Wartawan Terjerat UU ITE
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Dalam sebuah diskusi di Dewan Pers pada 7 April 2008 sudah mengingatkan bahwa UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat.
Seorang teman bertanya, “Apakah ada wartawan yang masuk penjara karena terjerat UU ITE?” Pertanyaan itu mengemuka saat isu revisi UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) tengah maraknya. Atas pertanyaan tersebut, jawabannya, “Ada. Sepengetahuan saya ada dua kasus wartawan terjerat hukum UU ITE dan harus mendekam dalam penjara.”
Pertama kasus yang menimpa Diananta Putra Sumedi mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel) yang mengadili perkara ini menjatuhkan vonis kepada terdakwa Diananta Putra Sumedi pada 10 Agustus 2020 dengan hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari.
Kasus kedua, pada awal Maret 2021 seorang oknum wartawan berinisial DK di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan (Sumsel) harus menjalani masa hukumannya di dalam penjara Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Sekayu setelah keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA).
DK yang menjadi wartawan media online Radarnusantara.com harus mendekam dalam penjara berdasarkan putusan MA yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde), DK harus menjalani hukuman penjara atas vonis majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sekayu selama 1 tahun 3 bulan, denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan penjara
Di PN Sekayu, jaksa penuntut umum mendakwa DK dengan Pasal 45 Ayat (1) jo pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yaitu melakukan tindak pidana mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik.
Kasus menimpa DK terjadi pada 2013 karena beritanya beritanya berjudul “H. Pahri Azhari Bupati Musi Banyuasin Diduga Otak Pelaku Korupsi Di Kab. Muba” yang diunggah ke media online Radarnusantara.com pada Mei 2013.
Bupati Pahri Azhari yang merasa tercemar nama baiknya melaporkan DK ke polisi, lalu kasus ini bergulir ke pengadilan. Majelis hakim PN Sekayu dalam putusannya tanggal 11 Agustus 2014 menyatakan terdakwa DK terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja dan tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik.”
Pada kasus terdakwa Diananta Putra Sumedi mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id, jaksa penuntut umum menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan / atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA)” diatur dan diancam pidana dalam Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 UU No.19 Tahun 2016 Jo UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE dengan tuntutan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dipotong masa penahanan sementara.
Pada dua perkara tersebut, jaksa menggunakan UU ITE. Kekhawatiran masyarakat pers Indonesia bahwa UU ITE juga akan mengancam dan menjerat wartawan atau jurnalis akhirnya terbukti. Pada persidangan dua perkara tersebut sama-sama menghadirkan saksi dari Dewan Pers dan dari organisasi wartawan.
Putusan PN Kotabaru tersebut mendapat reaksi dari masyarakat pers Indonesia. Dewan Pers dalam siaran pers tanggal 15 Agustus 2020 yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh menyatakan “Keprihatinan Dewan Pers Terhadap Pemidanaan Diananta Putra Sumedi, Mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id.”
Menurut Ketua Dewan Pers, “Pemidanaan seorang wartawan atas karya jurnalistik yang dihasilkannya tentu merupakan preseden buruk bagi sistem kemerdekaan pers di negara demokrasi seperti Indonesia. Namun, sangat disesalkan hal inilah yang terjadi terhadap Diananta Putra Sumedi, mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id. Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan (Kalsel) telah menjatuhkan vonis penjara selama 3 bulan 15 hari kepada Diananta atas berita yang ditulisnya dan dipublikasikan di media siber kumparan.com 4 Mei 2020.”
Protes juga berdatangan dari organisasi masyarakat pers. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menyatakan putusan PN Kotabaru tersebut “Mengancam Fungsi Kontrol Sosial Pers.” Kemudian LBH Pers “Vonis Diananta, Sinyal Bahaya Kemerdekaan Pers,” dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyatakan vonis terhadap Diananta sebagai “Sinyal Bahaya Kemerdekaan Pers.”
Bahkan jauh sebelumnya, saat UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE masih dalam pembahasan dan baru disahkan menjadi undang-undang, masyarakat pers sudah mengingatkan bahwa regulasi ini akan mengancam kehidupan pers di Indonesia.
Dalam sebuah diskusi di Dewan Pers pada 7 April 2008 sudah mengingatkan bahwa UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat. Ancaman tersebut termuat pada Pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Ancaman lainnya datang dari Pasal 28 ayat (2), jika sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Setiap orang yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar.
Kemudian UU No.11 Tahun 2008 diubah dengan UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tetap saja UU ini menebar ancaman terhadap para wartawan/ jurnalis.
Dalam UU ITE ada dua pasal krusial yang selalu menjadi bagian dari diskusi dan bahasan masyarakat pers karena dianggap mengancam kebebasan dan kemerdekaan pers, yaitu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2.
