‘Mudik Lebaran, Bagaikan Bertaruh Nyawa’
Oleh: Bangun Lubis [ Wartawan ]
IINDONESIA memiliki tradisi mudik pada saat jelang lebaran (hari raya idul fitri) dan usai lebaran. Dari jumlah diperkirakan hampir 20 juta orang yang mengikuti mudik lebaran tersebut. Umumnya adalah mereka yang beragama Islam. Sehinga boleh dikatakan tradisi masyarakat mudik ini, sebenarnya merupakan tradisi masyarakat Islam Indonesia.
Namun, perhatian bukan hanya oleh umat Islam saja tetapi juga – karena pada hakekatnya umat nasrani, budha atau Hindu – juga memiliki saudara muslim, sehingga mereka pun ikut serta dalam mudik. Mereka ikut dalam himpitan dan kesulitan mudik, dan ikut tenggelam dalam kegembiraan mudik.
Karena kampung yang jauh dari ibu kota, – walau yang mudik bukan hanya dari ibu kota – kesemua itu menjadi moment pulang kampung pada saat lebaran selalu indah, dan masyarakat ikut dalam arus mudik yang magasyikkan itu. Begitulah enaknya di Indonesia. Keragaman (heterogenitas) justru memper erat ikatan tali persaudaraan. Perbedaan justru menjadi sebuah ikatan yang kuat diantara rakyat Indonesia. Bohong, kalau ada yang mengatakan perbedaan dan keragaman ini menjadi pemicu perpecahan. Mudik justru menyatukan bathin rakyat semua golongan.
Satu soal yang tak putus-putusnya pada musim mudik, adalah soal manajemen mudik yang kurang dikelola dengan baik. Sehingga kalau boleh kita katakana, proses mudik selalu “menelan korban”. Disebutkan bahwa dari seluruh pemudik sebanyak 70 persen lebih kecelakaan lalu lintas saat mudik melibatkan pengguna sepeda motor. Pada 2018, korban meninggal mencapai 628 orang dan mayoritas adalah pemudik bermotor. (Tempo 2018).
Lalu disisi lain, juga masih banyak kekacauan di jalanan baik dari Jawa ke Sumatera atau di Jawa sendiri. Para sopir biasanya belum memahami berapa hari dia boleh melewati jalan – jalan utama sebagaimana ketentua pemerintah.
Banyak pengemudi truk kebingungan akan kebijakan pemerintah terkait penggunaan jalan saat arus mudik. Misalnya, hingga H-12 belum ada kejelasan truk diperbolehkan melintas di Jalan Pantura ataupun jalan tol Trans Jawa. Aapakah sebenarnya mereka diizinkan melintas atau tidak pada saat mudik berlangsung.
Sampai-sampai mereka mengemukakan pendapat bahwa biarpun harus merogoh kocek lebih untuk membayar biaya tol, mereka tak keberatan mengikikuti. Walau sebenarnya soal yang begini tak boleh terjadi, karena ini merupakan bentuk kong kali kong atau korupsi.
Kata mereka “Yang penting bagi kami adalah waktu, kalau biaya kami tidak keberatan karena sudah ditanggung oleh perusahaan,” jelas Suharno (42) pengemudi truk asal Purworejo saat ditemui Arus mudik Lebaran yang sebentar lagi akan datang mesti mendapat perhatian serius pemerintah. (TribunNews.com – 25 Mei 2019)
Bertaruh Nyawa
Terlihat ini kasus kecil, tetapi betapa besarnya pengaruhnya terhadap arus lalu lintas terutama truk apabila diizinkan melintas saat-saat hari mudik telah berlangsung. Kementerian Perhubungan perlu memperhatikan kondisi ataupun aturan yang harus dikeluarkan. Kalau tidak kemacetan panjang bisa saja terjadi.
Memang Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan mudik Lebaran tahun ini bakal lebih lancar dari mudik di tahun-tahun sebelumnya. Dia bilang pihaknya akan fokus pada jalur darat karena diprediksi lonjakan penggunanya lebih banyak tahun ini. “Kita melihat insyaAllah mudik kali ini nggak macet,” katanya sebagaiman dilansir TribunNews.com.
