Sampah di Palembang Memproduksi Listrik
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Di banyak kota besar sampah dituding sebagai salah satu penyebab banjir yang terjadi selama awal tahun 2020. Baru di sedikit kota besar ternyata sampah mampu memproduksi listrik yang sangat dibutuhkan warga kota. Melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), sampah bisa diolah menghasilkan energi listrik.
Ke depan atau suatu saat kelak, kebutuhan energi listrik kota Palembang akan dihasilkan dari sampah. Saatnya sampah tidak lagi dituding sebagai penyebab banjir karena sudah ada PLTSa yang bisa menghasilkan listrik sebesar 20 MW (Megawatt). Menurut Wali Kota Palembang Harnojoyo pertengahan 2020 sudah akan dibangun insinerator atau Incinerator Plant yang menghasilkan listrik dengan bahan baku sampah. 1.000 ton sampah warga Palembang bisa menghasilkan listrik 20 MW, apa tidak hebat?
Hebatnya lagi tidak perlu pusing mencari pembelinya. Banyak pembangkit listrik atau power plant mangkrak, salah satu penyebabnya tidak ada kesepakatan harga jual dari produsen listrik kepada PT PLN. Untuk PLTSa kota Palembang PT PLN akan membeli listrik setiap Kilowatt Hour (kWh) dengan harga 13,75 dolar Amerika Serikat. Kemudian PLN menyalurkannya ke konsumen warga Kota Palembang.
Kehadiran PLTSa di kota besar selain untuk memenuhi kebutuhan energi listrik warganya, juga sebagai salah satu solusi mengatasi permasalahan sampah. Kini dengan PLTSa akan mampu mengurangi “volume” sampah yang menggunung. Listrik yang dihasilkan dapat digunakan untuk membantu operasional pengelolaan sampah.
Di negara maju pengolahan sampah dengan teknologi PLTSa bukan hal baru. Seperti Perancis memiliki lebih dari 130 PLTSa, Italia 52 PLTSa dan Jerman memiliki 61 PLTSa. Untuk negara seperti Singapura memiliki empat Incinerator Plant yang ada di Ulu Pandan berkapasitas 1.100 ton/hari, Tuas Incinerator Plant (1.700 ton/hari), Senoko Incinerator Plant (2.400 ton/hari) dan Tuas South Incinerator Plant (3.000 ton/hari).
Amanat UU
Sampah selama ini kerap menjadi permasalahan pada banyak kota di Indonesia. Pengelolaan sampah menjadi permasalahan yang tak kunjung usai ditangani. Menurut definisi World Health Organization (WHO) sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Menurut UU Pengelolaan Sampah Nomor 18 tahun 2008 menyatakan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam yang berbentuk padat.
Menurut para ahli kesehatan masyarakat di Amerika Serikat, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang, yang berasal dari kegiatan manusia, dan tidak terjadi dengan sendirinya.
Secara umum komposisi sampah setiap kota atau negara hampir sama terdiri dari kertas dan karton ± 35 persen, logam ± 7 persen, gelas ± 5 persen, sampah halaman dan dapur ± 37 persen, kayu ± 3 persen, plastik, karet, dan kulit ± 7 persen, lain-lain ± 6 persen.
Produksi sampah baik kualitas maupun kuantitasnya sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Ada beberapa faktor, diantaranya jumlah penduduk, kondisi sosial ekonomi, kemajuan teknologi, dan tingkat pendidikan.
Kehadiran PLTSa sebagai bagian dari pengelolaan sampah merupakan pelaksanaan dari amanat UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang mengamanatkan bahwa pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan harus terus ditingkatkan. Juga amanat dari UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumber energi primer harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan energi terbarukan.
Pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biomassa menjadi suatu keharusan untuk terus didorong pemanfaatannya. PT PLN pun telah memanfaatkan energi listrik berbasis berbasis biomassa, biogas, dan sampah kota dan telah terhubung pada jaringan PLN (on grid).
Untuk produksi tenaga listrik dari pembangkit listrik berbasis sampah kota pemerintah melalui Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Kota.
Peraturan Menteri ESDM tersebut lahir sebagai salah satu bentuk insentif untuk mendorong minat investor dalam pengembangan pembangkit listrik berbasis sampah kota. Sekaligus sebagai upaya Kementerian ESDM mensinergikan kepentingan pengelolaan sampah untuk kepentingan energi dan kebersihan kota.
Membangun PLTSampah adalah cara untuk kita tidak berlarut-larut menghabiskan energi untuk pengelolaan sampah, tetapi sebagai cara menghabiskan sampah untuk dijadikan energi.
Hadirnya PLTSa merupakan pelaksanaan dari amanat UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang mengamanatkan bahwa pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan harus terus ditingkatkan. Juga amanat dari UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumber energi primer harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan energi terbarukan.
Pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biomassa menjadi suatu keharusan untuk terus didorong pemanfaatannya. PT PLN telah memanfaatkan energi listrik berbasis berbasis biomassa, biogas, dan sampah kota dan telah terhubung pada jaringan PLN (on grid).
Dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah dan Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, pembangunan proyek PLTSa dimungkinkan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat. Kementerian ESDM telah melakukan survei. Hasilnya menunjukkan produksi sampah di beberapa kota besar di Indonesia mampu menghasilkan listrik sebesar 2.000 Megawatt.
Ada 15 kota yang memiliki sampah dengan jumlah besar. DKI Jakarta memiliki potensi sampah mencapai 7.000 ton per hari, disusul Surabaya, Bandung, dan Bekasi. Menurut Perpres Nomor 35 Tahun 2018 Pemerintah menargetkan pembangunan PLTSa di 12 kota, yakni DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang dan Manado. Direncanakan 12 PLTSa tersebut akan menghasilkan listrik hingga 234 Megawatt (MW) dari sekitar 16.000 ton sampah per hari. PLTSa dapat memproduksi arus listrik dengan menggunakan teknologi insinerator dan landfill gas (LFG).
Sampah perkotaan mempunyai potensi energi biomassa yang dapat dikonversi menjadi energi listrik, tetapi juga tidak tertutup peluang untuk bisa dimanfaatkan menjadi biofuel. Inisiatif sejumlah pemerintah daerah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) merupakan langkah jitu sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah sampah, terutama sampah plastik.
Mengutip penjelasan Wakil Menteri ESDM saat dijabat Arcandra Tahar, Surabaya akan menjadi kota pertama yang mengoperasikan pembangkit listik berbasis biomassa dari volume sampah sebesar 1.500 ton per hari berkapasitas 10 MW dengan investasi sekitar USD 49,86 juta,.
Lokasi PLTSa kedua berada di Bekasi dengan investasi USD 120 juta dengan daya 9 MW. Pada 2021 bakal ada tiga PLTSa berlokasi di Surakarta (10 MW), Palembang (20 MW) dan Denpasar (20 MW). Total investasi untuk menghasilkan energi listrik dari tiga PLTSa tersebut sebesar 297,82 juta dolar AS dan akan mengelola sampah sebanyak 2.800 ton per hari.
Jika menelusuri jejak digital tentang pembangunan PLTSa di Palembang, rencana pembangunan PLTSa di TPA Sukawinatan sudah ada sejak 2014. Kini jangan sampai PLTSa Palembang hanya rencana dan rencana tanpa pernah terealisasi pembangunannya. Mari menunggu realisasi PLTSa beroperasi di ibu kota Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).