LifeStyle

Jurnalisme Sastra dan Anto Narasoma

Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi

Saat ini di era multi platform atau konvergensi media lebih mudah dan banyak menemukan jurnalis yang menulis straight news dengan kemampuan pas-pasan.

Membuka hari Senin pada pekan kedua November 2020 saya membaca sebuah flyer di layar telepon seluler berisi informasi tentang webinar yang akan diselenggarakan Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN Raden Fatah, salah satu nara sumber adalah Anto Narasoma yang dikenal sebagai wartawan atau jurnalis senior yang sekaligus sastrawan.

Anto Narasoma yang cerpennya terhimpun dalam buku kumpulan cerpen  berjudul “Bunga Rampai 8 Jurnalis dari Bumi Sriwijaya”  berbicara topik “Kiat Menulis Jurnalisme Sastra.” Saya merasakan topik tersebut bagai penghilang dahaga di tengah oasis jurnalisme di Sumatera Selatan (Sumsel) yang terasa kering dan kerap diterpa jurnalisme copy paste alias kloning dan jurnalisme hoax yang menyebar di laman media sosial (medsos).

Berdiskusi tentang jurnalisme sastra di Sumsel termasuk agenda yang langka. Selama menjadi jurnalis dan bertugas di daerah ini, mungkin ini agenda wacana pertama yang membahas tema tentang jurnalisme sastra. Tentang reportase jurnalisme sastra sendiri adalah “makhluk langka” yang sulit ditemukan pada media lokal, baik media cetak dan media online.

Jarang menemukan menemukan seorang jurnalis atau wartawan yang mampu menuliskan laporan atau reportasenya dengan gaya atau diksi jurnalisme sastra. Diantara yang langka itu ada Anto Narasoma, jurnalis yang juga sastrawan yang lama bekerja di beberapa media massa dan juga sastrawan Sumsel yang sudah menerbitkan banyak karya sastra diantaranya cerpen dan puisi.

Saat ini di era multi platform atau konvergensi media lebih mudah dan banyak menemukan jurnalis yang menulis straight news dengan kemampuan pas-pasan. Dalam teori jurnalistik, dari penyajiannya dikenal jenis berita langsung (straight news) dan tidak langsung (feature news).

Di lapangan kerap dijumpa wartawan liputan tanpa dibekali pendidikan jurnalisme dasar sudah langsung terjun ke lapangan menjadi jurnalis berbekal kartu pers dan atribut atau uniform yang melekat di badannya. Mengaku wartawan namun produk/ karya jurnalistiknya diragukan, simak saja dari kemampuannya menulis berita lebih banyak yang tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik dan penggunaan bahasa jurnalistik yang baik dan benar, jika tak ingin dikatakan amburadul.

Dengan kualitas seperti itu akan sulit seorang wartawan bisa menulis sebuah liputan dengan bergaya jurnalisme sastra. Bagaimana mau menulis ala jurnalisme sastra jika ragam bahasa jurnalistiknya belum benar. Ditambah tidak pernah membaca karya sastra. Tanyakan kepada wartawan tersebut, kapan terakhir ia membaca karya sastra, apakah cerpen atau novel?

Insya Allah jawabannya mungkin dalam satu tahun tidak pernah membaca karya sastra, kalaupun ada paling banyak membaca satu judul karya sastra. Bagaimana mau menjadi wartawan yang memiliki kemampuan menulis dengan jurnalisme sastra jika tidak suka membaca karya sastra?

Jurnalisme Sastra

Apakah seluruh jurnalis atau wartawan mengetahui dan mengerti apa itu jurnalisme sastra? Jawabnya ada yang tahu dan ada yang tidak tahu. Bagaimana bisa mengerti dan tahu dengan jurnalisme sastra apabila pendidikan atau pelatihan jurnalisme dasar tidak mereka peroleh saat baru menjadi wartawan. Berbeda dengan mereka yang memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik atau pernah menjadi aktivis pers mahasiswa saat menjalani pendidikan di kampusnya.

Dari berbagai literatur tentang jurnalisme atau pers, jurnalisme sastra termasuk dalam salah satu bagian dari jurnalisme baru atau new journalism. Hampir semua literatur ilmiah tentang jurnalisme jika membahas tentang jurnalisme sastra semua merujuk pada Tom Wolfe wartawan New York Herald Tribune, seorang wartawan-cum-novelis yang pada awal 1960-an di Amerika Serikat memperkenalkan genre jurnalisme sastra.

