LifeStyle

Sepenggal Perjalanan Jurnalistik di Lampung Post

Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Wartawan Lampung Post 1991 – 1993

Menurut Christianto Wibisono, jika di dunia saat itu ada raja media massa bernama Rupert Murdoch maka di Indonesia lahir “Raja Patungan” media massa.

10 Agustus 2020, Harian Lampung Post tepat berusia 46 tahun. Untuk sebuah koran atau surat kabar yang hidup di daerah, itu usia yang cukup panjang karena mampu melintasi perjalanan zaman yang sudah mulai tidak ramah dengan media cetak berbentuk koran, tabloid atau majalah.

Saya sudah mengenal surat kabar Lampung Post sejak masih usia Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan pernah ada di dalamnya dalam sepenggal perjalanan jurnalistik sebagai seorang jurnalis atau wartawan sejak di pers mahasiswa sampai ke pers umum.

Perkenalan pertama dengan surat kabar Lampung Post terjadi pada tahun 1978. Waktu itu untuk membaca berita Lampung Post selain membeli korannya bisa datang ke kantor redaksi di Jalan Pangkalpinang. Di depan kantor redaksi ada papan kayu seperti papan tulis yang ditempel lembar koran Lampung Post yang berukuran tabloid. Seperti koran dinding.

Saat di bangku SMA saya membaca Lampung Post dengan cara numpang baca gratis di depot koran yang terletak di persimpangan Jalan Palembang atau di situ dulu ada Rumah Makan Padang Fajar. Untuk bisa membaca koran gratis butuh perjuangan, karena sering diusir oleh penjaga depot koran.

Masa itu Lampung Post menjadi satu-satunya surat kabar harian di Lampung, lahir dari hasil merger koran atau surat kabar mingguan Pusiban, Independen dan Pos Ekonomi. Merger terjadi setelah Menteri Penerangan (Menpen) pada masa Orde Baru, Mashuri tahun 1973 mengeluarkan imbauan agar surat kabar di daerah melakukan merger untuk menerbitkan surat kabar harian.

Berdasarkan SK Menpen No.0148/ SK Ditjen PPG / SIT/ 1974 sejak 10 Agustus 1974 Lampung Post terbit menjadi surat kabar harian. Kantor redaksi harian Lampung Post selain di Jalan Pangkalpinang sebelumnya sempat berkantor di Jalan S Parman dan Wisma Bandarlampung, Labuhan Ratu. Kemudian kantor redaksi dan percetakan Lampung Post dibangun di Jalan Achmad Yani bersebelahan dengan gedung PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Provinsi Lampung.

Setelah terbit rutin sebagai surat kabar harian, Lampung Post pada 1989 menjalin kerjasama dengan Grup Surya Persindo yang menerbitkan Harian Media Indonesia.  Pada sekitar tahun 1988 dan 1989 model kerjasama surat kabar nasional yang terbit di Jakarta dengan surat kabar daerah tumbuh dengan marak. Waktu itu ekonom Christianto Wibisono Direktur PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia) menyebut di Indonesia bermunculan “Raja Patungan” media massa.

Pendapat itu saya kutip dalam tulisan yang terbit pada rubrik opini Lampung Post edisi Senin, 20 Oktober 1989 dengan judul “Sepekan Lampost Wajah Baru, Pers Nasional di Daerah Berprospek Cerah.”

Menurut Christianto Wibisono, jika di dunia saat itu ada raja media massa bernama Rupert Murdoch maka di Indonesia lahir “Raja Patungan” media massa. Adalah Gramedia Grup dengan koran terbesarnya Harian Kompas bekerjasama dengan beberapa koran di daerah menerbitkan surat kabar harian. Kemudian ada kelompok Harian Media Indonesia atau Grup Surya Persindo bekerjasama membina koran daerah, salah satunya ada Harian Lampung Post.

Dalam tulisan tersebut saya kutip juga pernyataan pendiri dan Pemimpin Umum Lampung Post Solfian Achmad (almarhum). Saya memanggilnya, “Bang Sol,” pada ulang tahun SKU Tamtama mengatakan, “Kerjasama Harian Lampung Post dengan kelompok Media Indonesia merupakan pemenuhan terhadap faktor-faktor yang harus dipenuhi bagi penopang majunya pers nasional di daerah Lampung.”

Lihat Juga  UBD Gandeng PWI Sumsel Buka Kelas S2 Khusus Wartawan

Menurutnya, faktor-faktor tersebut adalah : Pertama, perlunya pengembangan serta pengembangan yang mantap antara organisasi komponen pers yang ada (PWI, SPS, SGP dan P3I). Kedua, wartawan-wartawan yang terampil dan memiliki bobot jurnalistik masih diperlukan peningkatannya. Ketiga, Perlunya akumulasi modal yang besar terutama dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih. Keempat, sistem manajemen yang makin mutakhir untuk mengelola perusahaan secara profesional.

