NASIONAL

Anita dan APBD yang Terlambat

Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Alumni Fisip Unila

Pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) 2020 kini tengah berada pada tahapan krusial. Apakah batas waktu atau tenggat 30 November 2019 akan ditepati dengan adanya persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah/ Gubernur Sumsel terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD 2020?

Atau sebaliknya terlewati sehingga persetujuan Raperda APBD 2020 Sumsel terlambat, karena berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.33 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2020 paling lambat tanggal 30 Nopember 2019, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 312 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah RAPBD 2020.

Pada pembahasan RAPBD Sumsel 2020 menjadi menarik selain berpotensi terlewatinya tenggat 30 November 2019 sesuai Permendagri No.33/ 2019, juga munculnya tudingan tentang keterlambatan pembahasan RAPBD Sumsel 2020 karena karena hasrat DPRD Sumsel untuk menaikan kesejahteraannya melalui kenaikan gaji, tunjangan, dana aspirasi dan lainnya tidak mendapat persetujuan atau dukungan eksekutif.

Terkesan mereka yang berada di luar legislatif dan eksekutif lebih tahu dengan faktor yang menjadi masalah lambannya pembahasan di DPRD, dan media menangkap isu tersebut. Media bukannya justru merujuk kepada parlemen atau pemerintah daerah sebagai pihak yang terlibat langsung dalam pembahasan APBD. Media massa lebih memilih mencari rujukan atau sumber informasi dari luar eksekutif dan legislatif. Ada yang merekonstruksi kesan bahwa DPRD “menyandera” RAPBD Sumsel 2020.

Permendagri 33/ 2019

Benarkah tudingan tersebut? Untuk menjawabnya bisa dengan merujuk ke Permendagri No.33/ 2019. Lambannya pembahasan RAPBD 2020 bukan hanya terjadi di Sumsel, tapi juga terjadi di Provinsi DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan.

Mengutip Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Syarifuddin, “Kalau lebih dari 30 November artinya, persetujuan pertama terhadap RAPBD itu sudah tidak tepat waktu namanya. Kalau terlambat itu terlepas dari siapapun, itu sudah ada implikasi-implikasinya karena dianggap sudah tidak disiplin didalam penyampaian RAPBD dan penetapan RAPBD.”

Akibat keterlambatan pembahasan APBD 2020 tentu ada sanksi, menurut Syarifuddin ada beberapa sanksi yang bisa diberikan bila APBD tidak ditetapkan sesuai waktu. Salah satu sanksi tersebut tidak diberikannya insentif atau gaji. Sanksi lainnya, jika daerah tersebut selama ini terima dana insentif daerah, kalau terlambat APBD-nya bisa tidak menerima insentif lagi. Sanksi tersebut diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2017 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggara Pemerintah Daerah.

Dalam Permendagri No.33/ 2019 menyebutkan, “Pemerintah Daerah harus melaksanakan penyusunan APBD Tahun Anggaran 2020 sesuai dengan tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dengan memperhatikan tahapan penyusunan dan jadwal sebagaimana tercantum pada Tabel 5.”

Lihat Juga  Sang Reporter di Tengah Pandemi Covid-19

Tabel 5 Permendagri No.33 Tahun 2019 menetapkan Tahapan dan Jadwal Proses Penyusunan APBD 2020. Pertama, Penyampaian Rancangan KUA dan Rancangan PPAS oleh Ketua TAPD kepada Kepala Daerah paling lambat minggu I bulan Juli. Kedua, Penyampaian Rancangan KUA dan Rancangan PPAS oleh Kepala Daerah kepada DPRD paling lambat minggu II bulan Juli. Ketiga, kesepakatan antara Kepala Daerah dan DPRD atas Rancangan KUA dan Rancangan PPAS paling lambat minggu II bulan Agustus.

Kemudian ada tahapan berikutnya sampai pada tahapan eksekutif/ kepala daerah menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD oleh Kepala Daerah kepada DPRD waktunya adalah paling lambat Minggu II bulan September bagi daerah yang menerapkan 5 (lima) hari kerja per minggu atau paling lambat Minggu IV bulan September bagi daerah yang menerapkan 6 (enam) hari kerja per minggu.

Merujuk pada isi Permendagri tersebut, berarti cepat atau lambatnya pembahasan RAPBD sehingga ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD berada di tangan eksekutif yaitu Pemerintah Provinsi/ Kabupaten atau Kota. Sementara legislatif atau DPRD akan membahas dan mensahkan sesuai dengan tahapan atau ketepatan waktu eksekutif/ kepala daerah menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD oleh Kepala Daerah kepada DPRD.

