Panasnya Perang Dagang, Harga Batu Bara Terbakar
EkbisNews.com – Harga batu bara acuan Newcastle kontrak pengiriman Mei di bursa Intercontinental Exchange (ICE) ditutup melemah 0,3% di posisi US$ 83,75 metrik ton pada perdagangan hari Kamis (23/5/2019) kemarin. Padahal sehari sebelumnya harga batu bara ditutup menguat 0,18%.
Salah satu sentimen yang kuat menekan harga batu bara adalah proyeksi perekonomian global yang semakin gelap kala perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang semakin memanas.
Pemerintah China dikabarkan tidak lagi memiliki hasrat untuk melanjutkan perundingan dengan AS.
“Jika AS ingin melanjutkan perundingan dagang, maka mereka harus tulus dan memperbaiki kesalahannya. Negosiasi hanya bisa berlanjut bila didasari kesamaan dan saling menghormati. Kami memantau perkembangan terkini dan siap melakukan langkah-langkah yang diperlukan,” tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, mengutip Reuters.
Sikap tersebut muncul setelah AS memasukkan raksasa teknologi asal China, Huawei, ke dalam daftar hitam. Degan begitu perusahaan-perusahaan AS tidak lagi dapat membeli produk Huawei tanpa izin dari pemerintah.
Tentu saja hal itu membuat China berang. Pasalnya bukan hanya perusahaan AS saja yang memutus hubungan dengan Huawei. Perusahaan-perusahaan dari berbagai negara juga ikut melakukan hal serupa. Contohnya Panasonic, yang mana merupakan pabrikan elektronik asal Jepang, juga menghentikan pembelian sejumlah komponen buatan Huawei.
Parahnya, AS juga tengah mempersiapkan pengenaan tarif 25% pada produk China lain senilai US$ 300 miliar. Sebelumnya produk-produk tersebut bukan merupakan objek perang dagang, alias tidak ada tarif.
Saat ini pemerintahan Presiden Donald Trump tengah mengkaji dampak kebijakan tersebut terhadap konsumen di negaranya.
Saat ditanya perkembangan kebijakan tersebut, Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin mengatakan hingga saat ini belum ada perubahan, seperti yang dikutip dari CNBC International. Artinya tarif baru akan berlaku dalam 30-45 hari ke depan, jika tidak ada halangan.
Tentu saja ini membuat pelaku pasar ketar-ketir. Sebab jika AS benar-benar memberlakukan tarif pada produk China yang sebelumnya aman-aman saja, Negeri Panda pastinya tidak akan tinggal diam. Perang tarif akan berkecamuk pada level yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Parahnya, itu akan terjadi saat gairah industri di AS masih lesu.
Angka Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur AS periode Mei versi IHS Markit berada di level 50,6 atau merupakan yang paling rendah sejak September 2009.
Ini menandai aktivitas industri manufaktur, yang mana menopang perekonomian AS, masih sangat rendah. Mengingat AS merupakan negara perekonomian terbesar di dunia, tentu saja menggambarkan perekonomian global yang melambat.
Perekonomian global yang lambat, ditambah perang dagang akan semakin memperparah kondisi saat ini.
Alhasil pelaku pasar ketakutan akan permintaan energi (yang besar disumbang batu bara) ke depannya. Permintaan energi akan berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Kala ekonomi melambat, permintaan energi pun ikut melemah.
“Investor menyadari bahwa situasi ke depan akan semakin menantang dengan lingkungan ekonomi yang sangat berisiko. Tidak heran investor merespons dengan melakukan risk-off (menghindari risiko),” ujar Luke Tilley, Kepala Ekonom di Wilmington Trust yang berbasis di Delaware, dikutip dari Reuters.