Selamat Jalan Pahlawan Komunitas Jazz From Vanka
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Pada penghujung tahun 2021 dunia musik Indonesia berduka. Sabtu malam menjelang dinihari panggung musik Indonesia kehilangan salah seorang pemusik yang menjadi legenda musik jazz Indonesia, Idang Rasjidi meninggal dunia pada Sabtu, 4 Desember 2021 pukul 23.35 WIB.
Pemusik bernama lengkap Chaidar Idang Rasjidi meninggal dunia di RS Azra, Bogor dan dimakamkan di Ahad, 5 Desember 2021 di TPU Kampung Kandang, Jagakarsa.
Saat berita duka itu terbaca saya tengah berada di Pangkalpinang, Pulau Bangka yang menjadi kampung kelahiran Idang Rasjidi yang lahir 26 April 1958. Sejak Agustus 2021 saya berada di Pangkalpinang kota tempat masa kecil Idang Rasjidi menuntut ilmu dan berlajar bermain piano.
Di ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) ini masih bisa menemukan “jejak musik” Idang Rasjidi, yakni sebuah piano yang sudah berusia 100 tahun milik keluarga besar Idang Rasjidi.
Piano tersebut pada 2017 yang sudah diperbaiki dititipkan kakak-beradik Chaidar Idang Rasjidi dan Apik Chakib Rasjidi kepada Hongky Listiadi atau Hongky Lie pemilik pemilik rumah Heritage of Lie yang terletak di Jalan Sudirman, Pangkalpinang. Idang Rasjidi dan Hongky Lie sudah berteman sejak lama, merupakan teman sekolahnya saat bersekolah di SD Budi Mulia.
Idang Rasjidi bercerita bahwa piano dari orang tuanya Achmad Rasjidi menyimpan kenangan yang tak mungkin dilupakannya, sejak usia lima tahun Idang sudah belajar bermain piano. Sejak kedua orang tuanya meninggal, piano tersebut tidak terawat. Lalu keluarga besarnya berinisiatif menyerahkan perawatan piano tersebut Kepada Hongky Lie yang memang dikenal di Pangkalpinang sebagai arsitek yang banyak menyimpan koleksi barang-barang kuno dan antik.
Selain piano masih banyak jejak dan kenangan Idang Rasjidi yang tersisa di pulau Bangka yang dulu juga disebut “Vangka” atau “Wangka” yang berarti timah. Walau tinggal di ibu kota Idang Rasjidi kerap menyambangi Bangka yang tidak sekedar bersilaturahmi dengan keluarga besarnya, ia juga menggelar konser musik jazz yang monumental bagi daerah yang sudah 21 tahun berpisah dari Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).
Ada dua pementasan musik jazz yang patut dikenang di Bangka yang keduanya melibatkan Idang Rasjidi. Yang pertama adalah pagelaran Jazz on The Beach (JOTB) pada tahun 2012 di Marina Bay, Parai Beach Resort & Spa, Kepulauan Bangka Belitung. Di JOTB bekerjasama dengan El John pimpinan Johnie Sugiarto, Idang tampil bersama Idang Rasjidi Syndicate.
Di tepi pantai laut pulau Bangka pada JOTB Idang Rasjidi sempat memainkan lagu berjudul “Some Where Over The Rainbow.” Menurutnya, lagu tersebut adalah kesukaan ayahnya, Ahmad Rasjidi. Idang pun bercerita tentang memori lagu karya komposer Yip Harburg dan Harold Arlen. Setelah ibunya meninggal dunia, kondisi kesehatan ayahnya terus menurun, tiga hari sebelum meninggal dia masih mendengarkan lagu kesukaannya tersebut, “Some Where Over The Rainbow”
“Saya tanya, kenapa ayah suka lagu ini, padahal ibu sudah tidak ada. Ayah saya menjawab, saya percaya ibumu ada di ujung pelangi, dan saya juga akan menuju ke sana.”
Kemudian pada akhir 2017 Idang Rasjidi kembali ke kampung halamanya. Kali ini Idang Rasjidi manggung pada pentas musik jazz bertajuk “Jazz on the Bridge” bersama Idang Rasjidi Syndicate dan pemusik Fariz RM, Mus Mujiono dan Tompi.
Panggung musik berdiri di Pantai Koala, kawasan Jembatan EMAS sebuah jembatan yang menjadi landmark pula Bangka karena jembatan ini bisa dibuka dan ditutup, mengingatkan seperti jembatan Ampera yang membentang di atas sungai Musi, Palembang yang awalnya juga bisa dinaik dan turunkan jika ada kapal yang akan berlayar.
