Tradisi Kuno Penuh Cinta dan Rasa Hormat, Warga di Desa Ini Dilarang Pakai Sepatu
EkbisNews.com – Sebagai orang India, saya selalu merasa nyaman bertelanjang kaki.
Selama bertahun-tahun, saya terbiasa melepas sepatu sebelum masuk ke rumah (agar tidak membawa kuman ke dalam rumah), ketika saya mengunjungi rumah teman dan keluarga, atau selama beribadah di kuil-kuil Hindu.
Namun, terlepas dari itu, saya bahkan tidak siap untuk Andaman.
Sekitar 130 keluarga tinggal di sana dan mayoritas dari mereka bekerja sebagai buruh tani di sawah-sawah sekitarnya.
Di bawah pohon inilah, kisah yang menjadi ciri khas desanya dimulai karena di sanalah titik di mana penduduk desa melepas sandal atau sepatu mereka dan menentengnya ketika memasuki desa.
Tidak ada seorang pun di desa Andaman, kecuali yang sangat tua dan lemah, yang memakai sepatu, kata Arumugam kepada saya. Dia sendiri bertelanjang kaki, meskipun dia mengatakan dia berniat untuk segera memakai sandal, terutama di bulan-bulan musim panas mendatang.
Ketika saya berjalan melewati desa dengan kaus kaki tebal saya, saya kagum melihat anak-anak dan remaja yang bergegas ke sekolah dan pasangan-pasangan yang pergi kerja, semuanya dengan santai membawa sepatu mereka di satu tangan.
Sepatu itu terlihat seperti aksesoris, seperti dompet atau tas. Saya menghentikan Anbu Nithi, 10 tahun, yang mengayuh sepedanya dengan kaki telanjang.
Nithi duduk di kelas lima di kota yang berjarak 5 km dari desa itu, dan dia menyeringai ketika saya bertanya apakah dia pernah melanggar aturan bertelanjang kaki di desa.
“Ibu saya memberi tahu saya bahwa seorang dewi yang sangat kuat bernama Muthyalamma melindungi desa kami, sehingga kami tidak boleh memakai sandal di sini untuk menghormati-Nya,” katanya. Dikutip ekbisnews.com dari laman sripoku.com
“Jika saya mau, saya bisa, tapi itu akan seperti menghina seorang teman yang dikagumi semua orang.
Saya dengan cepat menemukan bahwa semangat inilah yang membuat Andaman berbeda. Tidak ada yang memaksakan praktik itu. Tradisi itu bukan aturan agama yang ketat, melainkan tradisi kuno yang penuh cinta dan rasa hormat.
“Kami adalah generasi keempat dari penduduk desa yang hidup seperti ini,” kata Karuppiah Pandey, seorang pelukis berusia 53 tahun. Dia menenteng sepatunya, tetapi istrinya, Pechiamma, 40, yang bekerja di ladang untuk memanen padi, mengatakan dia sama sekali tidak peduli dengan alas kaki kecuali ketika dia pergi ke luar desa.
Ketika seseorang mengunjungi desa mengenakan sepatu, mereka mencoba menjelaskan aturannya, katanya. Tetapi jika mereka tidak mematuhi, aturan itu tidak pernah dipaksakan.
“Ini murni pilihan pribadi yang dianut oleh semua yang tinggal di sini,” kata Pechiamma. Meskipun dia tidak pernah memberlakukan aturan itu pada empat anaknya – yang sekarang sudah dewasa dan bekerja di kota lain – mereka semua mengikuti kebiasaan itu ketika mereka mengunjunginya.
Tetapi ada saat ketika warga menaati aturan ini karena rasa takut.
“Sebuah legenda mengatakan demam misterius akan menyerang Anda jika Anda tidak mengindahkan aturan itu,” kata Subramaniam Piramban, 43, seorang pengecat rumah yang tinggal di Andaman seumur hidupnya.
