Penggilingan Padi Ramai-Ramai Tutup, Ada Apa?
EkbisNews.com – Penerapan HET yang berlaku sejak 1 September 2017 berhasil membuat penggilingan padi di sejumlah daerah memilih berhenti beroperasi.
Pemerintah diminta untuk mengkaji kembali penerapan aturan harga eceran tertinggi (HET) beras yang dinilai memberatkan pelaku usaha industri beras, terutama penggilingan padi.
Sekretaris Jenderal Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Burhanuddin mengatakan HET yang ditetapkan oleh pemerintah lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 57/2017 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras seharusnya dievaluasi secara periodik mengikuti fluktuasi harga gabah.
“Seharusnya dievaluasi setiap empat bulan sekali,” katanya, Rabu (28/8/2019).
Burhanuddin mengungkapkan, penerapan HET yang berlaku sejak 1 September 2017 berhasil membuat penggilingan padi di sejumlah daerah memilih berhenti beroperasi.
Pilihan tersebut terpaksa diambil untuk menghindari kerugian akibat makin tipisnya selisih harga gabah di pasaran dan HET beras.
Harga gabah di sejumlah daerah saat ini diketahui mulai mendekati angka Rp6000/kg. Namun, HET beras masih belum mengalami perubahan dari kisaran Rp9.450—Rp10.250 per kilogram untuk beras medium dan Rp12.800—Rp13.600 per kilogram untuk beras medium.
“Sekarang margin [produksi berash] bukan lagi tipis, tetapi enggak ada. Penggilingan pada lebih memilih berhenti beroperasi karena kesulitan membeli gabah yang harganya terus naik,” katanya.
Kenaikan harga gabah tersebut merupakan implikasi dari penurunan produksi yang terjadi akibat kemunduran masa tanam yang memengaruhi masa panen dan el-nino. Selain itu, kapasitas penggilingan padi saat ini dinilai melebihi ketersediaan gabah.
Seperti dikutip dari bisnis.com, Perpadi mencatat, akibat kondisi tersebut, sekitar 70% penggilingan padi di Tanah Air—khususnya yang berskala kecil—terpaksa berhenti beroperasi akibat penetapan aturan HET. Adapun, untuk rerata kapasitas belum terpakai (idle capacity) penggilingan padi sebesar 64%.
Terkait dengan evaluasi HET beras, Burhanuddin meminta agar pemerintah setidaknya memberikan margin paling sedikit 50% antara harga gabah dan HET beras.
Pasalnya, selisih tersebut tidak hanya berkaitan dengan keuntungan dari penggilingan padi semata, tetapi berkaitan pula dengan biaya operasional seperti biaya pengeringan dan penggilingan, ongkos angkut, dan upah tenaga kerja yang sulit ditekan.
Sementara itu, pengamat pertanian sekaligus Anggota Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) M. Husein Sawit mengatakan pemerintah seharusnya tidak perlu menetapkan harga tunggal beras lewat aturan HET.
Dia menilai harga beras sudah cukup diatur oleh mekanisme pasar.
“Jika ada kenaikan harga intervensi yang dilakukan cukup lewat kegiatan Operasi Pasar saja,” sebutnya.
Husein tak menampik penerapan aturan HET berhasil membuat harga beras stabil hingga datangnya musim kemarau seperti saat ini. Akan tetapi, penerapan aturan tersebut membuat penggilingan padi merugi hingga akhirnya berhenti beroperasi.
Selain itu, penerapan aturan HET membuat keuntungan pedagang beras semakin kecil. Risiko perdagangan beras menjadi semakin tinggi lantaran potensi kerugian semakin besar.
“Pedagang tak lagi berminat menyimpan stok dalam jumlah besar lantaran takut merugi di kemudian hari,” tutur Husein.