Kerajaan Sriwijaya dalam Pusaran 4 F
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Pemimpin Redaksi www.ekbisnews.com
Menjelang Agustus 2019, publik Sumatera Selatan (Sumsel) dibuat geger. Sebuah tayangan di chanel youtube menayangkan wawancara dengan Ridwan Saidi. Dalam wawancara dengan budayawan Betawi yang akrab dipanggil “Babe” membuat pernyataan atau opini yang mengatakan “Kerajaan Sriwijaya fiktif.”
Setelah opini Ridwan Saidi tersebut menjadi viral tak urung memicu protes berbagai lapisan masyarakat di Sumatera Selatan (Sumsel). Ramai-ramai membantah pernyataan Ridwan Saidi.
Kerajaan Sriwijaya itu fiktif, kata Ridwan Saidi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata : Fiktif berarti bersifat fiksi; hanya terdapat dalam khayalan. Selain fiktif selama ini Sriwijaya atau Kerajaan Sriwijaya berada dalam pusaran 4 (empat) F.
Pertama, Fiktif.
Ridwan Saidi menyatakan Kerajaan Sriwijaya itu fiktif. Kenapa dikatakan fiktif? Dalam kanal video Youtube berdurasi 15 menit, Ridwan Saidi menyebut Kerajaan Sriwijaya itu fiktif dan sebagai bajak laut. “Sriwijaya ini kan kerajaan fiktif. Itu kan bajak laut yang berpangkalan di Koromandel,” katanya.
Setelah viral Babe Ridwan Saidi banyak diwawancarai media. Ridwan Saidi memberikan penjelasan kepada para jurnalis muda bahwa pernyataannya didasari hasil penelitiannya dan hasil membaca beberapa buku. Menurutnya, tiga puluh tahun ia melakukan melakukan penelitian. Buku yang dibaca diantaranya, “The Timetables of History: A Horizontal Linkage of People and Events” karya Bernard Grun. Buku karya Josephus yang berjudul “Historica.” Juga buku berjudul “Geographia.” karya Claudius Ptolemaeus.
Ridwan Saidi adalah seorang pembaca buku yang memiliki koleksi buku-buku lama yang tidak gampang memperolehnya. Menurutnya, sebuah sejarah, tidak boleh lepas dari sejarah induk selanjutnya.
Kedua, Fakta
Setelah viral video Ridwan Saidi tersebut tak urung bermunculan protes dan bantahan dari beragam lapisan masyarakat, dari pakar sejarah, arkeolog, budayawan sampai politisi. Opini Ridwan Saidi dianggapo ngawur, tidak berdasar dan bahkan ada yang ingin melaporkan Ridwan Saidi ke polisi atas pernyataannya tersebut.
Seorang arkeolog senior dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) Bambang Budi Utomo yang sangat intens meneliti sejarah tentang Kerajaan Sriwijaya pun menggelar diskusi di sebuah kafe di Palembang. Bambang yang sudah dikenal wartawan/ jurnalis senior sejak 1990-an menyatakan ingin meluruskan pernyataan bengkok Ridwan Saidi.
Menurutnya, Sriwijaya adalah negara maritim, negara dagang dimana orang-orangnya terlalu disibukkan dengan kemaritiman dan perdagangan berbeda dengan Kerajaan Mataram di Jawa yang merupakan negara agraris. Sebagai negara maritim Sriwijaya jangkauan kekuasaannya menguasai Selat Malaka. Bukti negara maritim terdapat dalam catatan perjalanan seorang biksu Cina I-Tsing.
Menurutnya, sebutan yang melekat untuk Sriwijaya itu paling tepat adalah kedatuan Sriwijaya, bukan kerajaan dimana seorang penguasa diangkat dari penguasa-penguasa kecil dalam hal ini para datu. Kedatuan Sriwijaya adalah kumpulan datu-datu yang memiliki daerah tertentu. Bambang sudah sejak 1992 mengusulkan Sriwijaya menjadi tagline sejarah di Sumatera Selatan dan Palembang.
Selain itu, Sriwijaya merupakan satu-satunya kerajaan yang memiliki akte kelahiran yang tertuang dalam prasasti Kedukan Bukit. Sriwijaya juga sudah mengenal penataan kota. Wilayah Palembang sebagai tempat keberadaan Sriwijaya ada dataran tinggi, talang talang, ada rendah, ada taman, ada tempat suci di Bukit Siguntang, ada tempat pemukimannya di pinggir-pinggir sungai.
Mengenai tudingan Sriwijaya sebagai kumpulan bajak laut, Bambang menjelaskan, itu suku-suku laut yang jika Datu Sriwijaya berkeinginan untuk berperang suku-suku laut ini yang dimobilisasi untuk menjadi pasukannya. Datu Sriwijaya hanya minta bantuan ke suku-suku laut tersebut. Suku-suku pandai berperang di laut dan di darat, jadi mereka bukan bajak laut.
Pakar lain yang ikut berkomentar atas opini Ridwan Saidi tersebut juga datang dari Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Kacung Marijan. Menurutnya keberadaan Sriwijaya adalah takta tak terbantahkan. “Sebenarnya secara akademik tidak ada kontroversi karena apa yang dikemukakan pak Ridwan bukan akademik. Misal tidak berwujud karya ilmiah, paper atau buku ya enggak usah ditanggapi serius,” katanya.
