yang menurut pakar hukum pidana Mudzakir dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) bahwa illegal drilling dapat diketegorikan sebagai kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime), oleh sebab itu penegakan hukum illegal drilling harus dilaksanakan tanpa harus menunggu laporan dari masyarakat.

[Tulisan ini adalah Pemenang II pada lomba “Media Kompetisi 2021” SKK Migas Sumatera bagian Selatan]

Editor : MA

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button