Lihat Juga  Jurnalis Dapat Obat Herbal dari Sinar Mas

Menurut Fred Fedler, new journalism dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu advocacy journalism, alternative journalism, precision journalism, dan literary journalism. New journalism atau jurnalisme baru menjadi genre jurnalisme yang memiliki perbedaan dalam penyajian tulisannya, juga memiliki ciri dan karakter masing-masing. Jurnalisme sastra termasuk ke dalam bagian new journalism tersebut.

Pada masa itu di Amerika Serikat, jurnalisme sastra merupakan salah satu dari tiga nama buat genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang tengah berkembang. Reportase dikerjakan dengan mendalam kemudian disajikan dalam bentuk tulisan dengan gaya sastrawi. Genre ini berkembang dengan nama literacy journalism  atau narrative reporting.

Jauh sebelumnya, pada tahun 1700-an sudah sudah muncul esai-esai naratif dari penulis seperti Ernest Hemingway, AJ Liebling dan Joseph Mitchell. Tahun 1946 John Harsey menulis tentang Hiroshima di majalah The New Yorker dan berhasil meraih penghargaan Pulitzer Prize.

Kemudian tahun 1970-1980 istilah jurnalisme sastra berkembang dengan dipelopori oleh Guy Talase, John McPhee, Mark Singer, dan beberapa tokoh lain. Menurut Guy Talase, jurnalisme sastra meski seperti fiksi, jurnalisme ini bukanlah fiksi. Pengaruh fiksi memang sangat kental dalam laporan jurnalis yang dijalankan di sela-sela fakta. Guy Talase menyebutkan, “Kami ingin mengupayakan kegiatan reportase sebagai bentuk seni. Saya rasa, sungguh hebat: reporter sebagai seniman. Sungguh hebat.”

Pada tahun 1973 terbit antologi yang berisi narasi-narasi terkemuka pada zaman itu yang diterbitkan Tom Wolfe dan EW Johnson. Antologi itu diberi judul “The New Journalism.” Menurut Wolfe dan Johnson,  genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), dan sangat detail.

Andreas Harsono penyunting buku “Jurnalisme Sastrawi” mengutip Robert Vare yang pernah bekerja untuk majalah The New Yorker dan Rolling Stones menyebutkan ada tujuh pertimbangan bila Anda hendak menulis narasi. Diantaranya, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Biru biru.

“Jurnalisme sastrawi bukan, bukan, sekali lagi bukan, reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Sering orang salah mengerti. Narasi boleh puitis tapi tak semua prosa yang puitis adalah narasi. Kebanyakan narasi bawaan Robert Vare malah tak puitis,” tulis penulis buku “Agama Saya Adalah Jurnalisme.”

Menurut Triyanto Triwikromo wartawan surat kabar Suara Merdeka dalam sebuah seminar jurnalistik menyatakan, jurnalisme tak hanya puas dalam kerangka 5 W (what, when, where, why, who) dan 1 H (how).  Pembaca diajak tak hanya membaca berita tapi cerita. Dan jurnalisme sastrawi mengubah berita menjadi cerita.

Sifat jurnalisme sastra yang detail menjadi daya tarik untuk memikat pembaca yang setiap detik disuguhi berita instan yang memburu kecepatan yang akibatnya  dan serba dadakan dan tidak mendalam. Jurnalisme sastra itu beritanya berusaha menimbulkan emosi pembaca yang seakan-akan melihat langsung kejadian dari berita yang dibacanya. Menurut Triyanto Triwikromo, jurnalisme sastra meski seperti fiksi, tapi agama jurnalisme sastra adalah fakta. Tanpa fakta, bukan jurnalisme.

Mengutip Romeltea.com, menurut Asep Syamsul M. Romli (ASM Romli), jurnalistik sastra disebut juga “penulisan kreatif nonfiksi” (creative nonfiction), nonfiksi sastra, nonfiksi naratif, atau verfabula, yaitu genre penulisan yang menggunakan gaya dan teknik sastra untuk membuat narasi yang akurat secara faktual.

Lihat Juga  Komunikasi Lingkungan dan Jurnalisme Lingkungan

Jurnalistik sastra atau jurnalisme sastrawi (literary journalism) adalah penulisan karya jurnalistik bergaya sastra, seperti penulisan cerpen atau novel. Praktisnya, menulis berita atau feature dengan gaya menulis cerpen/novel.

