LifeStyle

Selamat Jalan Prof Budi Darma

Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi

Membaca karya-karya Budi Darma adalah perburuan terhadap imajinasi

Hari masih pagi, di luar masih gerimis belum ada matahari mengantar kehangatan. Di halaman media sosial dari layar ponsel terbaca berita duka. Berita duka tentang kepergian seorang sastrawan besar Indonesia Budi Darma.

Budi Darma yang juga guru besar Unesa (Universitas Negeri Surabaya) dulu IKIP Negeri Surabaya dan pernah menjabat Rektor IKIP Surabaya 1984 – 1988 tutup usia di RS Islam A. Yani, Surabaya pada Sabtu, 21 Agustus 2021 sekitar pukul 06.00 WIB.

Awalnya sempat ragu membaca kabar kepergian sastrawan peraih Hadiah Sastra DKJ 1983 dan Hadiah Sastra Asean tahun 1984 karena untuk mengonfirmasikan kebenaran kabar duka tersebut langsung berselancar ke dunia maya, tak ada satu pun tentang kabar duka itu, tidak ada media massa online yang memberitakan kepergiannya. Baru menjelang pukul 09.00 WIB bermunculan satu persatu berita ihwal kepergian “Maestro Sastra Modern” Indonesia tersebut.

Budi Darma

Mengenal Budi Darma, bukan mengenalnya secara pribadi dan dekat melainkan mengenal sastrawan kelahiran Rembang, Jawa Tengah 25 April 1937 dari karya-karya yang banyak diterbitkan dalam format buku atau di media massa cetak. Sejak masih mahasiswa berkesempatan membaca karyanya yang terhimpun dalam buku seperti “Orang-orang Bloomington,” “Olenka,” “Rafilus” dan kumpulan esai “Solilokui” serta membaca beberapa cerpennya yang terbit di majalah sastra Horison atau di banyak surat kabar.

Membaca karya-karya Budi Darma adalah perburuan terhadap imajinasi, sama seperti memburu karyanya di lapak buku dan majalah bekas yang menjual majalah Horison pada tahun 80-an. Tumpukan majalah tersebut nyaris tak ada yang menyentuh kalah menarik dibanding majalah populer lainnya.

Dengan modal pas-pas sesuai isi kantong mahasiswa, ternyata tidak hanya karya Budi Darma yang didapat. Di lembar majalah yang dibeli dengan harga sudah diskon habis tersebut bisa memenuhi dahaga imajinasi dengan membaca karya sastrawan besar Indonesia lainnya seperti Danarto, Bakdi Soemanto atau Putu Wijaya.

Itu adalah salah satu cara membaca dan berkenalan dengan karya Budi Darma yang disebutnya, “semua karyanya adalah tanggapan terhadap norma-norma masyarakat.”  Budi Darma menganggap, semenjak dulu pada dasarnya manusia selalu mencari identitas dirinya, dan terjatuh-jatuh karena kesulitan berhubungan dengan sesamanya.

Harry Aveling pengamat dan penerjemah sastra Indonesia dari Australia dalam esainya mengaku bahwa, “Cerita-cerita Budi Darma menakutkan saya. Kebanyakan orang dalam derita-cerita Budi Darma tidak saling mencintai. Dunia dalam cerpen-cerpen Budi Darma adalah dunia gerai, sangat kejam tanpa kemanusian.”

Corak “menakutkan” dalam karya Budi Darma tidak terlepas dari pandangannya yang jelas dan tegas. Budi Darma penah menulis, bahwa bagaimanapun juga karya sastra lahir dari kekayaan batin untuk memperkaya batin, bukan untuk kepentingan sosial. Ia berpandangan, bahwa sastra untuk memperbaiki keadaan sosial adalah sia-sia belaka, sebab keadaan sosial hanya dapat diatasi dengan perencanaan dan tindakan nyata.

Lihat Juga  Mewaspadai “Perselingkuhan Politik” pada Pilkada Serentak

Dalam buku berjudul “Mencari Jati Diri : Kajian atas Kumpulan Cerpen Orang-orang Bloongmingtom Budi Darma” yang ditulis Tirto Suwondo, 2010, bahwa Budi Darma bukan tidak peduli dengan masalah-masalah sosial. Ketika bertindak sebagai manusia biasa, ia tetap komit terhadap masalah sosial, tetapi ketika bertindak sebagai pengarang ia bekerja dengan bawah sadarnya dan melupakan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi. Karena itu, pada waktu mengarang ia memasuki jiwa manusia sebagai manusia, bukan manusia sebagai mahkluk sosial.

Tirto Suwondo berkesimpulan, sebagai seorang pengarang, Budi Darma memang selalu konsisten. Dari dulu hingga sekarang, ia nyaris tidak berubah. Dalam karya-karyanya, baik novel maupun cerpen-cerpennya, pokok soal yang digarap tetap sama, yakni tentang manusia sebagai manusia (ya jiwanya, batinnya, emosinya, dan segala yang berkecamuk dalam dada dan pikirannya). Kalau toh pada tahun-tahun terakhir ini ada perubahan, saya kira perubahan itu hanyalah sebatas pada caranya bercerita.

Di lembar yang lain, dalam buku “Cerpen Indonesia Mutakhir : Antologi Esai dan Kritik” yang dihimpun Pamusuk Eneste, tahun 1993 terbaca bahwa, menjadi pengarang menurut Budi Darma, adalah seseorang yang bisa menceritakan sesuatu yang sebetulnya tidak ada ceritanya.