“Kami tidak hidup dalam ketakutan ini, tetapi kami sudah terbiasa memperlakukan desa kami seperti ruang sakral — bagi saya, desa ini seperti bagian kuil,” katanya.
mengetahui bagaimana legenda ini berkembang, saya dirujuk ke seorang sejarawan awam desa. Lakshmanan Veerabadra, 62, adalah kisah sukses mengejutkan di desa kecil ini. Kini, ia mempunyai sebuah perusahaan konstruksi di Dubai, setelah bekerja sebagai buruh upahan harian di luar negeri empat dekade yang lalu. Dia sering pulang ke desa, kadang-kadang untuk merekrut personel, tetapi kebanyakan untuk tetap terhubung dengan “akarnya”.
Tujuh puluh tahun yang lalu, katanya, penduduk desa memasang patung tanah liat pertama Dewi Muthyalamma di bawah pohon Mimba di pinggiran desa.
Saat pendeta sedang menghiasi patung itu dan orang-orang sedang khusyuk berdoa, seorang pria muda berjalan melewati patung dengan sepatu.
Tidak jelas apakah pria ini memang berniat untuk melecehkan upacara itu, tetapi legenda itu mengatakan ia kemudian jatuh di tengah jalan. Malam itu, ia diserang demam misterius, dan butuh waktu berbulan-bulan baginya untuk pulih.
“Sejak saat itu, orang-orang di desa tidak memakai alas kaki apapun,” kata Veerabadra. “Hal itu berkembang menjadi cara hidup.”
Setiap lima hingga delapan tahun sekali, selama bulan Maret atau April, desa ini menyelenggarakan festival pemasangan patung tanah liat Muthyalamma di bawah pohon Mimba. Selama tiga hari, sang dewi dipercaya akan memberkati seluruh desa, sebelum patung itu kemudian dihancurkan berkeping-keping supaya kembali ke elemen tanah.
Selama festival, desa dipenuhi dengan doa, pesta, arak-arakan, tarian dan drama. Tetapi karena biaya yang besar, acara itu tidak diadakan setiap tahun. Festival terakhir diadakan pada tahun 2011 dan belum pasti kapan acara berikutnya akan diadakan. Semua tergantung dari sumbangan penduduk lokal.
Banyak orang luar yang memandang legenda itu sebagai semacam takhyul aneh, kata Ramesh Sevagan, 40, seorang pengemudi. Namun, paling tidak, katanya, legenda itu telah mengukir rasa identitas dan komunitas desa yang kuat.
“Tradisi ini telah menyatukan kita, membuat semua orang di desa merasa seperti keluarga,” kata Sevagan.
Kekeluargaan di desa itu, katanya, juga sudah melahirkan adat setempat. Ketika seseorang di desa itu meninggal, misalnya, terlepas dari apakah orang yang meninggal itu kaya atau miskin, penduduk desa akan menyumbangkan uang – masing-masing 20 rupee – kepada keluarga yang berduka.
“Selain ingin membantu tetangga, berada di sisi mereka di saat baik atau pun buruk, membuat kami merasa bahwa kami semua sama,” kata Sevagan.
Saya penasaran apakah paparan dunia luar dapat menghilangkan perasaan ini. Saya bertanya kepada Veerabadra yang tinggal di Dubai apakah dia masih memandang tradisi ini seperti dia memandangnya dulu. Dia bilang pandangannya masih sama. Bahkan hari ini, ia bertelanjang kaki di desa dan tetap antusias mengikuti tradisi ini.
“Kehidupan di mana pun bermulai dari kepercayaan sesederhana itu; hal itulah yang Anda lihat di desa kami.”
Saya bertemu Mukhan Arumugam, seorang laki-laki berusia 70 tahun, ketika dia sedang berdoa di bawah pohon mimba besar di pintu masuk desa.
Mengenakan kemeja putih dan lungi (sarung), wajahnya menghadap ke langit. Bahkan di akhir Januari, matahari saat itu terasa sangat menyilaukan.