Dalam musim mudik lebaran, yang menjadi prioritas perhatian tentu adalah jalur darat. Sebab, jumlah mudik pada jalur ini lebih 70% dari jumlah pemudik secara nasional. Makanya jalur darat harus menjadi prioritas penangannya oleh pemerintah. Tidak bisa penangannya ketika ditentukan H-12 sebagai plus – minus hari mudik, namun hendaklah dari saat evaluasi tahunan, karena ini menyangkut tradisi yang berlanjut dari tahun ke tahun dan tak pernah berhenti. Apalagi menyangkut nyawa puluhan juta orang yang menjalani mudik tersebut. Tentu bukan hanya urusan Menteri Perhubungan saja melainkan melibatkan Pemda dan Polres-Polres yang ikut menjaga ketertiban dan keselamatan pemudik,
Sebagai gambaran, untuk bisa mudik lebaran olah sebagain besar masyarakt Indonesia, sudah dipikirkan jauh hari. Bahkan setahun sebelumnya telah direncanakan program pulang kampong alias mudik tersebut. Setidaknya jauh bulan sebelum Ramadhan tiba. Setelah itu, calon [pemudik juga harus jauh hari memperjuangkan tiket yang ada kalanya sudah ada permainan dari ‘makelar’. Tentu ini perlu menjadi perhatian, biasanya ini terjadi di lini kereta api dan bus di Pulau Jawa (Jakarta).
Bahkan, solusi kereta api tambahan tak juga memenuhi ekspektasi publik karena tetap mereka masih tak kebagian tiket mudik. Suasana jelang mudik terkadang bisa saja dimanfaatkan oleh oknum-oknum travel “nakal” yang bekerjasama dengan otoritas jasa angkutan publik untuk memborong tiket secara sepihak. Langkanya tiket, atau mahalnya harga tiket karena dijual secara tidak resmi oleh para oknum “calo legal” seringkali membuat pemudik beralih memanfaatkan sepeda motor atau memburu armada mudik gratis yang disediakan berbagai pihak.
Banyak calon pemudik yang seringkali gagal memperoleh tiket yang dipesannya secara online, menunjukkan betapa tingginya antusiasme masyarakat untuk dapat mudik saat lebaran. Bisa jadi, akibat tidak kebagian tiket, iniulah yang kemudian menyebabkan pemudik kemudian beralih ke moda transportasi lainnya, seperti sepeda motor atau mencari keberuntungan ikut program mudik gratis yang ditawarkan pemerintah.
Memang selalu ada program mudik gratis selalu saja ada, entah yang difasilitasi pemerintah, swasta, elemen masyarakat, atau bahkan ormas dan partai politik. Program mudik gratis ini pada umumnya sebuah solusi bagi masyarakat agar mereka yang gagal medapatkan tiket resmi angkutan lebaran atau mereka yang berniat mudik menggunakan sepeda motor, mau beralih pada tawaran program ini.
Meski kenyataannya, program mudik gratis ternyata belum sepenuhnya menyelesaikan akar persoalan, karena terbukti pemudik dengan sepeda motor tren-nya selalu meningkat dari tahun ke tahun bukan malah berkurang. Menurut data dari Koran Tempo, jumlah pemudik dengan sepeda motor pada tahun 2016 berjumlah 5,14 juta, meningkat 36 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 3,76 juta.
Kasus “Brexit” sudah barang tentu menjadi pelajaran yang jangan sampai terulang lagi untuk tahun ini, mengingat jumlah pemudik tidak pernah mengalami penurunan setiap tahunnya, yang ada malah justru semakin meningkat. Anehnya, setiap jelang lebaran, terlihat pemandangan sekian banyak ruas jalan dalam kondisi perbaikan, dimana seakan-akan ini sekadar “proyek tahunan” yang tak pernah menjadi solusi bagi masyarakat.
Pemerintah harus menjamin bahwa ketersediaan seluruh angkutan transportasi mudik bisa didapatkan masyarakat—termasuk soal ketersediaan tiket—tentunya dengan harga yang standar, tidak ada “permainan” di balik layar oleh para “oknum makelar tiket” ditambah oleh semakin baiknya pelayanan transportasi dan jalanan, pemudik pasti akan lebih memilih jasa transportasi umum, dibanding sepeda motor atau bahkan kendaraan pribadi.
Namun kenyataannya, sejauh ini, mudik lebaran sepertinya menjadi persoalan yang panjang yang terus menerus membayangi pemikiran orang, soal kesemrawutan transportasi, jalanan yang macet, bahkan akses menuju pelabuhan menjadi pemandangan yang mengerikan yang seringkali membayangi pemudik. Namun anehnya, kondisi seperti ini tetap dijalani oleh sebagian masyarakat karena mereka pasrah dengan segala resiko yang harus mereka terima.
Masyarakat tidak bisa menunda mudik, karena telah menjadi sebuah tradisi yang berpanjangan yang dari tahun ke tahun terus berulang. Jika demikian hendaklah pemerintah sudah harus membuat satu manajemen khusus yang mengangani mudik lebaran terutama menyangkut jumlah orang yang begitu banyak dan menyangkut nyawa yang harus dipertaruhkan dengan melalui jalan panjang dan berlubang. Mudik sebagaimana digambarkan banyak orang bagaikan melintasi jalan panas dan terik, hujan dan badai, yang harus ditaklukkan. “bertaruh nyawa.”