Kepergian Idang Rasjidi ke alam baka membuat CEO El John Grup Johnie Sugiarto sangat bersedih. Johnie yang dihubungi setelah mendapat kabar meninggalnya Idang Rasjidi mengatakan, “Saya sangat sedih. Idang seorang teman, musisi yang rendah hati, sangat akomodatif, dan banyak sekali kreasinya yang mendorong anak-anak muda mencintai musik jazz. Sosialisasi musik jazz yang dilakukannya sangat berhasil. Ini dibuktikan setiap even JOTB yang saya selenggarakan dengan mengajak Idang pasti evennya sangat sukses,” katanya.
Apa yang dikatakan CEO El John Grup tersebut benar adanya. Seorang wartawan musik senior Eddy Koko yang kerap bersama Idang Rasjidi setiap penampilannya di dalam negeri dan di luar negeri seperti di North Sea Jazz Festival, Den Haag, Belanda menulis bahwa Idang Rasjidi adalah pahlawan komunitas jazz.
Saya kutip satu pendapat Eddy Koko yang pernah menjadi produser pada Radio Trijaya FM dalam tulisannya berjudul “Idang Rasjidi Pahlawan Komunitas Jazz Indonesia” yang dimuat di Koran Sindo.
“Perhatian Idang Rasyidi terhadap perkembangan musik jazz di Indonesia sungguh luar biasa. Idang tidak hanya berpetuah tetapi action, aktif membimbing anak muda yang berminat pada musik jazz. Suport Idang dapat dilihat dari hadirnya dia dalam berbagai festival jazz yang diselenggrakan anak-anak muda di di kota besar sampai dusun-dusun. Bisa dibayangkan, betapa bangganya anak muda yang baru menghidupkan komunitas musik jazz di kampungnya dihadiri tokoh jazz Indonesia. Nama Idang sangat dikenal di dunia jazz Indonesia. Dengan perhatiannya tersebut Idang Rasyidi menjadi pahlawan penggerak komunitas jazz di Indonesia yang sekarang menjamur.”
Saya sendiri tidak mengenal Idang Rasjidi seperti Eddy Koko yang mengenalnya dengan berinteraksi dengan musisi yang pernah menjadi pembawa acara “Salam Canda” di sebuah stasiun televisi swasta bersama Ebet Kadarusman. Saya mulai suka musik jazz, musik yang katanya adalah musik tradisional Amerika Serikat yang dikembangkan oleh warga Afro-American pada akhir abad 19 dan awal abad ke 20, sejak menjadi mahasiswa di kampus Universitas Lampung (Unila) pertengahan 80-an
Saya bersama Hersubeno Arief dan Hermansyah yang sama-sama menjadi aktivis pers mahasiswa di Surat Kabar Mahasiswa Teknokra punya selera dan kesukaan yang sama terhadap musik. Jika teman-teman lain suka musik pop Indonesia yang melankolis, atau musik dangdut dan musik rock, kami bertiga suka musik jazz yang di kampus sepi peminatnya.
Kami suka juga membaca berita tentang artikel musik jazz atau festival musik jazz. Masa itu tengah top berita tentang festival musik jazz bernama “Jazz Goes to Campus” (JGTC) yang diadakan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kami pernah punya mimpi, kapan kampus kami bisa punya acara seperti JGTC? “Mimpi boleh kan?”
Tahun 1988 kami berkesempatan menyaksikan langsung penampilan grup musik jazz Krakatau dengan personil Dwiki Dharmawan, Pra Budi Dharma, Indra Lesmana, Gilang Ramadhan, Donny Suhendra, Trie Utami yang manggung di Balairung Universitas Indonesia. Bagi mahasiswa dari daerah yang datang ke ibu kota nonton live festival musik jazz rasanya bangga banget.
Omah Moesik
Lambat laun perkembangan musik jazz mulai diterima banyak kalangan dan mulai merambah ke daerah. Untuk pertama kalinya di Bandarlampung menyaksikan penampilan grup musik jazz Ireng Maulana dan kawan-kawan tahun 1992 di sebuah hotel berbintang lima di kawasan Telukbetung. Saat itu saya menyaksikan langsung sosok dan permainan Idang Rasjidi dengan tubuh yang tinggi besar bermain di belakang pianonya dengan ditingkahi permainan saxophone Embong Rahardjo.
