Setelah Satu Abad Batubara di Sumsel
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Sejak saat itu penambangan batubara di Sumsel mulai dilakukan secara besar-besaran dengan sentuhan teknologi lebih maju walau dengan metode penambangan open pit atau penambangan terbuka.
Sudah satu abad lebih batubara dieksploitasi dari perut bumi Sumatera Selatan (Sumsel). Sudah lebih dari satu abad pula dinamika dan suka duka mewarnai lingkungan dan kehidupan manusia di dalamnya. Batubara di Sumsel pertamakali dieksploitasi dan berproduksi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1895 sebuah perusahaan kongsi dagang swasta dari Belanda mulai beroperasi melakukan eksplorasi dan eksploitasi batubara di sekitar sungai Lematang yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Muara Enim.
Perusahaan tersebut bernama Lematang Maatschappij melakukan eksplorasi batubara di kawasan Air Laya, Tanjung Enim. Perusahaan tersebut meyakini bahwa di area seluas sekitar 1.800 kilometer persegi di dalam perut buminya banyak sekali mengandung batubara. Lematang Maatschappij yang awalnya hanya perusahaan pengumpul batubara dari warga sekitar Lematang mulai berusaha membuka perusahaan tambang batubara. Pada tahun 1917 perusahaan tersebut dari tambang batu bara di Tanjung Enim memproduksi batubara 9.765 ton.
Penambangan batubara di Tanjung Enim tersebut kalah tua dengan penambangan batubara di Ombilin, Sumatera Barat (Sumbar). Satu tahun kemudian pada 1918 produksi batubara Lematang Maatschappij meningkat pesat mencapai 50.312 ton, saat itu produksi tersebut merupakan produksi batubara terbesar di negeri jajahan kolonial Hindia Belanda.
Melihat produksi batubara yang besar di Tanjung Enim tersebut, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengutus Ir. Ziegler untuk melakukan penelitian. Ziegler sebelumnya adalah pemimpin tambang batubara di Pulau Laut, sekarang di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Penelitian tersebut berlanjut ke eksplorasi. Hasil penelitian menunjukkan di kawasan yang sekarang bernama Bukit Asam diitemukannya kandungan batubara dalam jumlah yang besar.
Eksplorasi tambang batubara di Tanjung Enim mulai dilakukan tahun 1916 dipimpin Ir. Man Haat. Potensi kandungan batubara yang besar di perut bumi Tanjung Enim membuat penguasa kolonial tergoda untuk menguasainya, dengan Stadblad No. 198 tahun 1919 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan mengambil alih Lematang Maatschappij berikut area penambangan Boekit Asam Mijnen Kolen atau tambang batubara Bukit Asam.
Sejak saat itu penambangan batubara di Sumsel mulai dilakukan secara besar-besaran dengan sentuhan teknologi lebih maju walau dengan metode penambangan open pit atau penambangan terbuka. Lalu pada 1923 – 1940 Pemerintah Hindia mengubah dengan metode penambangan bawah tanah atau underground minning. Dengan metode tersebut, beresiko buruk bagi pada pribumi pekerja tambang. Dengan keterbatasan teknologi kecelakaan kerja kerap terajdi dan banyak pekerja yang tewas tertimbun batubara.
Baru pada tahun 1940 Pemerintah Kolonial menyadari dampak dan kerugian dari metode underground minning yang menimbulkan kerugian dan merenggut korban jiwa. Penambangan bawah tanah dihentikan dan dikembalikan ke metode penambangan terbuka yang sampai sekarang terus berlangsung dan banyak diterapkan perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Sumsel.
Setelah reformasi yang melahirkan otonomi daerah, pertambangan batubara di Sumsel yang tadinya berpusat di wilayah Kabupaten Muara Enim dan sekitarnya lalu meluas ke Kabupaten Lahat, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Kabupaten Musi Rawas (Mura) dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU). Perusahaan tambang batubara yang sejak zaman Orde Baru beroperasi di Sumsel hanya satu yaitu PT Bukit Asam (PTBA) lalu tumbuh menjamur bak cendawan yang tumbuh di musim hujan.
Hasil penelitian dari seorang insinyur Belanda Ziegler yang menyatakan bahwa areal Tanjung Enim dan sekitar menyimpan potensi batubara yang besar sepertinya menjadi salah satu alasan bagi banyak perusahaan untuk berburu batu hitam atau emas hitam di wilayah lainnya di Sumsel. Batubara di Sumsel tidak hanya ada di Tanjung Enim tapi menyebar hampir ke seluruh wilayah di provinsi ini.
Menurut para ahli geologi potensi batubara atau potensi mineral yang ada di Sumsel tersimpan dalam satu area yang disebut “Cekungan Sumatera Selatan.” Cekungan ini dibagi menjadi empat sub cekungan, yaitu Sub Cekungan Jambi, Sub Cekungan Palembang Utara, Sub Cekungan Palembang Selatan dan Sub Cekungan Palembang Tengah.
Berdasarkan urutan stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan mencakup Basement, Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai. Maka ada yang menyebut, setiap jengkal tanah di Sumsel di bawahnya mengandung batubara. Tak aneh jika pasca reformasi banyak perusahaan batubara skala besar dan kecil beroperasi di Sumsel hampir di seluruh kabupaten yang ada.
Menurut data yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) yang dilansir Januari 2004 potensi sumberdaya batubara di Sumatera Selatan yang besar diperkirakan sebanyak 22.240,4 juta ton atau sekitar 38,5% dari potensi sumberdaya batubara nasional (57.847,7 juta ton). Potensi cadangan yang siap tambang sekitar 2.653,9 juta ton, atau 38 persen dari potensi cadangan siap tambang nasional (6.981,6 juta ton). Batubara di Sumatera Selatan memiliki kisaran nilai kalori dari 4.200-7.185 kal/gr.
