AK Gani dan Film Indonesia
Oleh : MASPRIL ARIES
Wartawan Utama/ Penulis Buku “Sumsel Selamatkan Wajah Indonesia”
AK Gani yang pernah menjadi Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) pertama juga pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia … pada menjelang kemerdekaan ternyata pernah menjadi aktor film Indonesia.
Sepekan terakhir, sejak awal Agustus 2020 saya membaca serial tulisan Dudy Oskandar seorang jurnalis peminat sejarah. Dudy menuliskan tentang kisah atau sejarah heroik pahlawan nasional dari Sumatera Selatan Adnan Kapau Gani atau lebih dikenal dengan nama AK Gani. Dalam tulisannya Dudy Oskandar menulis “Ketika AK Gani Naik Pitam dengan Tentara Belanda,” “Kisah AK Gani, The Great Smuggler Of South East Asia,” dan “Dr AK Gani dan Roem-Roijen Statement.”
Saya juga sempat melihat Instagram @ratudewa yang menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Kota Palembang yang menayangkan video singkat kunjungannya ke Museum AK Gani. Ratu Dewa langsung memberi perhatiannya terhadap museum tersebut, dari masalah kebersihan sampai urusan air bersih dari PDAM.
Dudy Oskandar sebagai seorang wartawan banyak menulis tentang kisah perjuangan AK Gani pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada bagian dari serial tulisan tersebut, tulisan ini mencoba melengkapi dari sisi lain perjuangan pahlawan nasional kelahiran Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 16 September 1905.
AK Gani yang pernah menjadi Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) pertama juga pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Perhubungan dan Menteri Kemakmuran. AK Gani yang juga berprofesi sebagai dokter pada menjelang kemerdekaan ternyata pernah menjadi aktor film Indonesia.
AK Gani saat menjadi mahasiswa kedokteran dan juga tokoh pergerakan nasional ia pernah menjadi pemain film Indonesia berjudul “Asmara Moerni” yang diproduksi 1941. Dalam film ini produksi perusahaan Union Film, “Asmara Moerni” sekaligus menjadi film pertama dan film terakhir AK Gani.
Kenapa waktu itu AK Gani memilih bermain film? Wartawan senior almarhum Rosihan Anwar menjawab pertanyaan tersebut, dalam sebuah tulisan berjudul “Dr. A.K. Gani Bintang Film” menuliskan, “Ketika Gubernur Jenderal De Jonge (1931-36) telah mengasingkan Bung Karno ke Ende, Flores, dan Bung Hatta, Bung Sjahrir ke Boven Digul, ketika kaum nasionalis nonkoperator tidak berkutik dibuatnya, dan nasionalis koperator seperti M.H. Thamrin, Soetardjo, Soekardjo Wirjopranoto di Dewan Rakyat (Volksraad) masih mengangkat suara, dr. Gani memilih masuk Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) bersama Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Muhammad Yamin dan dari generasi lebih muda Adam Malik. Gani melihat bagaimana Belanda kolonial melecehkan tuntutan Indonesia berparlemen dan tidak memperlakukan secara sungguh-sungguh Petisi Soetardjo tahun 1936 di Volksraad untuk melaksanakan hak penentuan nasib sendiri dan dalam masa 10 tahun mengadakan konferensi antara Hindia dan Kerajaan Belanda.”
Menurut Rosihan Anwar, “Tersumbat di bidang politik, Gani mencari outlet atau jalan keluar untuk menyalurkan energi dan dinamikanya. Dia menjadi bintang film memegang peran utama dalam film yang disutradarai oleh wartawan Raden Ariffien berjudul “Asmara Moerni” pada tahun 1941. Dia berpasangan dengan aktris Djoewariah.
Akibat jadi bintang film itu, Gani dikritik dari segala penjuru. Seorang tokoh pergerakan nasional, dokter, dan intelektual mau terjun ke dunia sandiwara, dunia wayang Stambul? Itu tidak pantas. Akan tetapi, Gani cuek saja. Baliho yang dipasang di bioskop Kramat, Batavia memperlihatkan close-up Gani dan Djoewariah. Gani dengan rambut keriting, disisir belah tengah, hidung mancung memang “cakep” alias handsome.
