JAJAN

Sumsel Memproduksi Listrik dari Geotermal

Oleh : Maspril Aries
Wartawan utama/ Penggiat Kaki Bukit Listrik

Awal tahun 2022 perusahaan energi PT Supreme Energy berbagi kabar gembira bahwa Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Rantau Dedap tahap-1 telah beroperasi komersil menghasilkan listrik yang masuk ke dalam jaringan PLN untuk meningkatkan keandalan pasokan listrik di wilayah Sumatra.

Supramu Santosa pendiri dan chairman PT Supreme Energy menjelaskan, PT Supreme Energy Rantau Dedap (SERD) perusahaan kerja sama antara PT Supreme Energy, ENGIE, Marubeni Corporation dan Tohoku Electric Power telah mengoperasikan PLTP Rantau Dedap dengan kapasitas 91,2 MW pada 26 Desember 2021.

PLTP RANTAU DEDAP – FOTO : DOK PTSERD

Dari PLTP yang berlokasi di Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) telah menghasilkan energi listrik dari geotermal atau panas bumi dengan memproduksi listrik yang bersumber dari energi hijau bebas karbon emisi.

Supreme Energy bukan perusahaan energi pertama yang memproduksi listrik dari geotermal di Sumsel. Sebelumnya sudah ada PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). Anak perusahaan Pertamina ini telah lebih dulu memproduksi listrik dari geotermal.  PT PGE dari PLTP Lumut Balai Unit 1 sudah berkontribusi memasok energi listrik untuk Sumsel dengan kapasitas 55 MW sejak September 2019.

Kehadiran PLTP di Sumsel membuktikan bahwa daerah ini kaya dengan sumberdaya alam yang memproduksi energi listrik. Listrik yang terang menyala di Singapura sumber energinya berasal dari gas Sumsel yang dikirim dengan pipa melalui bawah laut untuk mengubahnya menjadi listrik di pembangkit listrik atau power plant yang ada di negeri tersebut.

Selain panas bumi, Sumsel kaya dengan energi fosil berupa batu bara, minyak bumi dan gas. Tak salah jika daerah ini mendeklarasikannya sebagai provinsi lumbung energi. Sebagai lumbung energi produksi batu bara Sumsel mampu menerangi pulau Jawa dengan mengerakkan PLTU yang ada.

Batu bara, minyak dan gas adalah energi fosil yang terkandung dalam bumi Sumsel dan kini melengkapinya dengan geotermal atau panas bumi yang merupakan energi terbarukan berada di Rantau Dedap dan Lumut Balai.

Energi panas bumi merupakan energi terbarukan mulai dikembangkan di Indonesia tahun 1918 masa pemerintahan kolonial Belanda yang berlokasi di kawah Kamojang, Jawa Barat (Jabar). Pada 1974 Pertamina bersama PLN mulai mengembangkan pembangkit listrik di Kamojang dengan kapasiras 30 MW. Kemudian pada Februari 1983 PLTP Kamojang beroperasi.

Namun saat itu pengembangan energi panas bumi di Indonesia tidak terlalu signifikan kalah bersaing dengan pembangkit berbahan bakar fosil yang relatif murah, sampai kemudian terbit Peraturan Presiden (Perpres) No. 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Di tengah kebutuhan energi listrik Indonesia yang terus meningkat setiap tahun dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8.4 persen per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pasokan energi listrik nasional dari PLN sekitar 90 persen berasal dari pembangkit listrik berbahan baku fosil.

Lihat Juga  Target “Ground Breaking” Proyek DME PTBA Akhir Januari 2022

Ketersediaan bahan baku energi fosil (batu bara dan migas) jumlahnya sangat terbatas dan akan habis dalam jangka waktu tertentu. Belum lagi bahan baku energi dari batu bara habis, awal tahun 2021 PLN menyatakan krisis pasokan batu bara untuk PLTU. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) melalui Direktur Jendral Mineral dan Batu bara (Minerba) melarang ekspor atau penjualan batu bara ke luar negeri.

Krisis pasokan batu bara ke PLN yang mendapat perhatian sejumlah menteri terkait tersebut menjadi bukti ketergantungan Indonesia pada bahan baku energi fosil. Padahal dalam jangka panjang sifat sumber daya fosil yang tidak terbarukan akan tetap memicu kelangkaan yang berdampak pada kenaikan harga sampai ancaman pemadaman listrik masa akan datang.

Selain itu penggunaan energi fosil sebagai bahan bakar menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang memicu terjadinya perubahan iklim.

Di dunia diperkirakan minyak bumi, batu bara dan gas alam, memasok 88 persen dari kebutuhan energi global. Ketiga jenis energi fosil tersebut menghasilkan gas-gas seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan Nitrous Oksida (N2O) yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca berujung pada perubahan iklim dan pemanasan global.