Usai menyaksikan permainan Idang Rasjidi dan kawan-kawan saya dan Hermansyah balik ke kantor membuat tulisan tentang pementasan tersebut di koran lokal Lampung Post. Karena bukan wartawan musik seperti senior kami Eddy Koko, maka artikel musik yang kami tulis terasa dangkal, waktu itu kami hanya tahu judul lagu, gaya permainan para pemusik di panggung, ya hal yang remeh-temeh yang kami tulis. Kalau dibaca sekarang mungkin pembacanya ketawa ngakak.
Sejak saat itu ternyata Idang Rasjidi kerap datang ke Bandarlampung, kedatangannya bukan untuk manggung. Idang justru datang seperti yang dikatakan Johnie Sugiarto dan Eddy Koko di atas, “Idang tidak hanya berpetuah tetapi action, aktif membimbing anak muda yang berminat pada musik jazz.”
Ya Idang Rasjidi yang dikelilingi belasan anak muda melakukan coaching clinic tentang musik jazz. Idang datang bersama beberapa musisi jazz Indonesia, diantaranya Bintang Indrianto. Acara bertajuk coaching clinic tersebut diadakan hampir setiap bulan sekali diisi dengan instruktur yang datang bergantian dari Jakarta termasuk Idang Rasjidi.
Sejak saat itu, jika Idang datang ke Bandarlampung, saya duduk di bagian belakang ikut menyaksikan dia berbagi ilmu musiknya dengan pada anak muda penyuka musik jazz. Isitlah Eddy Koko mereka mendapat kuliah gratis dari seorang maestro pianis jazz.
Belakangan juga ada berdiri “Omah Moesik Idang Rasjidi” yang merupakan lembaga kursus musik yang menggunakan celebrity endorser milik Idang Rasjidi. Salah satunya yang mulai berdiri awal 2009 di Pekalongan. “Omah Moesik Idang Rasjidi” adalah salah satu cita-cita besarnya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan musik yang murah dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Dari bibit yang ditebarnya kini telah berbuah manis. Idang Rasjidi pernah menyatakan, mengaku bangga dengan perkembangan musik jazz di Indonesia yang terus mendapat tempat di hati masyarakat dari berbagai lapisan.
“Indonesia itu menjadi negara yang paling banyak menyelenggarakan acara musik jazz. Setahun kemarin ada sekitar 46 acara jazz digelar di tahan air,” katanya pada tahun 2013. Dalam dua tahun terakhir karena pandemi Covid-19 memang aneka festival jazz tersebut urung terlaksana.
Kemudian tahun 2017 Idang Rasjidi menyatakan, awalnya tak banyak yang mengenal musik jazz di Indonesia. Tetapi, kini setidaknya ada 64 gelaran jazz di Indonesia.
“Ini adalah efek dari metode mengenalkan jazz dari atas turun ke bawah. Bukan hanya mengenalkan musik jazz di tempat-tempat resmi atau yang mewah. Dari atas, turun ke bawah. Dari kampung ke kampung. Tidak harus mengenalkan teknik-teknik yang sulit, tetapi bagaimana membuat mereka menikmatinya,” katanya menjelang tampil di Borneo Jazz Festival 2017 di Miri, Sarawak, Malaysia Timur.
Bagi pemusik yang pernah meliris album “Heaven and Earth” tahun 1996, musik jazz adalah barometer kebebasan yang bersifat universal. Menurutnya, dia memiliki seorang sahabat asal Rusia dan tidak bisa berbahasa Rusia. “Tetapi ketika kami bertemu dan bermain musik, semua melebur menjadi satu,” katanya.
Kepergian Idang Rasjidi adalah kehilangan bagi musik jazz Indonesia, juga kehilangan bagi masyarakat di Bangka Belitung seperti yang dikatakan Wali Kota Pangkalpinang Maulan Aklil yang mengaku kehilangan sosok seorang guru. Menurut Wali Kota yang akrab disapa Molen meninggalnya Idang Rasjidi bukan hanya kehilangan seorang musisi yang handal, juga kehilangan seorang yang mengerti banyak hal, politik, ekonomi, sosial budaya.
Memang sebutan guru, maestro atau pahlawan komunitas jazz pantas melekat pada Idang Rasjidi yang kerap menyebut dirinya “Si Anak Lanun.”
Selamat jalan Idang Rasjidi. ∎
Editor : MA