LifeStyle

Press Release Tanpa Hiperbola

Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Pemimpin Redaksi www.ekbisnews.com

Seorang teman jurnalis dari sebuah majalah berita berkirim pesan via WA (whatsapp). Isinya pertanyaan, “Menurut Maspril, arti kata sabet itu apakah?” Pertanyaan tersebut dikirim setelah sebelumnya dia menerima press release atau siaran pers dari sebuah institusi.

Saya tidak ingin berspekulasi menjawabnya. Saya minta dia membuka dan merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agar jawabannya tepat dan pas. Terhadap teman jurnalis tersebut saya apresiasi karena mau sedikit capek membuka kamus daring yang memang bisa diakses melalui website KBBI.

Setelah komunikasi tersebut, saya teringat pada pertemuan dengan seorang jurnalis beberapa bulan sebelumnya. Teman jurnalis tersebut bercerita tentang press release atau siaran pers yang diterimanya setiap hari dari sebuah institusi birokrasi. “Belakangan ini saya selalu mules setelah menerima dan membaca siaran pers dari Humas intitusi itu, bahkan nyaris muntah?” katanya.

“Memang kenapa sampai mules?” tanya saya.

“Tidak tahan dengan gaya penulisan dan penyajian bahasanya. Gaya bahasa dan penulisan muji-muji banget bos-nya, gaya bahasanya hiperbola. Kata-kata pujiannya sampai ke langit,” katanya sambil menggelengkan kepala.

Pengalaman teman tersebut tidak hanya pada dirinya, teman-teman wartawan atau jurnalis yang lain juga memberikan komentar nyaris serupa tapi tak sama. Mereka tidak menggunakan kata “mules.” Ada yang berkomentar, penggunaan bahasa Indonesia-nya kacau, ada bahasa daerah yang dijadikan Bahasa Indonesia. Padahal kata tersebut jika merujuk KBBI arti katanya berbeda dengan arti bahasa daerah. Celakanya, ada media yang mengutip utuh rilis tersebut dan menjadikan kata itu sebagai judul berita tanpa memberi tanda kutip bahwa itu kosakata bahasa daerah.

Mengenai gaya bahasa, dalam pelajaran Bahasa Indonesia sejak SD atau SMP kita sudah diperkenalkan dengan berbagai jenis gaya bahasa. Salah satu gaya bahasa tersebut yaitu gaya bahasa hiperbola.

Gaya Bahasa Hiperbola

Gaya bahasa dalam retorika dikenal dengan istilah style. Style dalam bahasa diartikan sebagai kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Baca buku karya Gorys Keraf, 1990). Ahli bahasa Guntur Tarigan menyebut bahwa gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak atau pembaca. Gaya bahasa juga kerap bersinonim dengan kata “majas.”

Menurut pakar bahasa Harimurti Kridalaksana (Kamus Linguistik, 1982), gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian. 1. Pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. 2. Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu. 3. Keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah saya teringat, kita diperkenalkan dengan beberapa gaya bahasa. Guntur Tarigan membedakan gaya bahasa menjadi empat, yaitu (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa pertentangan, (3) gaya bahasa pertautan, dan (4) gaya bahasa perulangan.

Untuk gaya bahasa pertentangan ini dibedakan menjadi duapuluh macam, yaitu (1) gaya bahasa hiperbola, (2) gaya bahasa litotes, (3) gaya bahasa ironi, (4) gaya bahasa oksimoron, (5) gaya bahasa Paronomasia, (6) gaya bahasa paralepsis, (7) gaya bahasa zeugma dan silepsis, (8) gaya bahasa satire, (9) gaya bahasa inuendo, (10) gaya bahasa antifrasis, (11) gaya bahasa paradoks, (12) gaya bahasa klimaks, (13) gaya bahasa antiklimaks, (14) gaya bahasa aposrof, (15) gaya bahasa anastrof dan inversi, (16) gaya bahasa apofasis dan preterisio, (17) gaya bahasa histeron preteron, (18) gaya bahasa hipalase, (19) gaya bahasa sinisme, dan (20) gaya bahasa sarkasme.

Lihat Juga  Gaya Hidup di Tengah Pandemi Covid-19

Apa itu gaya bahasa hiperbola yang sering mencul dalam setiap siaran pers? Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukuranya dan sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frase, atau kalimat.

Tulisan ini berbagi perihal press release atau siaran pers dan gaya bahasa. Press release atau siaran pers adalah dokumen yang disebarluaskan oleh insitusi pemerintah, perusahaan atau organisasi dengan tujuan agar sebagian atau bahkan seluruh isinya dikutip oleh media massa dalam pemberitaan.

Tidak bolehkah menulis press release atau siaran pers dengan gaya bahasa hiperbola? Tidak ada larangan menulis Press Release dengan gaya bahasa hiperbola. Menulis siaran pers untuk kampanye politik atau promosi produk silahkan menggunakan gaya bahasa hiperbola. Seperti promosi iklan pomade. “Dengan pomade Z membuat kamu tampil percaya diri.”

