Raun-raun ke Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Kata “Raun-raun” pertama kali saya dengar saat tinggal di salah satu Nagari di Sumatera Barat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “Raun” berarti “berkeliling; ronda; patroli.” Bagi warga Sumatera Barat atau Minangkabau, kata “Raun-raun” berarti pesiar. Bahasa kerennya, “jalan-jalan” atau “berwisata.”
Mari raun-raun ke Sawahlunto yang sejak 2019 telah ditetapkan badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Unesco sebagai salah satu warisan dunia yang ada di muka bumi. Unesco pada 43rd session of the World Heritage Committee di Baku, Azerbaijan menetapkan tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto sebagai salah satu warisan budaya dunia. Unesco memberi nama “Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto.”
Unesco menyebut Sawahlunto merupakan kota penambangan batu bara tertua di Asia Tenggara. Aktivitas penambangan batu bara telah dimulai sejak abad ke-19 saat Hindia Belanda berkuasa. Penambangan batu bara telah mengubah Sawahlunto, dari wilayah terpencil menjadi dikenal dunia luar.
Tambang batu bara di Sawahlunto pernah dikelola BUMN PT Bukit Asam Tbk. Sejak 2001 BUMN tersebut tidak lagi melakukan penambangan batu bara di Sawahlunto. Lahan lahan pasca tambang telah disulap menjadi taman satwa dan membuat danau buatan untuk menjadi lokasi wisata.
Perjalanan menuju Sawahlunto bisa dimulai dari kota Padang, ibu kota Sumatera Barat. Jarak Padang – Sawahlunto menurut Google sejauh 92,8 km ditempuh dengan perjalanan darat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sawahlunto adalah kota dengan tingkat kemiskinan terendah kedua di Indonesia setelah Kota Denpasar, Bali.
Kota Sawahlunto berada di tengah pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 250 – 650 meter di atas permukaan laut. Sawahlunto disebut juga kota arang sekaligus merupakan kota tambang batu bara terbesar dan tertua di Indonesia. Sawahlunto kaya akan artefak, melalui artefak-artefak tersebut kita dapat melihat jejak revolusi industri dari aktivitas pertambangan di sini.
Sawahlunto sejak masa Hindia Belanda sampai Indonesia merdeka dikenal sebagai kota pertambangan batu bara. Sejak 1990 Sawahlunto mengalami perluasan dan luasnya mencapai 27,793 Ha. Dengan perluasan wilayah di Sawahlunto ada “kota lama” dan “kota baru.”
Kota lama adalah kota yang dibangun pada masa kolonial dengan gaya arsitektur Indische yang menjadi pusat kegiatan pertambangan. Sejarah kota lama Sawahlunto dimulai ketika para ahli geologi Belanda menemukan
cadangan batu bara dalam jumlah besar pada akhir abad 19. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menanamkan investasi sebesar 5,5 juta Gulden untuk mengembangkan pertambangan batu bara berikut fasilitas pendukungnya.
Sejak 1887 para pekerja tambang mulai bermukim di Sawahlunto. Tahun 1894 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun jalur rel kereta api yang menghubungkan Sawahlunto dengan kota Padang. Produksi perdana batu bara dari Sawahlunto pada tahun 1893 sebanyak 47.833 ton. Produksi tertinggi masa itu pernah mencapai 1.476.142 ton pada tahun 1920.
Di Sawahlunto ada 16 bangunan peninggalan Hindia Belanda yang sampai kini masih berdiri dan terpelihara. Bangunan tersebut didirikan pada 1800-1920 itu termasuk di antaranya adalah gedung Societeit, yang kini menjadi gedung Pusat Kebudayaan. Juga ada gudang Ransoem, yang kini menjadi Museum Goedang Ransoem di Jalan Abdul Rahman Hakim.
Ada gedung komedi yang kini menjadi kantor bank BUMN, stasiun kereta api yang menjadi gedung Museum Kereta Api. Salah satu gedung tua yang dibangun pada 1916 masih berdiri kokoh adalah gedung yang kini menjadi kantor PT Bukit Asam Tbk Unit Pertambangan Ombilin.
Juga masih berdiri kokoh Silo berbentuk tiga silinder besar yang berfungsi sebagai penimbun batu bara yang telah dibersihkan dan siap diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur.
Setelah menempuh perjalanan dari Padang, setiba di Sawahlunto raun-raun bisa dimulai dengan lubang tambang Mbah Soero, sebuah lubang atau terowongan tambang batu bara bawah tanah yang dibangun pada 1898.
Sebelum masuk ke dalam lubang tambang, di Museum situs Lubang Tambang Mbah Soero, setiap pengunjung akan mendapat informasi tentang pertambangan batu bara yang pertama kali dieskplorasi pada 1891 di Sungai Durian. Areal situs tersebut awalnya adalah tempat berdirinya gedung pertemuan buruh tambang sekaligus tempat hiburan para buruh, terutama setelah masa gajian. Pada masa kemerdekaan, tempat ini masih berfungsi sebagai tempat pertemuan buruh.
Setiap pengunjung yang hendak masuk ke Lubang Mbah Soero harus memperhatikan standar keselamatan masuk ke area tambang dengan memakai sepatu dan helm yang sudah disediakan. Untuk masuk ke Lubang Mbah Soero harus membeli karcis lebih dulu.
