JAJAN

Sentralisasi UU Cipta Kerja Kendala Penanganan “Illegal Drilling”

Halilul Khairi Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN berbicara pada “Local Media Briefing” yang diselenggarakan SKK Migas Perwakilan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel).

EkbisNews.com, Pangkalpinang – Tak kunjung tuntasnya penanganan kasus illegal drilling pada sektor minyak dan gas (migas) dan kini masih marak terjadi di beberapa daerah, diantaranya di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dan Jambi adalah dampak dari sentralisasi yang ada dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada sektor minyak dan gas (migas).

Sentralisasi pada sektor migas dalam UU Cipta Kerja tersebut menjadi perhatian Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) Halilul Khairi yang berbicara pada “Local Media Briefing” yang diselenggarakan SKK Migas Perwakilan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) di Pangkalpinang, Jumat (5/11).

Pada acara yang dipandu Andi Arie Kepala Departemen Humas SKK Migas Sumbagsel, Halilu Khairi menjelaskan, sentralisasi dalam UU Cipta Kerja diantaranya, persetujuaan tata ruang menjadi kewenangan pemerintah pusat padahal sebelumnya berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 adalah kewenangan kabupaten/ kota.

Kemudian izin pemanfaatan ruang laut sampai 12 mil yang semula menjadi kewenangan provinsi berdasarkan UU No.11 Tahun 2020 menjadi kewenangan pemerintah pusat. Demikian pula untuk persetujuan lingkungan berdasarkan Pasal 12 ayat (2) PP Nomor 22 Tahun 2021, menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Lihat Juga  MontD'Or Oil Tungkal Limited asal Qatar Mengebor Empat Sumur  di Jambi

“Akibat dari sentralisasi kewenangan tersebut maka tanggung jawab lebih banyak pada pemerintah pusat. Pemerintah akan kewalahan untuk pengawasan dan penindakan yang lokasinya di daerah seperti yang terjadi pada penanganan illegal drilling,” kata Halilul Khairi.

Menurut Dekan Manajemen Pemerintahan IPDN, izin sektor pertambangan migas yang berkaitan dengan tata ruang dan lingkungan sepenuhnya berada di pemerintah pusat. “Sehingga pengawasan dan penindakan setiap pelanggaran juga dilakukan pemerintah pusat,” ujarnya.

Sementara pemerintah daerah menurut Halilul Khairi, tidak mempunyai kewenangan dalam penertiban illegal drilling karena persetujuan kesesuaian tata ruang dan persetujuan lingkungan menjadi kewenangan pemerintah pusat.

“Pemerintah daerah dapat turut serta dalam penertiban illegal drilling melalui tugas pembantuan dari pemerintah pusat namun tidak dapat menggunakan perangkat daerah penegak Perda dan peraturan kepala daerah atau perkada sepanjang perizinannya tidak diatur dengan Perda atau Perkada,” katanya pada acara yang juga menghadirkan nara sumber Beny Bastiawan Kepala Subdit Penanganan Pengaduan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan (LHK) serta Ngatijan Tenaga Ahli SKK Migas.

Lihat Juga  Perusahaan Kuwait Temukan Cadangan Migas di Natuna

Minimnya pengawasan dan penindakan tersebut menurut Halilul Khairi membuat praktik illegal drilling akan semakin marak. Sehingga berdampak kerugian pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sementara itu menurut Kepala Perwakilan SKK Migas Sumbagsel Anggono Mahendrawan pada pembukaan “Local Media Brefing” yang juga berlangsung secara virtual dengan diikuti wartawan dari Sumsel, Jambi dan Jakarta tersebut, “Illegal drilling adalah masalah serius karena juga berdampak pada pencemaran lingkungan, kecelakaan pekerja, dan tidak adanya pemasukan untuk pendapatan daerah dari kegiatan tersebut.”

Anggono Mahendrawan menjelaskan, sampai kini illegal drilling masih marak terjadi. “Kejadian terakhir menyebabkan dampak kerusakan yang luar biasa baik korban jiwa maupun lingkungan. Semua itu ternyata tidak menyurutkan oknum masyarakat untuk menghentikan kegiatan illegal drilling,” katanya.

Anggono menegaskan bahwa dampak lingkungan yang ditimbulkan tidak sebanding dengan hasil dari pengeboran sumur ilegal. Yang terjadi masyarakat harus menanggung segala risiko yang mengancam kehidupan mereka.

Editor : Maspril Aries

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button