Kemudian pakar sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menanggapi kontroversi opini Ridwan Saidi. Menurutnya Ridwan Saidi tidak tepat membahas Kerajaan Sriwijaya. Selama ini, Ridwan Saidi memang lebih dikenal sebagai budayawan Betawi. “Serahkan sesuatu kepada ahlinya. Ridwan Saidi bukan ahli sejarah Sriwijaya dan Tarumanegara. Ridwan Saidi cocok jadi narasumber untuk sejarah Jakarta/Betawi,” ujarnya.
Ahli sejarah dari Universitas Indonesia JJ Rizal meminta Ridwan Saidi menunjukkan bukti guna menguatkan argumen soal Sriwijaya fiktif. Perlu ada bukti otentik guna mempertentangkan eksistensi Sriwijaya. Ilmu sejarah wajib didasarkan pada bukti dan penelitian.
Ketiga, Fiksi
Tentang Kerajaan Sriwijaya sebagai fiksi bisa dibaca pada banyak karya sastra atau prosa. Sampai kini ada banyak karya sastra berupa novel tentang Sriwijaya. Ada yang menjadikan masa Kerajaan Sriwijaya sebagai latar cerita atau kisah novel yang ditulis beberapa novel.
Bisa dibayangkan jika anak didik di sekolah tidak mendapat pelajaran sejarah melainkan hanya diberikan novel-novel tentang Sriwijaya tersebut, tentu tidak salah jika kemudian lahir pernyataan dari mereka bahwa Kerajaan Sriwijaya itu fiktif karena anak didika tersebut banyak mendapat asupan tentang Sriwijaya dari karya fiksi berupa novel atau komik.
Salah satu novel dengan latar belakang atau setting masa Kerajaan Sriwijaya adalah novel berjudul “Pandaya Sriwijaya” yang ditulis Yudhi Herwibowo dan terbit pada 2009. Menulis penulisnya, novel tersebut di Palembang sebagai tempat Kerajaan Sriwijaya kurang laku.
Penulis Yudhi Herwibowo pada “Borobudur Writers and Cultural Festival” tahun 2012 mengatakan, “Pandaya Sriwijaya memang saya tempatkan sebagai kitab kisah satu kejadian kecil dari kemegahan Sriwijaya.”
Apakah yang ditulis dalam novel “Pandaya Sriwijaya” sebagai karya sastra adalah sebuah fakta sejarah ? Seorang sejarawan yang juga sastrawan dan budayawan Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Sejarah menulis, sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal : cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulannya. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subyektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.
Pendapat lain dari Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI dalam artikel Sastra Sejarah : Imajinasi yang Terus Bertanya terbit di Kompas 22 Desember 2007, menjelaskan bahwa sejarah dan sastra sama-sama imajinatif. Kemudian sastrawan Bakdi Soemanto menulis di koran yang sama pada 2 Februari 2014 dengan judul Novel Sejarah dengan mengutip Profesor Sanford Shepperd menyebutkan, bahwa novel dan sejarah keduanya berbicara tentang fakta. Sejarah menyajikan fakta lugas, sedangkan novel, cerita pendek, drama menghadirkan fakta dengan penghayatan pengarang.
Keempat, Film
Seperti layaknya karya sastra film sebagai karya kreatif dengan latar belakang Kerajaan Sriwijaya juga pernah memicu kontroversial dan protes. Adalah film berjudul “Gending Sriwijaya” yang diproduksi Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) tahun 2012 dengan sutradara Hanung Bramantyo juga mendapat protes dari arkeolog dan budayawan Sumsel.
Nurhadi Rangkuti yang waktu itu menjabat Kepala Balai Arkeologi Palembang menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu juga dianggap keliru dan harus direvisi. Menurutnya, cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang Srijayanasaa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi) dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah ada. Kehancuran Sriwijaya bukan karena perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja melainkan disebabkan faktor eksternal.
Sampai beredar di masyarakat film Gending Sriwijaya tidak pernah direvisi. Dalam pertemuan antara produser dan crew film dengan seniman dan tokoh masyarakat di Griya Agung, sutradara Hanung Bramantyo mengatakan, “Gending Sriwijaya bukan film sejarah.” Film Gending Sriwijaya mengambil setting Nusantara abad 16, tiga abad setelah keruntuhan Sriwijaya.
Jejak Digital
Tentang Kerajaan Sriwijaya memang perjalanan kisahnya telah melewati pusaran 4 F dengan berbagai kontriversialnya. Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa baru sekarang opini Ridwan Saidi tersebut menjadi kontroversial dan perdebatan di media massa?
Jika punya kemauan menyusuri jejak digital yang tidak terhapuskan, Ridwan Saidi sudah menyampaikan pernyataannya tersebut bahwa Kerajaan Sriwijaya itu fiktif sudah sejak 2017. Waktu itu Ridwan Saidi sudah mengatakan, “Sriwijaya itu kan kerajaan fiktif, dibilang ada. Saya bisa berdebat soal ini.” Jejak digitalnya silahkan cari di chanel youtube. Jadi kenapa baru sekarang membantahnya? Waktu itu kita kemana saja?