Mercusuar Saksi Bisu Kebiadaban Perang
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Kini bulan Agustus. Hari merdeka telah tiba dan saatnya merayakan kemerdekaan. Hari kemerdekaan menjadi hari perjuangan dari ketertindasan, kekejaman dan kebiadaban yang disebabkan oleh perang. Perang terjadi di mana-mana, di darat, laut dan angkasa.
Sejarah mencatat banyak peristiwa perang, Perang Dunia I, Perang Dunia II dan perang-perang lainnya. Perang melahirkan bencana dan mereka yang tewas, perang juga meninggalkan puing-puing yang tersisa dan menjadi saksi bisu dari kebiadaban perang. Diantara banyak saksi bisu, salah satunya adalah mercusuar.
Ada sebuah mercusuar yang berdiri menjulang menjadi saksi sebuah kebiadaban dan kekejaman perang yang dilakukan oleh para serdadu bersenjata laras panjang. Mercusuar tersebut berdiri di tepi Selat Bangka yang kini disebut mercuasuar Tanjung Kalian kerennya, “Tanjung Kalian Lighthouse” ada di Muntok, Kabupaten Bangka Barat.
Mercusuar Tanjung Kalian peninggalan kolonial Hindia Belanda yang dibangun tahun 1850 – 1860, tingginya 65 m dengan jangkauan lampu sejauh 25 mil ke arah laut. Mercusuar ini memiliki 189 anak tangga atau 19 lantai.
Mercusuar Tanjung Kalian kini menjadi salah satu destinasi wisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) selain pantainya. Mercusuar ini sekaligus menjadi saksi bisu kekejaman tentara Jepang terhadap tahanan perangnya.
Tak jauh dari mercusuar, di tepi pantai ada bangkai kapal terdampar. Dari berbagai informasi yang tersebar termasuk di jagat maya, dalam keterangan foto kapal tersebut, juga dari Australian War Memorial menyebutkan bahwa itu bangkai kapal Vyner Brooke. Namun catatan lain menyebutkan, itu bangkai kapal Van der Parra yang juga tenggelam di Selat Bangka akibat bom pesawat tempur Jepang. Sebelum tenggelam kapalVan der Parra di tarik ke pantai.
Perihal kekejaman dan kebiadaban perang yang terjadi di Selat Bangka atau Pulau Bangka, BBC pernah menyajikan tulisan berjudul “Perang Dunia II: 21 Perawat Australia Dibantai di Pulau Bangka, Penyintas ‘dibungkam’” (https://www.bbc.com/indonesia/majalah-48008726).
Pada 1942, sekelompok perawat Australia dibunuh para serdadu Jepang yang belakangan dikenal dengan peristiwa pembantaian di Pulau Bangka.
Mengutip sejarawan bidang militer, Lynette Silver, BBC menuliskan, peristiwa itu terjadi saat 22 perawat Australia yang disuruh berbaris ke tepi laut di Pulau Bangka, Indonesia, kemudian diberondong dengan senapan mesin pada Februari 1942 lampau. Semua perawat meninggal dunia kecuali satu orang.
Perawat yang selamat itu Vivian Bullwinkel dan merupakan penyintas tunggal dalam peristiwa pembantaian di Pulau Bangka. Vivian Bullwinkel tertembak dalam peristiwa pembantaian tersebut. Namun, dia berhasil luput dari kematian setelah pura-pura meninggal. Dia bersembunyi di hutan, ditangkap lantas dijadikan tawanan perang, dan akhirnya kembali ke Australia.
Setelah dua bom atom dijatuhkan dari pesawat tempur Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945, Jepang pun bertekuk lutut. Jepang menyerah kalah pada sekutu, lalu terjadi tukar-menukar tawanan perang Vivian Bullwinkel yang menjadi tawanan perang di Muntok lalu kembali Australia.
Bersama 22 perawat yang tergabung dalam Australian Army Nursing Service (AANS) pada 24 Oktober 1945 Bullwinkel tiba di Heidelberg Military Hospital, Melbourne. Dua bulan kemudian, Bullwinkel menceritakan kepada media The Canberra Times pada 21 Desember 1946, tentang peristiwa yang dikenal sebagai “Pembantaian Pulau Bangka.” Kesaksian itu membuka mata dunia tentang kekejaman bala tentara Dai Nippon.