Menurut Asep Syamsul M. Romli karakteristik jurnalisme sastra menggunakan kaidah dan elemen-elemen sastra dalam penulisannya. Tidak menggunakan gaya piramida terbalik dalam pemberitaannya. Sama seperti jurnalisme lainnya, jurnalisme sastrawi juga menggunakan unsur 5W+1H.

Roy Peter Clark seorang guru menulis di Poynter Institute, Florida Amerika Serikat menyebutkan bahwa, jurnalisme sastrawi mengubah unsur 5W+1H. What mewakili plot kisah, atau gambaran besar peristiwa yang menjadi alur cerita. Who mewakili karakter/ tokoh, yakni sosok yang terlibat dalam peristiwa yang kemudian dijadikan aktor atau pelakon dalam kisah.

KemudianWhen mewakili kronologi kejadian, yakni urut-urutan peristiwa yang menjadi satu rangkaian besar kisah. Where mewakili lokasi terjadinya peristiwa yang kemudian menjadi latar terjadinya suatu adegan. Why mewakili motif peristiwa, atau sebab terjadinya suatu kejadian. How mewakili narasi yang menandakan sebuah kisah memiliki awal, pertengahan, dan akhir cerita.

Dalam jurnalisme sastra pelaporan berita tidak dibatasi oleh tenggat waktu. Penulisan dan reportasenya membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sumber data diperoleh dengan mengandalkan reportase lanjut, menggunakan rekap publik dan catatan historis, diperoleh dari banyak narasumber (bukan hanya dari satu-dua narasumber), dokumen yang sah, buku harian, catatan pribadi, dan publikasi resmi lainnya.

Dalam karya jurnalisme sastra meliputi penyusunan adegan (suasana demi suasana), dialog (percakapan), detail (terperinci), layaknya cerita dalam novel atau drama. Karya jurnalistik sastra menampilkan fakta secara mendalam dengan menggunakan teknik penulisan karya fiksi. Bentuknya bisa feature atau artikel.

Seorang wartawan yang juga sastrawan Ahmadun YH menyatakan, pada jurnalisme sastra, gaya penulisan berita memang bisa sama dengan fiksi. Tetapi, antara keduanya tetaplah harus dibedakan, sebab masing-masing memiliki substansi yang berbeda dan disiplin (bidang) yang berbeda. Substansi berita, jelas, adalah fakta. Sedangkan substansi fiksi adalah dunia rekaan (ciptaan) sang pengarang. Fiksi jelas masuk dalam bidang sastra, sedangkan berita – bagaimanapun gaya penulisannya – tetaplah masuk dalam bidang jurnalistik yang tidak dapat terlepas dari urusan fakta.

Di Indonesia jurnalisme sastrawi atau literary journalism berusaha dikembangkan Yayasan Pantau oleh Andreas Harsono dan kawan-kawan dengan menerbitkan majalah Pantau yang disajikan dengan gaya jurnalisme sastra. Namun usaha tersebut tidak berlanjut, majalah Pantau  hanya terbit tiga edisi. Andreas Harsono menyatakan, bahwa media dengan genre jurnalisme sastrawi sulit berkembang di Indonesia.

Sebelumnya di Indonesia, pada sekitar tahun 1970 majalah Tempo  sudah mempraktikan gaya jurnalisme sastra yang disajikan dalam beritanya. Tempo menerapkan gaya penulisan jurnalisme sastra dengan menampilkan elemen-elemen seperti karakter, alur, detail, penyusunan adegan, struktur, drama, konflik, dan metafora.

Gaya penulisan Tempo pun dianggap sebagai praktek jurnalisme sastrawi. Banyak para awak Tempo pada masa awal berdirinya adalah wartawan yang juga sastrawan seperti Goenawan Mohammad dan Putu Wijaya.

Sebagai penutup tulisan ini, pesan dari Ahmadun YH yang pernah menjadi wartawan Republika, bisa menjadi pegangan bagi seorang jurnalis atau wartawan. “Bagi wartawan, memilih gaya jurnalisme sastrawi adalah pilihan yang berani dan kreatif, pilihan yang keren. Tapi, tentu jangan asal memberi sentuhan sastrawi pada tiap berita. Tentu tidak lucu kalau berita satu kolom, atau rilis pendek dari siaran pers, dikemas dengan gaya sastrawi. Wartawan harus pandai memilih berita mana yang pantas diberi sentuhan sastra, dan mana yang cukup dibiarkan tampil konvensional.”

Editor : MA

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button