Penelusuran ke masa lalu sudah bisa dimulai dengan menuruni anak tangga dengan kemiringan sekitar 20 derajat kemudian masuk ke bawah tanah berkeliling lubang yang panjangnya sekitar 1.500 meter.
Lobang Mbah Soero, menurut cerita yang berkembang, berasal dari nama seorang mandor yang bernama Mbah Soero yang dekat dengan para orang rantai dan dan memiliki ilmu kebatinan yang tinggi. Mbah Soero sangat disegani para pekerja tambang yang pada waktu itu kebanyakan berasal dari orang rantai atau hukuman yang dikirim dari Pulau Jawa. Mbah Suro meninggal dunia sebelum tahun 1930 dimakamkan di pemakaman orang rantai, Tanjung Sari, Kota Sawahlunto.
Berada di bawah lubang, kita masih bisa menjumpai batu bara atau arang hitam yang menjadi dinding lubang. Suasana tambang bawah tanah sangat terasa saat berada di lorong dalam lubang tersebut. Masuk ke dalam lubang tambang bawah tanah yang diameter atau tinggi lubang sekitar dua meter tersebut berbeda rasanya jika kita memasuki gua yang ada di Ngarai Sianok, Bukittinggi.
Dari Lobang Mbah Soero, dengan berjalan kaki perjalanan dilanjutkan ke Musem Goedang Ransoem yang berjarak sekitar 100 meter. Dulu, kompleks museum ini merupakan kawasan dapur umum untuk mempersiapkan makan bagi para pekerja tambang.
Bangunan gudang ini berdiri tahun 1894. Bangunan utama gudang terdiri atas dapur umum, dapur gudang es, gudang makanan mentah, gudang beras, menara asap, dan rumah potong hewan. Di museum ini disimpan periuk nasi dan perlengkapan dapur lainnya yang berukuran besar. Ada penggorengan (wajan) raksasa, ada pula dandang raksasa dan tempat sambal raksasa. Perlengkapan memasak ini dulu khusus didatangkan dari Jerman.
Dari Museum, perjalanan menuju ke Museum Kereta Api. Di sini bisa dilihat lokomotif kereta api yang menggunakan batu bara. Lokomotif yang disebut Mak Itam ini, dulu pernah menjadi koleksi Museum Kereta Api Ambarawa. Di Sawahlunto, Mak Itam kemudian dioperasikan untuk menarik kereta wisata menuju Muara Kalaban. Museum Kereta Api juga memiliki koleksi berbagai perlengkapan kereta api, seperti lampu sinyal atau jam besar yang dipasang di stasiun.
Perjalanan ke Sawahlunto adalah napak tilas sejarah tentang pembukaan pertambangan batu bara di Indonesia. Pilihan perjalanan bisa menuju gedung Societeit atau gedung Pusat Kebudayaan dan ke alun-alun atau lapangan segi tiga. Di tempat ini berdiri gedung PT Bukit Asam Tbk yang berlantai dua dan memiliki menara tinggi di tengahnya.
Gedung ini dibangun pada 1916 dengan nama “Ombilin Meinen” yang berfungsi sebagai kantor pertambangan. Gedung Bukit Asam memiliki halaman yang menjadi alun-alun atau lapangan segi tiga. Sedangkan Gedung Societiet bangun tahun 1920, digunakan sebagai tempat para pejabat Hindia Belanda melepaskan lelah setelah beraktivitas. Sekarang gedung ini menjadi Pusat Kebudayaan Sawahlunto.
Selain obyek wisata sejarah peninggalan Hindia Belanda, di Sawahlunto juga ada obyek wisata alam, seperti bekas galian tambang terbuka yang berubah menjadi danau dengan nama Danau Biru dan Danau Kandih. Destinasi Danau Biru mengingatkan pada danau serupa bekas tambang di Provinsi Bangka Belitung (Babel) yakni Danau Kaolin di Kabupaten Bangka Tengah.
Juga ada Puncak Polan yang merupakan puncak tertinggi dari perbukitan yang mengelilingi kota Sawahlunto yang berada di dataran seperti lembah. Di Puncak Polan terpasang plang bertuliskan “Sawahlunto” berukuran besar. Juga ada Puncak Cemara yang memiliki wahana Ayunan Cacaga (Cameh Cameh Galak) dan hammock.
PT Bukit Asam yang mengeksplorasi tambang batu bara di Sawahlunto juga berkontribusi dengan membangun obyek wisata seperti di areal reklamasi seluas 380 hektare di kawasan Danau Kandih. Juga membangun sirkuit dengan panjang lintasan 1,4 km dan arena pacuan kuda dengan panjang lintasan 1,4 km juga. Ada pula Taman Satwa Kandi yang merupakan kebun binatang mini.
Bagi yang ingin membawa pulang suvenir kain songket Silungkang dari Sawahlunto bisa datang ke kompleks Pasar Songket di dekat Kantor Camat Silungkang. Setiap tahun, kota ini menyelenggarakan even pariwisata yang diberi nama Festival Sawahlunto International Songket Silungkang Carnival (SISSCA).
Editor : MA