Kemudian Australia melakukan penyelidikan Pembantaian Pulau Bangka tersebut, Menurut sejarawan Lynette Silver, pengadilan terhadap para pelaku pembantaian itu tak bisa digelar karena tak satu pun serdadu Jepang yang bertanggungjawab atas pembantaian itu masih hidup.
Peristiwa yang menimpa Vivian Bullwinkel bersama rekan-rekannya terjadi setelah pesawat tempur Jepang tanggal 8 Desember 1941 Jepang membom pangkalan Armada Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, kepulauan Hawaii yang kemudian memicu terjadinya Perang Dunia II di Asia Pasifik. Jepang meneruskan intervensinya ke beberapa wilayah di Asia khususnya Asia Tenggara. Jepang berhasrat membangun sebuah imperium di Asia.
Jepang membombardir Semenanjung Malaya dan berhasil dikuasai pada akhir Januari 1942. Jepang menyerang Singapura tempat pangkalan militer Inggris. Jepang juga menyerang Hindia Belanda dan tanggal 11 Januari 1942 berhasil menaklukkan Tarakan terus ke Balikpapan (sekarang Kalimantan Timur). Pada 14 Februari 1942 menyerang Palembang dengan mendaratkan pasukan payung. Dua daerah ini adalah penghasil minyak. Jepang kemudian berhasil menduduki pulau Bangka dan Belitung yang menjadi daerah penghasil timah dan lada.
Satu hari setelah menyerang Palembang, bala tentara Jepang pada 15 Febuari 1942 menguasai Singapura. Saat Jepang terus menerus memborbardir Singapura, pasukan Inggris dan Australia berusaha melakukan evakuasi terhadap warganya.
Pada 10 Februari 1942 evakuasi pertama dilakukan dengan kapal SS Wah Sui, kapal ini berhasil tiba dengan selamat di Australia Barat. Evakuasi kedua dengan kapal Star Empire yang mengangkut 60 perawat nyaris gagal karena mendapat serangan dari pesawat tempur Jepang. Banyak penumpangnya yang tewas dan terluka.
Evakuasi ketiga dilakukan oleh Kapal SS Vyner Brooke yang membawa 65 orang perawat, termasuk Vivian Bullwinkel bersama personil RAF (Royal Air Force) atau Angkatan Udara Inggris, tentara dan warga sipil yang kebanyakan wanita serta anak-anak. Kapal berlayar meninggalkan Singapura pada 12 Februari 1942.
Kapal dengan nakhoda Richard E. Tubby Borton hanya berlayar pada malam hari untuk menghindari patroli pesawat tempur dan pesawat pengintai Jepang. Pada 14 Februari 1942 kapal Vyner Brooke mulai berlayar memasuki kawasan Selat Bangka. Sekitar pukul 11 siang di langit terdengar suara deru mesin pesawat pengintai Jepang yang mendekat dan melintas sangat cepat dengan melepaskan bom ke arah kapal namun gagal menghantam kapal.
Kemudian pesawat Dai Nippon tersebut kembali datang menyerang melepaskan bom ke arah kapal Vyner Brooke, salah satu bom mengenai bagian kanan cerobong kapal. Serangan tersebut menyebabkan kerusakan pada beberapa bagian kapal. Kapten kapal memerintahkan para penumpang mengenakan jaket pelampung dan meninggalkan kapal dengan menggunakan sekoci. Dari enam sekoci hanya tiga yang bisa digunakan, karena tiga sekoci lainnya sudah berlubang.
Evakuasi dari kapal menggunakan sekoci diprioritaskan pada warga sipil dan anak-anak serta yang terluka. Sementara anggota militer dan perawat memilih berenang termasuk perawat Vivian Bullwinkle. Kapal Vyner Brooke yang mulai ditinggalkan penumpangnya terus menjadi sasaran tembakan pesawat tempur Jepang.
Setelah Jepang berhasil menduduki Palembang dan Bangka, pesawat tempur Jepang menurut Ian W. Shaw dalam bukunya “On Radji Beach” yang terbit tahun 2010, ada sekitar 70 kapal yang tenggelam di dan sekitar Selat Bangka pada 13 dan 14 Februari 1942 yang diserang bom pesawat Jepang.