Dengan melakukan cek dari jejak digital dan pemberitaan di media massa cetak atau online, Ketua DPRD Sumsel Anita RA Noeringhati mengatakan, “Dokumen KUA dan PPAS dari eksekutif/ Pemda baru diterima legislatif/ DPRD pada 4 November 2019.” Mengacu pada Permendagri, penyampaian diharuskan minggu II Juli. Berarti ada keterlambatan lebih dari tiga bulan, berarti berpotensi pembahasan dan pengesahan APBD menjadi terlambat.

Mengapa eksekutif tidak bisa menyampaikan KUA dan PPAS sesuai tahapan Permendagri? Jika disampaikan tepat waktu maka RAPBD 2020 bisa dibahas anggota DPRD 2014 – 2019. Jika tak selesai bisa dilanjutkan pembahasannya oleh anggota DPRD 2019 – 2024 yang dilantik 24 September 2019. Dengan adanya peralihan atau transisi keanggotaan DPRD Sumsel tersebut maka pembahasan memang akan tertunda dengan beberapa alasan, seperti belum terbentuknya alat kelengkapan dewan dan pimpinan DPRD.

Jika kemudian yang terjadi, misalnya ada permintaan RAPBD 2020 dibahas ulang dari awal, maka eksekutif bisa menyatakan bahwa keterlambatan pengesahan APBD 2020 bukan dari eksekutif atau pemerintah provinsi yang sudah mengajukan RAPBD tepat waktu sesuai Permendagri. Jika ini yang terjadi bisa dikatakan keterlambatan APBD 2020 disebab oleh legislatif/ DPRD.

Lihat Juga  Pemkot Segera Buka Rekrutmen Direksi PD Pasar Palembang, Terbuka Untuk Umum

Masalah keterlambatan pembahasan RAPBD bukan hanya baru terjadi tahun ini. Pembahasan RAPBD yang lamban terjadi di banyak kabupaten dan kota atau provinsi di Indonesia dan sudah terjadi sejak lama. Namun masalah ini selalu berulang. Keterlambatan penyusunan APBD seperti menjadi fenomena di Indonesia. Keterlambatan penetapan Perda APBD akan berpengaruh dan berdampak luas pada pembangunan di suatu daerah.

Dalam penyusunan, pembahasan dan pembentukan Perda APBD secara umum ada beberapa faktor yang patut menjadi perhatian. Faktor-faktor tersebut diantaranya stimuli eksternal, setting psikologis dan komunikasi intra-institusional.

Sudah banyak kajian akademis yang menelaah penyebab atau faktor yang membuat pengesahan APBD mengalami keterlambatan. Diantaranya : (1) Faktor komitmen antara eksekutif dan legislatif dalam mentaati jadwal proses penyusunan dan penetapan APBD. (2) Faktor komunikasi dan koordinasi antara pemerintah daerah dan DPRD dalam penetapan APBD. (3) DPRD dan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi penganggaran keuangan daerah kurang maksimal. (4) Faktor sumber daya manusia antara eksekutif dan legislatif, sikap serta adanya faktor politik tertentu dalam penetapan APBD, (5) Faktor birokrasi dan masalah teknis peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman penyusunan apbd berubah ubah setiap tahunnya.

Selain itu pada 2008 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyatakan, APBD yang terlambat disahkan oleh pemerintah daerah dan DPRD dapat pula memberi peluang munculnya korupsi. Peluang korupsi tersebut dapat muncul dikarenakan adanya usaha untuk mengalihkan dana yang tersisa dari pelaksanaan program APBD ke dalam rekening pribadi. Dana yang tersisa berasal dari dana sisa anggaran program yang tidak selesai dilakukan karena terlambat dalam pelaksanaan proses awal.

Mengutip Indra Bastian dari Universitas Gajah Mada, sebagai solusi mengatasi agar keterlambatan APBD adalah dengan : (1) Konsensus antara Gubernur/Bupati/Walikota, dan, Ketua DPRD, tentang teknis penyusunan anggaran dengan fokus perencanaan, (2) Intervensi kepemimpinan bersama, atas persiapan dan pelaksanaan perencanaan program dan kegiatan, (3) Pembahasan Komisi DPRD tentang KUA dan PPAS, lebih difokuskan pada persetujuan program dan kegiatan, (4) Penetapan Renja dan RKPD di bulan Juli-Agustus.

(5) Penetapan standar harga, di tahun anggaran berikutnya pada bulan Juli, (6) Rekapitulasi RKA SKPD, lebih merupakan implementasi standar harga pada kesepakatan satuan unit, dari program dan kegiatan yang telah disetujui, dalam Renja dan RKPD, (7) Pembahasan Komisi dan Panja Anggaran DPRD, lebih berfokus pada pengalihan waktu program dan kegiatan sesuai dengan kapasitas dana. (Jurnal Akuntansi dan K 128 euangan Volume 7, Nomor 2, September 2008). ●

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button