Seorang praktisi humas wajib atau terampil menulis karena merupakan tuntutan bagi praktisi humas modern. Menguasai ilmu dan teknik jurnalistik (baca: bisa menulis dengan baik) menjadi syarat utama humas modern. Praktisi Humas atau PR (Public Relations) bukan saja harus piawai berbicara kepada media (speaking skills), tapi juga harus terampil menulis dan “Writing is the number one skill of PR practitioners,” kata Craig Pearce dalam blognya, craigpearce.info. “Tidak ada PR tanpa keterampilan menulis,” kata Todd Hunt.

Seperti dalam menulis berita yang memiliki kaidah penulisan berita, dalam penulisan release atau siaran pers juga memiliki kaidah penulisan press release yang baik. Press release yang baik, cermin praktisi PR (Humas) yang menggarapnya adalah seorang yang profesional dan tahu benar akan apa yang diinginkannya. Penulisan press release yang baik menjadi salah satu tugas yang paling sulit bagi para praktisi PR (Humas). Dikarenakan press release memiliki arti penting yang khusus, sehingga teknik-teknik penulisan dari press release itu sendiri haruslah sangat diperhatikan.

Frank Jefkins dalam buku “Publicrelations” menulis gaya bahasa press release yang baik adalah 1) Menghindari gaya bahasa superlatif. Gaya superlatif adalah suatu ungkapan atau kata yang memuji diri sendiri secara berlebihan dengan ekspresi yang serba hebat. Sebuah press release harus senantiasa hanya memuat informasi-informasi aktual.

2)Menghindari gaya bahasa subyektif. Hindari generalisasi yang tidak jelas dan kecondongan untuk menjelaskan segala sesuatu yang berakibat tulisan keluar dari konteks aslinya. Biarkan saja pembaca yang menilai sendiri bagaimana kenyataannya.

Lihat Juga  Ini Tiga Buku Baru Terbitan Bukit Asam

3) Menghindari gaya bahasa klise. Jangan pernah memakai kata-kata klise seperti ”unik”, ”lain daripada yang lain”, “bercakupan luas” dan lain sebagainya. Meskipun istimewa belum tentu benar-benar unik, karena hal-hal yang sepenuhnya unik sangat langka di dunia ini.

Sejarah Humas

Bagi yang pernah kuliah atau mengmambil mata kuliah komunikasi akan diperkenalkan dengan sejarah profesi humas. Dalam beberapa literatur profesi humas disebut pertama kali muncul sekitar tahun 1830-an di Amerika Serikat. Waktu itu istilah “Humas” yang populer dengan sebutan “Public Relations” belum dikenal. Waktu masih disebut dengan “Press Agents/Press Agentry.”

Profesi Press Agents muncul seiring dengan semakin populernya surat kabar sebagai media penyampai informasi. Pada masa itu, masyarakat Amerika Serikat sangat menggemari surat kabar Penny Press (disebut juga koran kuning) yang banyak memuat berita-berita yang sensasional atau sekarang disebut gosip.

Populernya koran kuning membuat mereka yang berkecimpung di dunia hiburan (entertainment industry) tersadar dan memanfaatkan sebagai merdia untuk meraih popularitas. Kehadiran koran kuning pada masa itu menentukan populer atau tidaknya seorang artis atau aktor?

Fenomena ini kemudian memunculkan profesi Press Agents. Orang-orang dari dunia hiburan sadar bahwa mereka memerlukan seseorang yang dekat dengan industri surat kabar yang dapat dan mau menuliskan berita tentang dirinya. Mereka menyewa seorang mantan wartawan atau bahkan seorang wartawan yang masih aktif untuk menjadi Press Agent mereka.

Para Press Agents beertugas untuk membuat seorang calon bintang atau bintang yang sudah mulai pudar namanya tenar atau populer kembali. Akibat persaingan masuk dalam surat kabar semakin ketat maka berita para bintang atau artis tersebut dibuat lebih seru, lebih hebat, lebih menghebohkan. Tapi bagaimana bila mereka benar-benar tidak memiliki cerita/ isu yang heboh? Upaya yang mereka lakukan adalah dengan menciptakannya. Bahkan Press Agents menggunakan segala cara, bahkan termasuk memanipulasi berita atau membuat berita bohong yang sensasional, asalkan nama serta cerita seru mereka dapat dimuat di surat kabar.

Namun kemudian profesi Press Agents mendapat banyak kecaman karena profesi tersebut tidak memiliki etika kerja yang profesional. Semakin banyak kebohongan-kebohongan yang mereka ciptakan demi mempopulerkan klien mereka. Kebohongan tersebut terbongkar dan memberi nama buruk bagi profesi itu sendiri. Era itu dikenal sebagai era di mana praktik humas dipakai secara negatif, sebuah era humas manipulatif.

Jadilah humas yang cerdas jangan menjadi Press Agent yang menebarkan berita bohong. Jadilah humas yang pantang menggunakan gaya bahasa hiperbola atau superlatif demi memenuhi dahaga sang bos untuk pencitraan dirinya. Kirimlah materi press release atau siaran pers ditulis tanpa lagi membuat sang wartawan/ jurnalis mules perutnya. Kepada pers atau media massa pun harus cerdas, melakukan editing yang ketat terhadap siaran pers yang hiperbola dan bahasa Indonesia yang tidak baku. ●

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button