Para penumpang kapal Vyner Brooke akhirnya terdampar di Pantai Radji yang berjarak sekitar 10 km dari Tanjung Kalian. Penumpang yang selamat berusaha mencari makanan. Namun upaya itu gagal karena tidak ada makanan di dalam hutan. Ada diantara penumpang berniat untuk menyerahkan diri kepada Jepang. Akhirnya tentara Jepang berhasil menemukan tempat persembunyian Vivian Bullwinkel dan penumpang lainnya.
Di situ lah tentara Jepang menembaki para penumpang yang selamat setelah sebelumnya mereka menggiring ke tepi pantai. Berbaris dengan menghadap ke laut lepas dari belakang tentara Jepang menembaki para penumpang dan perawat Australia. Satu persatu mereka berjatuhan ke pasir dan tewas. Menurut Lyentte Silver, Vivian Bullwinkel yang tubuhnya lebih tinggi dari lainnya, tertembak pinggulnya dan selamat.
Namun ia jatuh jatuh pingsan. Bullwinkel yang kemudian tersadar dari pingsan tetap berpura-pura mati. Setelah tentara Jepang pergi menjauh dengan rasa takut Bullwinkel berlari menuju hutan, bersembunyi. Bullwinkel ternyata tidak sendiri, pergi ke mata air menemukan Pat Kingsley seorang prajurit Inggris yang selamat dari pembantaian di pantai dengan luka tembak dan tusukan bayonet.
Setelah bersembunyi sekitar dua pekan, mereka menyerahkan diri kepada Jepang dan menjadi tawanan Jepang. Dalam tahanan Kingsley tewas akibat luka-lukanya. Jepang pun akhirnya menyerah dan terjadi tukar menukar tawanan perang dan Vivian Bullwinkel pun kembali ke Australia.
Andai dulu terpasang kamera atau CCTV di puncak mercusuar Tanjung Kalian, maka aksi pesawat tempur Jepang akan terekam jelas. Namun mercusuar yang letaknya tak jauh dari pelabuhan ferry Tanjung Kalian Muntok tersebut tidak memiliki kamera hanya ada jendela di puncaknya. Dari pelabuhan lokasi mercusuar bisa ditempuh dengan berjalan kaki, dan jika anda berangkat ke Bangka dengan menyebrang dari pelabuhan penyebrangan Tanjung Api-Api di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel), maka mercuasuar ini menjadi pertanda bahwa kapal sebentar lagi akan merapat ke dermaga.
Selain mercusuar dan pantai, dengan berkunjung ke Tanjung Kalian dan pantai Radji juga bisa melihat monumen yang dibangun Pemerintah Australia untuk mengenang korban pembantaian di Pulau Bangka tersebut.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, setiap tanggal 14 Februari ada upacara mengenang para korban di pantai Radji yang diikuti para keluarga korban diantaranya ada yang datang langsung dari Australia. Ada acara tabur bunga di beberapa lokasi.
Berkunjung ke mercusuar Tanjung Kalian berarti berkunjung juga ke Muntok ibu kota Kabupaten Bangka Barat yang jaraknya sekitar 10 km. Muntok adalah salah satu kota penghasil timah dan banyak terdapat bangunan bersejarah. Muntok atau Bangka Barat adalah destinasi wisata alam dan sejarah yang kaya.
Di seputar kota Muntok ada Museum Timah. Di museum ada galeri Vivian Bullwinkel yang memajang pengakuan atas peristiwa yang terjadi pada tahun 1942 tersebut. Harus dicatat agar tidak lupa bahwa di Indonesia hanya ada dua Museum Timah, satunya lagi ada di Pangkalpinang.
Di Muntok ada bangunan bersejarah pesanggrahan Muntok yang dibangun tahun 1827. Bangunan ini menjadi tempat pengasingan Bung Karno bersama Agus Salim dari 6 Februari 1949 – 6 Juli 1949. Juga bisa singgah menunaikan shalat di Masjid Jamik atau berkunjung ke Kelemteng Kong Fik Miau.
Setelah berkeliling jika perut sudah terasa lapar, kaki lelah melangkah dan kerongkongan terasa haus. Tak perlu khawatir ada banyak beragam kuliner yang tersedia di seputar Muntok. Salah satunya ada makanan khas yang banyak di jumpai di pulau Bangka yakni otak-otak.
Editor : Maspril Aries