Jika membaca karya-karyanya dalam cerpen dan novelnya, Budi Darma adalah sastrawan Indonesia yang mempunyai ciri khas, yaitu dengan cara, gaya materi yang berbeda. Ia terus bercerita tentang kekerasan hidup, yakni tentang kesulitan orang berhubungan dengan sesamanya dalam mencari identitas dirinya.

Ketika para kritikus sastra mengatakan, “Budi Darma adalah pengarang jungkir balik.” Ia mengakuinya seperti di dalam buku “Proses Kreatif : Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang” yang juga ditulis Pamusuk Eneste, 1984.

“Para kritikus yang menamakan saya pengarang jungkir-balik tentu saja tidak keliru: seperti logika dan imajinasi dalam cerpen-cerpen saya, baik yang absurd maupun yang realistis banyak yang jungkir balik,” katanya.

Tentang imajinasi yang menjadi salah satu modal kepengarangannya, Budi Darma mengatakan, “Imajinasi saya datang dengan sendirinya. Bagi saya, kekuatan imajinasi identik dengan kepekaan seorang pengarang, Makin tajam kepekaan seorang pengarang, makin berkelejatanlah imajinasinya.”

Dalam ranah sastra Indonesia Karya Budi Darma bermula dari cerpen atau cerita pendek pada masa tahun 1970-an dikenal absurd. Cerpen banyak menarik perhatian pembaca sastra di Indonesia karena dianggap membawa warna baru dalam prosa modern Indonesia khususnya cerpen. Kehadiran cerpen Budi Darma menurut Pamusuk Eneste satu tren dengan cerpen Danarto dan Putu Wijaya.

Jika membaca cerpen Budi Darma atau Danarto dan Putu Wijaya, sepertinya teori sastra konvensional bukan menjadi suatu pakem yang harus diikuti. Plot, logika, perwatakan bahkan tema, batas antara impian dan kenyataan yang menurut Ajip Rosidi telah menjadi kabur dan cerita yang mereka tulis menjadi rentetan imajinasi yang tempel-menempel bukan sambung menyambung seperi mozaik.

Budi Darma dianggap memelopori penggunaan teknik kolase, yaitu teknik penempelan potongan iklan bioskop dan tiket pertunjukan dalam karya-karyanya, seperti dalam “Orang-Orang Bloomington” dan “Olenka.” Dalam sebuah wawancara di sebuah koran Budi Darma mengatakan, novel “Olenka” ditulisnya dalam waktu tiga pekan.

Lihat Juga  Keren, Gambo Muba Tampil di “OZIP Magazine” Terbitan Australia

“Olenka” lahir di sela-sela menulis disertasi di Indiana University Amerika Serikat. Sambil menunggu revisi disertasi untuk membunuh rasa jenuh, Budi Darma memutuskan mengurung diri di apartemen dan mulai menulis “Olenka.”  Judul “Olenka” diambil Budi Darma dari tokoh cerpen karya Anton Chekhov “The Darling.” Budi Darma mengaku sangat suka cerpen tersebut yang yang dibacanya waktu masih di bangku SMP.

Budi Darma mengakui bahwa proses kreatif menulis “Olenka” terbilang unik. Selama berdiam diri di apartemen ia selalu membaca koran lokal. Dari bacaan koran itu, ia menemukan beberapa plot yang ditulis dalam dalam cerita. Makanya saat membaca “Olenka” ada sisipan potongan koran yang menjadi referensi dalam menulis. Novel ini adalah perpaduan antara fiksi dan fakta.

Budi Darma bukan hanya seorang sastrawan, ia juga pendidik sesuai dengan jabatan dengan gelarnya sebagai guru besar yang menghasilkan banyak karya ilmiah, salah satunya buku yang menjadi referensi pendidikan sastra berjudul “Pengantar Teori Sastra” tahun 2004 yang diterbitkan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional

Dalam buku ini Budi Darma memilah sastra menjadi sastra serius (interpretif atau sastra untuk ditafsirkan) dan sastra pop (escape atau sastra pelarian, yaitu sastra untuk melarikan diri dari kebosanan, rutinitas sehari-hari, atau dari masalah yang sukar diselesaikan).

Untuk ragam sastra serius Budi Darma membedakannya menjadi belle letters (sastra klasik yang bermutu tinggi, berkualitas sastra bahkan mampu bertahan melampaui zaman) dan literature (sastra yang biasa-biasa saja mutunya). Kedua ragam sastra tersebut, menurut Budi Darma masuk dalam kanon sastra. Dalam bahasa Arab kanun berarti hukum atau aturan.

Jadi, sastra kanon adalah sastra yang dapat diibaratkan sebagai sesuatu yang sudah dijadikan aturan atau undang-undang. Menurut Budi Darma sastra Indonesia yang masuk klasifikasi sastra kanon antara lain ”Salah Asuhan” (Abdul Muis), “Layar Terkembang” (Sutan Takdir Alisyahbana), “Kerikil Tajam dan yang Terempas dan yang Putus” (Chairil Anwar), dan “Deru Campur Debu” (Chairil Anwar).

Sebagai seorang pendidik Budi Darma tidak hanya mengajar di Unesa. Ia menjadi pengajar dan peneliti di NTU (Northen Territory Universitay) Darwin, Australia, Indiana University di Indiana, Amerika Serikat, Osmania University di Hyderabat, India, dan National Institute of Education, Nanyang Technological University di Singapura dan beberapa universitas di Indonesia.

Selamat jalan sang sastrawan, selamat jalan profesor tenang lah di sana di haribaan Rabbmu. Karya mu akan terus kami baca menjadi inspirasi dalam merangkai imajinasi.

Editor : MA

#Tulisannya juga terbit dalam buku berjudul “Sepilihan Esai Kenangan Murid Kultural Budi Darma” yang terbit September 2021

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button