Menyadari fakta itu negara-negara di dunia termasuk Indonesia menyikapi perubahan iklim salah satunya dengan mengurangi efek gas rumah kaca. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 26 persen pada tahun 2020 dan 29 persen pada tahun 2030, sesuai dengan konvensi perubahan iklim.

Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi. Penurunan emisi gas rumah kaca salah satunya bisa dilakukan dengan strategi pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Sebelum minyak bumi, batu bara dan gas alam habis atau pensiun sebagai bahan bakar penghasil energi listrik maka sudah saatnya Indonesia mengembangkan industri energi panas bumi.

Salah satu sumber energi terbarukan yang dapat menghasilkan tingkat emisi yang lebih ramah lingkungan adalah pemanfaatan geotermal atau tenaga panas bumi. Sudah saat nya Indonesia mengembangan sumber energi terutama untuk energi listrik yang mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Dalam buku berjudul “Pengembangan Industri Energi Alternatif : Studi Kasus Energi Panas Bumi Indonesia” (2014) yang diterbitkan LIPI menyebutkan ada dua alasan panas bumi layak dikembangkan di Indonesia. Pertama, Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar dan belum dimanfaatkan seacra optimal.

Menurut data Badan Geologi pada 2019, potensi panas bumi di Indonesia sebesar 23,9 Giga Watt (GW). Berdasarkan data Direktorat Panas Bumi Kementerian ESDM, potensi ini baru dimanfaatkan sebesar 8,9 persen atau 2.130,6 MW, masih banyak yang belum dimanfaatkan. Pemerintah menargetkan peningkatan pemanfaatan panas bumi menjadi 7.241,5 MW atau 16,8 persen pada 2025.

Lihat Juga  Pemkab Muba Bidik 10 Persen Saham Blok Sakakemang

Kedua, panas bumi merupakan sumber energi bersih dan terbarukan. Disebut sebagai energi bersih karena emisi CO2 yang dihasilkan dari energi panas bumi jauh lebih kecil dibandingkan energi fosil.

Dalam buku tersebut menyebutkan, “Apabila kebijakan pengembangan energi panas bumi berhasil dilakukan oleh pemerintah, panas bumi akan menggantikan pemakaian minyak bumi sedikitnya 4 miliar barel selama 30 tahun operasi pembangkit listrik tenaga paans bumi atau setara dengan cadangan terbukti minyak bumi Indonesia saat ini.

Dengan beroperasinya PLTP Rantau Dedap tahap 1 ditambah pasokan listrik dari PLTP Lumut Balai unit 1 maka geotermal dari Sumsel kini telah memproduksi energi listrik sebesar 146,2 MW yang dipasok untuk memenuhi kebutuhan listrik di Sumsel dan Sumatera melalui jaringan interkoneksi Sumatera.

PLTP SARULLA – FOTO : Dok Medco Energi

 

Di Sumatera sendiri ini telah beroperasi PLPT Sarulla di Sumatera Utara (Sumut) yang dikelola PT Medco Power dengan kapasitas 300 MW dan merupakan operasi geotermal kontrak tunggal terbesar di dunia. Kemudian PLTP Muara Laboh tahap 1 di Solok Selatan, Sumbar yang dioperasikan PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML) sebesar 85 MW. Di Lampung ada PLTP Ulubelu Unit 1 dan 2 yang dioperasikan PT PGE dengan kapasitas 55 MW.

Khusus di Sumatera Selatan masih ada potensi geotermal yang dikembangkan menjadi PLTP. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM di Sumsel ada 4 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), selain WKP Lumut Balai – Marga Bayur dan WKP Rantau Dedap, ada WKP Danau Ranau, WKP Tanjung Sakti dan Potensi Wai Selabung.

Di WKP Danau Ranau memiliki potensi cadangan terduga panas bumi 210 MW, WKP Tanjung Sakti di memiliki potensi cadangan terduga 70 MW dan Potensi Wai Selabung di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan memiliki potensi cadangan terduga 70 MW.

Kehadiran PLTP di Sumsel memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya. PLTP tidak memerlukan bahan bakar, ramah lingkungan dan juga mempunyai waktu operasional yang relatip lebih panjang dan tidak dipengaruhi cuaca serta kondisi air seperti pada PLTA.

Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan pembangunan PLTP. Keuntungan dibangunnya PLTP diantaranya Renewable & Green Energy.  Renewable karena sumur produksinya dapat diperbarui dengan system injection. Green Energy karena ramah lingkungan, hanya menghasilkan sedikit sekali pengotoran/polusi udara dibandingkan dengan menggumakan minyak bumi dan tidak memerlukan bahan bakar untuk menggerakkan turbin. ∎

Editor : Maspril Aries

 

 

 

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button