Pada awal era otonomi daerah pengusahaan batubara di Kabupaten Muara Enim selain oleh PTBA dan anak perusahaannya PT Batubara Bukit Kendi menurut data Dinas Pertambangan setempat ada 13 perusahaan swasta yang melakukan eksplorasi dan studi kelayakan. Kemudian di Kabupaten Lahat selain PTBA ada enam perusahaan swasta nasional. Kemudian di Kabupaten Muba pengusahaan batubara dilakukan oleh 21 perusahaan dan di Kabupaten Musi Rawas ada 14 perusahaan tambang batubara yang memperoleh izin.
Berdasarkan rekapitulasi data Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Provinsi Sumsel tahun 2018, di Sumsel tercatat ada 130 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP), sebanyak 126 perusahaan adalah pemegang IUP batubara dan sisanya pemegang IUP batu kapur, clay dan pasir kuarsa.
Banyak perusahaan tambang batubara di Sumsel tersebut adalah akibat dari adanya otonomi kewenangan yang diberikan kepada kepala daerah bupati dan wali kota yang bisa menerbitkan izin kuasa pertambangan (KP) yang sebelum berada di tangan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Yang terjadi dari maraknya izin yang diterbitkan pada kepala daerah tersebut, adalah dampak dari pertambangan yang terlambat dipikirkan. Saat izin diterbitkan yang terlintas di benak penguasa daerah hanya, daerah mendapatkan tambahan pendapatan daerah dari beroperasinya penambangan batubara tersebut.
Aneka dampak dirasakan masyarakat akibat dari daya rusak penambangan batubara di Sumsel tidak hanya terasa oleh warga yang tinggal di sekitar area tambang, tapi juga oleh masyarakat yang tinggal jauh dari kawasan penambangan. Salah satunya adalah imbas dari angkutan batubara yang melewati jalan umum bukan jalan khusus batubara.
Dampak yang satu ini sangat dirasakan hampir seluruh masyarakat Sumsel pengguna transportasi darat atau jalan umum yang ruasnya dilalui angkutan batubara. Dampaknya kemacetan terjadi setiap hari dan kerusakaan jalan negara menganga di mana-mana akibat angkutan batubara yang jumlahnya mencapai ribuan unit. Seperti perjalanan Palembang – Muara Enim atau sebaliknya dengan jarak sekitar 180 km yang biasa ditempuh dalam waktu tiga sampai empat perjalanan, akibat ramainya truk-truk pengangkut batubara dibutuhkan waktu lima sampai enam jam.
Pada tahun 2014 jumlah truk angkutan batubara yang beroperasi mencapai sekitar 3.000 unit. Kemudian saat harga batubara anjlok tahun 2016 jumlah truk angkutan batubara yang beroperasi berkurang menjadi 1.500 unit.
Dampak terganggunya lalu lintas masyarakat pemakai jalan umum adalah salah satu dari serangkaian dampak lain yang ditimbulkan tambang batubara pasca reformasi di Sumsel. bisa diidentifikasi pada dampak terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi.
Daya rusak pertambangan batubara terlihat pada dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan. Pertambangan batubara adalah kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, kegiatan penambangan dapat berdampak pada rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah , tata air, pengatur cuaca, dan fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan.
Kegiatan tambang batubara menimbulkan dampak terhadap lingkungan seperti terjadinya perubahan bentang alam akibat pembukaan tanah pucuk dan penutup, terjadinya penurunan tingkat kesuburan tanah, terjadinya ancaman terhadap keanekargaman hayati (biodiversity), turunnya kualitas perairan dan penurunan kualitas udara serta terjadinya terjadinya pencemaran lingkungan akibat limbah-limbah yang dihasilkan oleh aktivitas penambangan. Dampak tersebut tidak hanya pada saat kegiatan penambangan tapi juga pasca penambangan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel pernah mendata pada tahun 2010 telah terjadi sebanyak empat kali pencemaran terhadap sungai-sungai yang ada oleh perusahaan pertambangan yang beroperasi di Kabupaten Muara Enim dan Lahat. Adapun sungai sungai yang tercemar tersebut adalah Sungai Enim di Muara Enim, Sungai Lematang di Lahat dan Sungai Musi di Palembang.
Penambangan batubara di Sumsel juga menimbulkan dampak sosial, diantaranya terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan seperti karena masalah pencemaran air dan udara, munculnya kecemburuan sosial antara warga setempat dengan warga pendatang (pekerja). Terjadi penurunan kualitas kesehatan akibat debu, serta terjadinya alih profesi warga sekitar tambang dari petani menjadi buruh atau setelah mereka menjual lahan ke perusahaan batubara.
Ada satu dampak yang kerap dilupakan atau sengaja dilupakan, yaitu terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat. Seperti munculnya pengaruh negatif struktur sosial masyarakat di sekitar perusahaan pertambangan adanya perilaku dan atau kebiasaan yang bersifat negatif seperti perjudian, mabuk minuman keras sampai prostitusi liar.
Setelah satu abad operasi tambang batubara di Sumsel, jika pada masa pemerintahan kolonial terjadinya eksploitasi terhadap penduduk pribumi yang menjadi buruh tambang bahkan sampai ada yang tewas. Kini dampak dan daya rusak pertambangan batubara justru semakin lebih dahsyat dan beraneka ragam jenis serta bentuknya. 𝞨𝞨
[Tulisan ini adalah Pemenang III bidang Essay Kategori Umum pada Lomba Puisi – Cerpen – Essay yang diselenggarakan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) & Teater Potlot – 2020]
Editor : MA