LifeStyle

Jurnalisme Kloning dan Kegusaran Bung Firko

Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi

Seorang wartawan yang melakukan praktek jurnalisme kloning dapat dikatakan telah bekerja secara tidak profesional dan melanggar etika profesi jurnalis serta melakukan plagiat.

Selasa pagi, 17 November 2020 saya mendapat salinan pesan via WA chat  dari Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Selatan (Sumsel) Firdaus Komar atau “Bung Firko.”

Pesan tersebut ditujukan kepada anggota Dewan Pers Hendry CH Bangun. Isi pesannya, “Fenomena Jurnalisme Kloning atau copy paste dari  berita yang sama. Fenomena ini terjadi melalui grup grup WA dengan mendistribusikan berita dan dimuat di media media siber online dengan subtansi yang sama dan beritanya jadi seragam dimuat di berbagai media online. Bagaimana Bang menyikapi hal ini? Karena menurunkan karakter media dalam fungsinya yang harus melakukan 6 M jadi bagaimana Bang sebaiknya?  Terima kasih.”

Pertanyaan Bung Firko tersebut adalah luapan kegusaran dan kegelisahan dirinya, juga kegelisahan sebagian wartawan Indonesia terhadap fenomena semakin maraknya jurnalisme kloning atau jurnalisme copy paste di Indonesia. Mungkin sebagian wartawan lainnya ada yang menganggap jurnalisme kloning adalah hal yang biasa, menjadi fakta yang tidak dapat ditolak sebagai buah dari kecanggihan teknologi informasi.

Fakta tersebut diperkuat oleh sebuah hasil penelitian yang dilakukan Dewan Pers dengan Universitas Multimedia Nasional (UMN) tahun 2016 pernah melakukan penelitian tentang “Persepsi Media Terhadap Perkembangan Teknologi Digital.”

Hasilnya menunjukkan bahwa tidak semua media siber yang baru dilahirkan didukung kecukupan modal dan tenaga yang kompeten di bidang jurnalistik, sehingga banyak media siber baru dengan kualitas jauh di bawah standar. Para wartawan dapat dengan mudah dan bebas dalam mencari dan mengumpulkan data untuk berita, namun, di balik kemudahan teknologi untuk kepentingan jurnalisme, masih seringkali terjadi kloning berita serta pelanggaran Kode Etik Jurnalistik.

Istilah jurnalisme kloning awalnya hanya berkembang dalam lingkungan atau komunitas wartawan, kemudian berkembang luas ke tengah masyarakat dan juga perguruan tinggi. Kini ada banyak penelitian atau karya ilmiah membahas tentang jurnalisme kloning. Seperti penelitian yang dilakukan Tsana Garini dan Abie Besman dari Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (Unpad)  berjudul “Praktik Jurnalisme Kloning di Kalangan Wartawan Online.”  Penelitian ini menyebutkan, jurnalisme kloning merupakan salah satu fenomena menarik di dunia jurnalistik. Praktik ini telah dianggap sebagai sesuatu yang wajar di kalangan wartawan media massa, khususnya media massa dalam jaringan (online).

Juga ada beberapa buku yang menulis dan membahas tentang jurnalisme kloning. Salah satunya buku berjudul Rambu-Rambu Jurnalistik” (2011) yang ditulis Sirikit Syah memaparkan tentang praktik jurnalisme kloning, copy paste, dan plagiarisme di kalangan wartawan.

Menurut Sirikit Syah, kloning berita merujuk kepada perilaku wartawan yang melakukan copy paste atau menjiplak berita wartawan lain tanpa melakukan proses liputan sendiri atau tidak maksimal dalam proses mendapatkan bahan, kemudian mengggunakan bahan dan atau berita tersebut untuk disiarkan atau dimuat di medianya dengan menggunakan nama wartawan yang melakukan copy paste. Praktik ini kemudian biasa disebut sebagai jurnalisme kloning.

Lihat Juga  Kebebasan Pers atau Kemerdekaan Pers

Kemudian dalam tesis berjudul “Jurnalisme Kloning, Praktik Plagiarisme Karya Jurnalistik di Kalangan Jurnalis” yang ditulis Rani Dwi Lestari menyebutkan jurnalisme kloning adalah aktivitas tukar menukar sumber berita berupa rekaman wawancara, catatan wawancara, maupun berita jadi yang dikirimkan wartawan.

Sebuah karya jurnalistik disebut sebagai jurnalisme kloning karena karya jurnalistik tersebut tidak sekedar jiplakan yang sangat mirip melainkan memiliki beberapa varian. Jurnalisme kloning bisa diidentifikasi dari berita kloning yang mengambil hasil wawancara wartawan lain kemudian diberi tambahan nara sumber alternatif. Juga ada kloning berita dengan menggabung-gabungkan hasil wawancara jurnalis satu dan yang lainnya. Jurnalisme kloning tidak hanya terjadi pada produk media massa cetak dan online tetapi juga terjadi pada produk jurnalistik televisi.

Jadi ketika jurnalisme kloning dianggap hal yang biasa oleh para wartawan, maka karya jurnalistik atau produk berita yang dihasilkan menjadi homogen atau seragam. Wartawan yang terbiasa melakukan jurnalisme kloning cukup menyalin berita dari wartawan atau media lain kemudian membubuhi dengan identitas diri atau kode wartawan tersebut. Jurnalisme kloning adalah buah dari keinginan wartawan untuk mendapatkan berita secara instan sehingga berdampak kualitas isi berita yang akan disajikan.