Perjalanan di Lampung Post

Persentuhan langsung saya dengan Lampung Post terjadi tahun 1985 setelah menjadi mahasiswa di Program Studi Ilmu Pemerintahan cikal bakal Fisip Universitas Lampung (Unila). Saat itu saya mengantar langsung tulisan opini ke kantor redaksi Lampung Post di Jalan Achmad Yani. Naik ke ruang redaksi di lantai dua bertemu dengan redaktur opini Eddy Koko (terakhir menjadi Pemimpin Redaksi Radio Trijaya FM Jakarta).

Tulisan tentang lingkungan hidup tersebut terbit di Lampung Post pada bulan Juni 1985. Tulisan tersebut bukan tulisan pertama yang terbit di surat kabar atau koran, sebelumnya tulisan saya di media massa terbit pada tabloid olahraga Bola (sudah tidak terbit sejak 19 Oktober 2018). Tulisan atau berita yang saya tulis berjudul “SMA Negeri I Tanjungkarang Meraih Kejayaan yang Pernah Hilang” terbit pada tabloid Bola edisi 7 Desember 1984.

Semasa mahasiswa banyak tulisan dan artikel termasuk cerita pendek (cerpen) yang dimuat di Harian Lampung Post. Bahkan masa itu jarang mahasiswa yang menulis di rubrik opini Lampung Post, kebanyakan ditulis oleh penulis yang berprofesi dosen, salah satunya Eddy Rifai (pakar hukum pidana Fakultas Hukum Unila). Saya menjadi mahasiswa persiapan Fisip Unila yang pertama menulis opini dan cerpen di Lampung Post sejak 1985. Lampung Post memiliki rubrik sastra dan budaya bernama “Ragem Carem Muli Meranai.”

Saat menjadi penulis masa mahasiswa, tulisan opini saya sempat tidak pernah dimuat di Lampung Post hampir selama enam bulan. Sempat saya tanya, mengapa tulisan opini saya tidak pernah dimuat? Saya tidak mendapat jawaban yang pasti, jawabannya klise, “Antri karena banyak tulisan opini yang masuk jadi tunggu giliran.”

Lihat Juga  PWI Sumsel Gandeng SKK Migas Gelar UKW Angkatan 31

Setelah saya bergabung di Lampung Post baru saya mendapat jawaban pasti, mengapa tulisan opini saya tidak pernah dimuat masa itu? Redaktur opini menceritakan, tulisan saya diminta tidak dimuat atau di-blacklist oleh mereka yang memiliki kekuasaan pada masa Orde Baru di daerah. Pada masa itu, penguasa Orde Baru menelpon pemimpin redaksi surat kabar adalah hal lazim terjadi. Opini yang terakhir dimuat sebelum diblokir adalah tentang gerakan mahasiswa yang terinspirasi dengan film “Dead Poets Society.”

Setelah lulus dari Fisip Unila 1990, perjalanan jurnalistik saya sempat berlabuh di Harian Lampung Post sebagai jurnalis atau wartawan. Perjalanan sebagai bagian dari Harian Lampung Post pasca bergabung dengan Grup Surya Persindo bermula saat wartawan Harian Kompas di Lampung, Bachtiar Amran Daeng Malewa (almarhum) yang menyampaikan kabar bahwa Lampung Post butuh calon wartawan dengan latar belakang aktivis pers mahasiswa.

Menurut “Bang Bam” demikian saya memanggilnya. “Bang Sol menelpon dia minta dicarikan anak Teknokra yang sudah lulus dua orang untuk menjadi wartawan Lampung Post.”

Waktu itu saya yang sudah tidak lagi menjabat Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) bersama M Syahran W Lubis yang juga sama-sama di Teknokra direkomendasikan untuk datang bertemu Bang Sol. Kami berdua datang dengan membawa berkas lamaran bertemu Bang Sol, setelah mendapat beberapa pertanyaan dan ditanya apa mau menjadi wartawan Lampung Post? Kami jawab mau, langsung dijawab, “Besok kalian langsung kerja, ikut rapat proyeksi pagi jam delapan,” kata Bang Sol.

Kami berdua esok pagi langsung ngantor dan ikut rapat proyeksi pagi bersama wartawan lainnya di ruang rapat yang terletak di lantai II gedung PWI Lampung. Kami bukan mantan aktivis SKM Teknokra yang pertama bergabung di Lampung Post, sebelumnya sudah ada Hapris Jawodo dan Hermansyah karikatur Pak De Pak Ho.

Sejak 1991 sampai pertengahan tahun 1993 saya pernah tercatat dalam daftar karyawan PT Masa Kini Mandiri perusahaan penerbit Lampung Post, dan sepenggal perjalanan tersebut menjadi catatan sekaligus kesaksian bahwa Lampung Post banyak menginsipirasi dan mendorong pembangunan Provinsi Lampung dan ini adalah prestasi serta sumbangsih dari sebuah surat kabar yang terus bertahan di tengah gerusan teknologi informasi serta perubahan zaman.

Happy Birthday, 46 Tahun Lampung Post.

[Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Lampung Post Kamis, 13 Agustus 2020 dengan judul “Sepenggal Perjalanan di Lampung Post]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button