Masjid Raya Abdul Kadim dan “Broken Chair”
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama dan Penggiat Kaki Bukit Literasi
wisata masjid yang merupakan bagian dari wisata religi diharapkan mampu menjadi sarana untuk bisa mengenalkan Islam yang ramah dan damai kepada non-muslim
Menempuh perjalanan darat dari Palembang ke Sekayu, ibu kota Kabupaten Musi Banyuasin yang berjarak sekitar 130 km setiap melintas di Desa Epil akan disuguhi pemandangan menarik, bangunan sebuah masjid yang megah dan bangunan monumen kursi yang salah satu kakinya patah berdiri pelataran masjid.
Begitu pula sebaliknya saat dalam perjalanan dari Sekayu menuju Palembang, dari kejauhan kubah masjid sudah terlihat dengan puncak kubah berwarna kuning keemasan yang dilingkari ornamen warna hijau di bagian bawahnya. Saat dalam perjalanan dari Sekayu ke Palembang, niat hati ingin menunaikan salat Asar di masjid nan megah tersebut.
Setelah mobil menepi. Bertanya pada seorang tukang yang tengah bekerja. “Assalamualaikum Pak. Apakah bisa menumpang salat di masjid ini?” Dengan dialek bahasa Jawa, tukang menjawab dengan sopan, “Belum bisa Pak masjid masih sedang dalam pembangunan.”
Dari dialog singkat tersebut, tukang yang mengaku berasal dari Jawa menjelaskan, dirinya bersama beberapa pekerja didatangkan untuk mengerjakan pembangunan masjid tersebut. Katanya, masjid megah tersebut dibangun oleh warga Desa Epil yang tinggal di Jakarta. “Saya tidak tahu namanya, tapi orang sukses. Dia bangun masjid di desanya.”
Tak ada informasi lain yang bisa diperoleh, selain keterangan yang sepenggal itu. Beberapa pertanyaan menggantung saat dalam perjalanan menuju Palembang. Siapa nama warga Desa Epil yang dari Jakarta yang membangun masjid megah di desanya? Apa nama masjid megah tersebut?
Beberapa hari kemudian pertanyaan tersebut terjawab saat Bupati Musi Banyuasin (Muba) Dodi Reza Alex, Ahad (8/11) mengunjung masjid tersebut. Masjid megah di Desa Epil tersebut dibangun Prof H Abdul Kadim dan masjid tersebut bernama Masjid Raya Abdul Kadim yang direncanakan sudah bisa digunakan pada Maret 2021.
Bupati Dodi Reza Alex optimis masjid yang berdiri di atas lahan 1,1 hektare tersebut akan menjadi destinasi wisata religi di Musi Banyuasin yang akan banyak dikunjungi wisatawan dan peziarah untuk beribadah sambil menikmati keindahan dan kemegahan masjid dengan kubah menjulang tinggi 24 meter.
Melihat Masjid Raya Abdul Kadim dari udara, selain terlihat satu kubah utama, di setiap sudutnya ada empat kubah kecil dengan empat menara kecil dan satu menara utama berdiri gagah di sisi kanan masjid. Kursi rusaknya berdiri di sebelah mana? Kursi dengan kaki yang patah atau kursi rusak berdiri di sisi kiri pelataran masjid.
Tak jauh dari menara utama berdiri bangunan dengan desain atap rumah limas khas Palembang tempat meletakan beduk yang didatangkan dari Cirebon dengan ornamen ukiran kayu dari Jepara.
Dari penjelasan sang arsitek kepada Bupati Dodi Resa Alex, tak ada desain arsitektur khusus untuk pembangunan Masjid Raya Abdul Karim yang tengah dibangun 70 orang pekerja yang didatangkan dari pulau Jawa. Masjid yang dimulai pembangunannya pada April 2018 tersebut untuk material dan ornamennya selain didatangkan dari luar Sumatera Selatan (Sumsel) khusus marmer lantai dan dinding diimpor dari Itali.
Sementara untuk ornamen atau monumen kursi rusak yang berdiri menjulang dengan salah satu kakinya bagian depan sebelah kiri yang patah terinspirasi dari monumen Broken Chair yang berdiri di depan gedung Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss.
Destinasi Wisata Religi
Pada banyak negara di dunia khususnya negara muslim atau negara dengan penduduk mayoritas muslim memiliki banyak bangunan masjid yang megah, indah dan khas desain arsitekturnya. Demikian juga di Indonesia, hampir seluruh kota besar memiliki bangunan masjid yang indah, megah, unik dan khas. Masjid tersebut selain menjadi tempat beribadah juga kini menjadi destinasi wisata religi.
Jika berkunjung ke Turki dari sejumlah destinasi wisata yang dituju, maka masjid menjadi salah satu destinasi wisata religi yang dikunjungi seperti Masjid Sultan Ahmet yang juga disebut Masjid Biru, Masjid Zeyrek, Masjid Sulaimaniah dan tentunya Masjid Hagia Sophia atau Ayasofia yang sebelumnya museum dan sejak 24 Juli 2020 telah ditetapkan menjadi masjid.