Plagiarisme

Jurnalisme kloning atau jurnalis copy paste dapat disebut sebagai perbuatan plagiat atau plagiarisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “plagiat” berarti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri.

Menurut Rani Dwi Lestari ada beberapa jenis jurnalisme kloning, diantaranya, Patchwriting, yaitu ketika seorang jurnalis melakukan parafrase pada kata-kata sumber walau di akhir berita mencantumkan sumber dan pada saat ia tidak menulis verbatim secara persis sesuai hasil wawancara. Atau jurnalisme kloning jenis ini juga dapat berupa pengutipan kata demi kata dari suatu sumber namun tidak menyebutkan sumbernya.

Kemudian Excessive aggregation, atau disebut juga plagiarisme kepengarangan dimana seseorang mengakui karya jurnalistik orang lain sebagai karyanya dengan tidak mencantumkan sumber. Cara ini paling banyak dilakukan dan mudah karena tidak lagi perlu melakukan pengeditan.

Ada juga jurnalisme kloning jenis Excessive aggregation, yakni berupa penggabungan berbagai karya jurnalistik orang lain yang kemudian dimodifikasi dan diakui sebagai karya pribadi tanpa mencantumkan sumber. Dan jenis Idea theft, yaitu ketika seorang wartawan menggunakan ide dan konsep cerita dari wartawan lain dalam karya jurnalistiknya sebagai sesuatu yang umum dan tidak jujur secara intelektual.

Praktik kloning berita adalah hal dilarang namun faktanya praktik itu terus terjadi dan dilakukan oleh wartawan. Budaya kloning berdampak pada hilangnya ekslusifitas berita yang justru menjadi sumber andalan media dalam menjual berita kepada khalayak.

Dalam konteks media massa atau jurnalistik menurut Alan Michael Samson dalam “Plagiarism and Fabrication Dishonesty in The Newsroom” menyebutkan, “News media plagiarism as its simplest understanding, the passing off by a reporter of another’s work or part work as his or her own.”

Plagiarisme bukan hanya terjadi ketika wartawan menggunakan berita wartawan lain untuk kemudian dimuat di medianya atas namanya sendiri, namun juga ketika wartawan menggunakan hasil liputan orang lain dan membuat berita seolah-olah sumber berita tersebut merupakan hasil dari liputannya sendiri.

Lihat Juga  Viral, Ibu-ibu Nyetrika Pakai Panci, Lihat Hasilnya

Praktek plagiat tidak hanya terjadi di lingkungan dunia pers, plagiat atau plagiarisme juga ditemukan di dunia akademik atau perguruan tinggi. Dalam dunia pers, jurnalisme kloning merupakan tindakan plagiat yang berkaitan dengan etika profesi jurnalis.

Jurnalisme kloning secara jelas tidak sesuai dengan etika. Jurnalisme kloning adalah bentuk plagiarisme dalam ranah media massa khususnya yang marak di media online. Seorang wartawan yang melakukan praktek jurnalisme kloning dapat dikatakan telah bekerja secara tidak profesional dan melanggar etika profesi jurnalis serta melakukan plagiat.

Menurut Amarzan Loebis wartawan senior Tempo, plagiat adalah perbuatan lancung. Plagiat itu menunjukkan kemiskinan intelektual dan plagiat merupakan “kejahatan terencana”. “Tidak ada tindakan spontan dalam proses plagiarisme. Sang plagiator (penjiplak) pastilah membaca lebih dulu karangan yang akan dijiplaknya, sebelum merasa tertarik mencaplok karangan itu dan mengakuinya sebagai karangan sendiri.”

Bagi seorang wartawan atau jurnalis yang melakukan praktek jurnalisme kloning, perbuatan tersebut adalah pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang terangkum dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik.

Pada Pasal 2  KEJ tertulis, “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.” Tafsiran dari Pasal 2 KEJ pada butir d dan e  tentang “cara-cara yang profesional adalah” : “menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya”, dan “rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang.” Kemudian pada butir g menyatakan, “tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri”.

Eviera Paramita dalam penelitiannya yang berjudul Pemahaman Wartawan Terhadap Etika Profesi (2013) menyebutkan, jurnalisme kloning merupakan salah satu dari tiga pelanggaran profesi yang dilakukan wartawan. Jurnalisme kloning dianggap melanggar KEJ Pasal 2.

Tsana Garini dan Abie Besman dalam kesimpulan dari penelitiannya menuliskan, praktik jurnalisme kloning tidak sesuai dengan etika karena merupakan bentuk plagiarisme dalam ranah media online, juga tidak sesuai dengan regulasi mengenai akurasi dan verifikasi. Karenanya wartawan yang melakukannya dapat dikatakan telah bekerja secara tidak profesional.

Mari stop jurnalisme kloning, lahirkan berita yang bermutu dan berkualitas. Pesan Bill Kovach dalam buku “Agama Saya Adalah Jurnalisme” karya Andreas Harsono menyebutkan, “Makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat bersangkutan. Dan makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat”. Bill Kovach percaya kehidupan masyarakat akan semakin bermutu bila jurnalisme dalam masyarakat tersebut juga bermutu.

Menurut Andreas Harsono, seorang jurnalis harus memberitakan informasi yang dibutuhkan masyarakat, bukan memberitakan apa yang ingin diberitakan. “Wartawan harus lebih banyak membaca buku, lebih banyak menulis, lebih banyak membaca, hingga tanpa disadari ratusan buku telah dibaca, menulis lebih banyak dari biasanya dan sudah bertanya dengan ribuan orang.” ∎

Editor : MA

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button