RI dengan China Urung Sepakati Kerjasama Peremajaan Sawit di Jalur Sutra
EkbisNews.com – Kerjasama Indonesia dengan china dalam program peremajaan perkebunan kelapa sawit gagal terealisasi dalam Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Initiative (BRI) atau ‘Jalur Sutra Modern’ pekan lalu.
“Jika kami belum sepakat, ya kami belum tanda tangan. Jadi, tidak ada kesan yang dipaksakan,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Ridwan Djamaluddin dalam paparan Forum Wartawan Kemenko Bidang Kemaritiman di Jakarta, Senin (29/4).
Rencananya, China melalui China Development Bank akan mengucurkan pembiayaan program peremajaan sawit di Indonesia. Namun, besarannya belum diungkap.
Dalam pembahasan antara dua pihak belum terjadinya kesepakatan atas sejumlah point Salah satunya, masalah skema penjaminan risiko nilai tukar mengingat pinjaman yang dikucurkan dalam bentuk renminbi.
“Kalau ada fluktuasi nilai tukar ada naik turun siapa yang jamin?” jelasnya.
Ke depan, kedua negara akan terus membahas solusi mengenai poin-poin yang belum disepakati. Pada dasarnya, kedua negara ingin merealisasikan program tersebut.
Bagi Indonesia, kerja sama dengan China dapat menyeimbangkan tekanan yang diterima dari negara barat terhadap industri sawit. Kerja sama keduanya pada akhirnya bisa menyejahterakan petani karena sekitar 12 juta hingga 14 juta petani kecil di Indonesia lahannya perlu diremajakan.
Selain itu, Indonesia juga berharap dengan adanya kerja sama tersebut China akan membeli lebih banyak minyak kelapa sawit dari Indonesia. “Arahnya menuju kerja sama hanya skemanya yang belum disepakati,” katanya. Dikutip dari cnndonesia.com (30/4)
Dalam KTT BRI, pemerintah Indonesia melalui Kemenko Kemaritiman dengan pemerintah China melalui National Development and Reform Commission telah menandatangani dokumen rencana kerja sama antara kedua negara (bilateral cooperation plan) dalam pertemuan KTT BRI.
Dokumen tersebut merupakan dokumen payung untuk proyek-proyek yang dapat dikerja-samakan antar badan usaha di kedua negara.
Proyek-proyek yang ditawarkan Indonesia berada di empat koridor, yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Pulau Bali. Selain itu, dokumen rencana tersebut juga mencakup proyek-proyek non koridor, seperti proyek pembangkit listrik di sejumlah wilayah, proyek kawasan industri Ketapang, dan proyek tambak udang di Maluku.
“Di situ (dokumen rencana kerja sama) hanya menyatakan kami ingin kerja sama di empat koridor ada juga proyek-proyek non koridor. Nanti pelaku industri yang melakukannya,” terang Ridwan.
Salah satu, proyek yang diteken nota kesepahaman pengerjaannya adalah proyek pengembangan pelabuhan dan kawasan industri Kuala Tanjung di Sumatera Utara dengan perusahaan pelat merah China. Selama dua tahun terakhir, proyek tersebut belum bisa menarik investor masuk.
Selain itu, kedua negara juga berkomitmen untuk melakukan studi kelayakan bersama (joint feasibility studies) untuk sejumlah proyek yang persiapannya belum tuntas di antaranya untuk proyek kawasan industri di Kalimantan Utara, kawasan industri pariwisata di Sulawesi Utara, dan pengembangan taman bunga di wilayah Danau Toba.
Di luar itu, pemerintah juga mengusulkan proyek pengembangan pendidikan vokasi dan cetak biru konsep reindustrialisasi Indonesia.
“Kita tahu industri di Tiongkok sangat maju dan kami ingin mengambil pengalaman mereka untuk juga melakukan industrialisasi yang masif,” katanya.
Di sela rangkaian pertemuan, MoU antara Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Tsinghua Unversity terkait pengembangan iptek juga diteken.
Lebih lanjut Ridwan menekankan kerja sama dengan China merupakan upaya Indonesia untuk memperoleh pendanaan proyek yang memadai. Terlebih, Indonesia sedang berupaya untuk mengerek investasi asing yang masuk ke Indonesia.
“Kita tahu, pasti China akan mendapatkan untung dari kerja sama ini tetapi kita mau dapat untung lebih banyak,” ucapnya.
Agar tidak membebani keuangan pemerintah, proyek-proyek yang ditawarkan menggunakan skema business-to-business. Dengan demikian, kucuran pembiayaan dari China tidak akan menambah utang pemerintah.
Selain itu, China juga harus mengikuti sejumlah syarat yang diajukan oleh pemerintah di antaranya proyek harus menggunakan teknologi terkini, transfer teknologi, menyerap tenaga kerja lokal, dan ramah lingkungan.
Editor : Handoko Suprianto