Di Jerman tepatnya di Koln ada masjid megah dengan arsitektur yang indah didirikan komunitas masyarakat Turki yang bermukim di negara itu. Masjid Köln atau Zentralmoschee Köln (Masjid Pusat Köln) yang kini juga menjadi ikon dari kota Köln. Masjid ini berada di Distrik Ehrenfeld Köln di jalan utama Verlour Strasse.
Di negara tetangga Singapura banyak wisatawan asal Indonesia mengunjungi destinasi wisata Masjid Sultan yang terletak di Kampong Glam. Masjid Sultan yang beralamat di 3 Muscat St, sekitar Arab Street adalah masjid pertama yang di dibangun di Singapura. Masjid bersejarah ini menjadi daya tarik utama bagi wisatawan asing yang datang ke negeri singa tersebut,
Di Indonesia ada banyak masjid yang juga menjadi destinasi wisata religi, seperti Masjid Demak di Kabupaten Demak, Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang dan di Yogyakarta ada Masjid Kota Gede dan Masjid Jogokaryan. Masjid Jogokariyan dikenal sebagai masjid yang mampu mandiri secara ekonomi. Masjid ini mampu menginspirasi komunitas muslim dari luar Yogyakarta yang datang untuk melakukan studi banding juga sekaligus untuk berwisata.
Masjid Jogokariyan sebagai destinasi wisata religi juga melakukan promosi wisata religi yang bekerjasama dengan berbagai lembaga. Masjid ini sebagai destinasi wisata religi dilengkapi dengan aksesibilitas wisata seperti seperti sarana dan prasarana pendukung serta keamanan dan kebersihan. Sebagai destinasi wisata religi Masjid Jogokariyan memiliki sumberdaya manusia wisata dari takmir masjid.
Di Indonesia, sejak 2017 sudah diluncurkan peluncuran program destinasi wisata religi berbasis masjid yang dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Waktu itu Jusuf Kalla mengatakan, ada tiga alasan orang melihat sesuatu : faktor sejarah, keindahan, keunikan, nilai spiritual, atau nilai lainnya.
“Berbicara tentang masjid tentu kita tidak berbicara bagaimana “menjual” masjid, tidak. Namun, ada istilah tak kenal maka tak cinta. Artinya, bagaimana orang mengenal masjid kita. Saya tidak ingin mengatakan bahwa kalau mau ke masjid, bayar dahulu baru boleh masuk, tidak seperti itu. Menurut saya, itu haram, tetapi orang masuk ke negeri ini salah satunya ingin melihat masjid, jadi secara rasional saja,” kata Yusuf Kalla.
Broken Chair
Jika kelak Masjid Raya Abdul Kadim menjadi destinasi wisata yang terkenal dengan arsitektur masjid yang megah dan indah, di sana juga ada satu obyek wisata yang juga menarik yaitu Broken Chair (kursi rusak). Broken chair di Desa Epil Kabupaten Muba menjadi kursi rusak ke dua di dunia setelah monumen Broken Chair yang ada di Swiss.
Di Swiss, monumen berwujud kursi dengan satu kaki yang patah tinggnya 12 meter dan berat 5,5 ton, terbuat dari kayu dibuat seniman patung Swiss, Daniel Berset tahun 1997. Monumen Broken Chair yang telah menjadi landmark kota Jenewa terinspirasi dari sebuah perjanjian untuk melarang penggunaan ranjau anti-personil yang dikenal sebagai Perjanjian Ottawa, atau Perjanjian Pelarangan Ranjau.
Pembangunan monumen Broken Chair di Place des Nations diprakarasi organisasi non-pemerintah Handicap International dengan maksud untuk menarik perhatian para korban ranjau.
Kini Masjid Raya Abdul Kadim menanti selesai pembangunannya. Jika kelak selesai pembangunannya, penggagas dan pendiri masjid Abdul Kadim berkeinginan dari masjid ini setiap tahun minimal bisa melahirkan 10 orang hafiz dan hafiza Quran.
Masjid Raya Abdul Kadim sebagai destinasi wisata religi di Muba sesuai harapan dan keinginan Bupati Dodi Reza Alex tentu akan menjadi destinasi wisata keagamaan yang bermotif spiritual, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mengutip Hamed Forushani, N. S., & Gharaati dalam “The Investigation of Historical Role of Mosque Schools in Amendment and Improvement of Religious Discourse of Qajar Era (Case Study: Tehran during Qajar Era)” (2016) menyebutkan, wisata masjid yang merupakan bagian dari wisata religi diharapkan mampu menjadi sarana untuk bisa mengenalkan Islam yang ramah dan damai kepada non-muslim; dan juga menjadi sarana untuk meningkatkan religiusitas bagi muslim, dengan melakukan ibadah di dalamnya serta meningkatkan wawasan keagamaan dengan mengikuti beragam kajian yang dilaksanakan.
Editor : MA