Dalam buku “Sejarah Film 1900-1950” yang ditulis Misbach Yusa Biran memperkuat jawaban dari pertanyaan di atas. Pada masa itu film Indonesia di mata penonton terpelajar, mutu film buatan dalam negeri dinilai jauh dari harapan. Ukuran penonton saat itu adalah film Barat yang sudah begitu maju. Pada masa itu insan film Indonesia berusaha agar film Indonesia bisa diterima penonton kelas atas, yakni kalangan pribumi terpelajar.
Untuk menarik penonton kelas atas tersebut perusahaan film era 1930 – 1940-an berupaya dengan berbagai cara. Salah satunya Union Film berusaha menarik AK Gani yang waktu itu salah seorang tokoh politik pejuang untuk bermain film produksi mereka tahun 1941 yang berjudul “Asmara Moerni” dengan sutradara Raden Ariffien’
“Bagi AK Gani mengangkat citra film Indonesia adalah sebagai bagian dari tugas perjuangan, yakni meningkatkan cinta pada buatan sendiri dan percaya pada kekuatan sendiri,” tulis Misbach Yusa Biran.
Salim Said seorang doktor ilmu politik yang pernah menjadi wartawan dan kritikus film dalam bukunya “Profil Dunia Film Indonesia” menulis, “Di Hindia Belanda, cara yang dipilih pada pembuat film untuk mendekatkan dirinya ke kalangan orang-orang lepasan sekolah cukup unik. Produser film mengajak sejumlah orang-orang terpelajar untuk ikut ke dunia film. “Union Film Coy, malahan memberi kesempatan kepada dr AK Gani, seorang tokoh pergerakan nasional pada masa itu, sebagai pemain utama dalam film Asmara Moerni.
Menurut Misbach Yusa Biran, apa yang diperbuat AK Gani mirip dengan gerakan swadesi yang dipropagandakan Mahatma Gandhi di India. Hasilnya, film “Asmara Moerni” tidak hanya menarik perhatian masyarakat, tetapi menggemparkan kala itu.
Kalangan pergerakan ada yang mengecam terjunnya AK Gani sebagai aktor film telah mencemarkan citra pergerakan nasional. Kala itu ada anggapan yang melihat dunia film sebagai dunia yang “kumuh.” Namun ada juga yang mendukung, di tengah film Indonesia yang terpuruk saat itu, terjunnya AK Gani menjadi bintang film, ia adalah pahlawan.
Semangat yang bisa kita petik dari sosok AK Gani terhadap film Indonesia saat itu, pada era saat ini tercermin dalam implementasi ketika Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) pada masa kepemimpinan Gubernur Alex Noerdin berinisiatif membuat film layar lebar. Lahirlah dua film Indonesia layar lebar yang berjudul “Pengejar Angin” dan “Gending Sriwijaya.”
Semangat itu sebelumnya juga sudah ada ketika Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan pada 1989 juga memproduksi beberapa film layar lebar diantaranya berjudul “Sumpah Si Pahit Lidah” yang dibintangi Advent Bangun dan Camelia Malik dengan Sutradara Dasri Jacob dan film berjudul “Si Pahit Lidah Si Mata Empat” dibintangi Advent Bangun dan Dewi Irawan dengan Sutradara Lilik Sudjio.
Pada saat Republik Indonesia berusia 75 tahun, adakah tersirat di benak kita, bahwa AK Gani memiliki andil membangun perfilman Indonesia ketika bangsa ini belum merdeka, ketika itu masih dijajah Belanda? Ini pertanyaan yang butuh jawaban. Kemana semangat yang diwariskan AK Gani? Akankah lahir produksi film tentang kisah heroik perjuangan seorang pahlawan nasional AK Gani kelak pasca berlalunya pagebluk virus Corona? 𝞨𝞨
Editor : MA