Pasal 27 ayat 3; “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 28 ayat 2; “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal-pasal tersebut dianggap sama dengan pasal dalam KUHP yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan atau haatzai artikelen yang merupakan pasal-pasal karet produk kolonial yang sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Pers dan Hukum
Pasca reformasi kehidupan pers di Indonesia telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 1999 tentang Pers. Walau sudah ada UU Pers, bukan berarti pers terbebas dari peraturan atau UU lainnya. Menurut mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan ada dua segi hubungan pers dan hukum. Pertama; ketentuan-ketentuan (rules) yang mengatur pers. Kedua; ketentuan-ketentuan berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum yang dikenakan kepada pers. (Jurnal Dewan Pers Edisi No.8 Desember 2013)
Ketentuan-ketentuan yang mengatur pers. Paling tidak ada dua sumber utama ketentuan-ketentuan (rules) yang mengatur pers, yaitu; ketentuan-ketentuan etik (rulesof ethics) dan ketentuan-ketentuan hukum (legal norms). Di Indonesia (pada saat ini), ketentuan etik diatur dalam Kode Etik Jurnalistik(KEJ), Pedoman Pemberitaan Media Siber, sedangkan ketentuan-ketentuan hukum hukum mengenai pers diatur dalam UU Pers. Selain itu, ketentuan hukum yang menyangkut pers dapat pula dijumpai dalam UU Keterbukaan Informasi Publik, UU ITE sampai pada UU Intelijen, KUH Pidana dan lain-lain.
Dalam pandangan Bagir Manan, meskipun kemerdekaan pers dipandang sebagai suatu yang asasi, suatu yang dibutuhkan atau sebagai salah satu conditio sine qua non demokrasi, sama sekali tidak berarti pers kebal hukum atau tidak dapat diganggu gugat (onschenbaar, can do no wrong). “Pers dapat melakukan kesalahan (schuld). Ada kesalahan yang disengaja (wilful) dan tidak sengaja (non wilful). Namun kesalahan pers dibedakan antara kesalahan jurnalistik yang lazim digolongkan pada pelanggaran kode etik, dan kesalahan hukum yang dapat dikenakan tanggung jawab secara hukum.”
Seperti yang terjadi pada kasus Diananta Putra Sumedi, sebelum kasusnya berproses ke polisi, berita yang ditulis Diananta lalu disiarkan pada kumparan.com kemudian menjadi sengketa pers yang diadukan PT Jhonlin Agro Raya ke Dewan Pers. Dalam penyelesaian sengketa pers tersebut lalu Dewan Pers telah mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers (PPR) No. 4/PPR-DP/II/2020 tentang Pengaduan PT Jhonlin Agro Raya terhadap media siber kumparan.com.
PPR Dewan Pers menyatakan bahwa pihak yang bertanggung-jawab atas pemuatan berita saudara Diananta di media siber kumparan.com seperti disebut di atas adalah penanggung jawab kumparan.com.
Dewan Pers telah memberitahukan perihal PPR ini kepada penegak hukum dan telah berusaha mengingatkan pihak-pihak terkait tentang pentingnya melindungi prinsip-prinsip kemerderkaan pers dalam penyelesaian kasus yang dihadapi saudara Diananta. Namun sangat disesalkan bahwa pendapat dan penilaian Dewan Pers tidak dipertimbangkan, dan proses hukum terhadap saudara Diananta sebagai Pemimpin Redaksi Banjarhits.id tetap berlanjut hingga akhirnya terjadi pemidanaan di atas.
Dewan Pers juga menyesalkan bahwa dalam penyelesaian kasus ini, penegak hukum tidak memperhatikan semangat dan esensi dari Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Polri tentang bagaimana semestinya sengketa jurnalistik diselesaikan.
Dewan Pers berpandangan, wartawan atau perusahaan pers bukanlah pihak yang kebal hukum. Namun jika yang dipermasalahkan dari wartawan atau perusahaan pers adalah kinerja jurnalistiknya, semestinya proses penyelesaiannya berdasarkan UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Pemidanaan pers dengan menggunakan undang-undang lain di luar UU Pers No. 40 tahun 1999 hampir pasti menurunkan indeks demokrasi dan kemerdekaan pers Indonesia.
Untuk menjaga kemerdekaan pers dan memberikan perlindungan hukum terhadap wartawan, ada pesan bijak dari Bagir Manan yang bisa menjadi landasan bagi masyarakat pers bahwa “Pers bukan pranata (institution) yang kebal terhadap hukum. Pers tidak berada di atas hukum (above the law). Siapapun dapat berkeberatan atau menggugat pers.”
Namun demikian, hendaknya penegakan hukum (law enforcement) terhadap pers, bukan untuk membelenggu apalagi mematikan pers, tetapi sebagai cara memelihara dan membesarkan tanggung jawab dan disiplin pers. Dengan misi yang demikian betapa penting tata cara menegakkan hukum, termasuk terhadap pers.
Adanya NotaKesepahaman (MOU) antara Dewan Pers dengan Kepolisian RI atau KejaksaanAgung, dimaksudkan untuk saling membantu memastikan suatu persangkaan pelanggaran oleh pers sebagai pelanggaran jurnalistik atau pelanggaran hukum. Apabila telah nyata sebagai pelanggaran hukum, Dewan Pers mempercayakan sepenuhnya kepada kepolisian dan atau kejaksaan.
Apabila ternyata hanya pelanggaran jurnalistik, akan terlebih dahulu diupayakan diselesaikan atas dasar kode etik oleh Dewan Pers. Setiap kali kepolisian dan atau kejaksaan menerima laporan dan atau dakwaan pelanggaran hukum oleh pers, Dewan Pers akan memberi pendapat. Kepolisian dan atau kejaksaan akan mempertimbangkan pendapat tersebut. Dengan menjalankan MOU tersebut, maka sengketa pers akan berjalan sesuai dengan track-nya tanpa mencederai lingkungan wewenang masing-masing. ∎
Editor : MA