Marketing Politik for Pilkada
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Menurut Nicholas J.O’Shaughnessy marketing politik bukanlah konsep untuk menjual partai politik atau kandidat presidensial kepada pemilih.
Musim Pilkada (pemilihan kepala daerah) langsung kembali tiba. Setelah tahapan Pilkada terhenti karena pandemi virus Corona, pemerintah telah menetapkan jadwal tahapan Pilkada serentak dimulai kembali pada 15 Juni 2020 dan pemungutan suara akan dilaksanakan serentak pada 9 Desember 2020.
Selama masa jeda tahapan Pilkada banyak bakal calon kepala daerah memanfaatkannya untuk mensosialisasikan diri atau sosoknya kepada warga atau calon pemilih. Caranya, ada yang memberikan bantuan sosial kepada warga terdampak pandemi Covid-19. Pagebluk virus Corona menjelma menjadi panggung politik bagi figur atau tokoh politik.
Para bakal calon kepala daerah termasuk bakal calon petahana yang memanfaatkan “masa libur” pilkada dengan memperkenalkan sosoknya kepada publik. Itu salah satu bagian dari marketing politik.
Apakah mereka yang akan ikut pilkada pernah belajar atau membaca buku-buku tentang marketing politik? Jika belum, maka bergegaslah membaca sebagai bekal awal sekaligus membuka wawasan, apakah itu marketing politik dan apa gunanya pada pelaksanaan Pilkada?
Pesannya, jangan hanya tim sukses atau konsultan politik yang saja yang tahu marketing politik, seorang calon kepala daerah juga harus membaca buku dan tahu tentang marketing politik. Ada banyak pilihan buku marketing politik yang bisa dibaca. Pasca reformasi, politik menjadi lebih dekat dan akrab dengan masyarakat, hadir sebagai wacana dalam setiap diskusi warga. Lahir gairah tersendiri dalam pemhaman dan praktik politik saat ini.
Bagi yang belum tahu, mari mengenal marketing politik secara singkat. Marketing politik atau political marketing adalah sebuah bidang ilmu baru, ilmu marketing politik baru mulai dikembangkan terutama sejak dua dasawarsa terakhir. Penerapan pemasaran (marketing) dalam politik yang dulu hanya dikenal dalam bidang ekonomi kini diterapkan dalam bidang politik sebagai salah satu jenis dalam bidan komunikasi politik.
Mengutip Wring dalam “Reconciling marketing with political science: theories of political marketing,” Journal of Marketing Management, Vol. 13 Tahun 1997 bahwa istilah marketing politik atau pemasaran politik pertama kali diperkenalkan oleh Kelly pada tahun 1956 untuk menggambarkan praktik politik persuasif. Sejak saat itu istilah tersebut menjadi umum digunakan dalam wacana politik, khususnya, dalam dua dekade terakhir.
Secara historis, D. Eisenhower, presiden ke-34 Amerika Serikat adalah orang pertama yang mempraktikkan pemasaran politik selama kampanye pemilihan tahun 1952. Di Eropa, pemasaran politik pertama kali diperkenalkan di Perancis selama kampanye presiden pada tahun 1965.
Kajian marketing politik berkembang sejak tahun 1990-an. Kontribusi pemikiran dari sejumlah peneliti/ilmuwan telah memberikan kontribusi besar bagi lahirnya bidang kajian marketing politik. Bidang kajian marketing politik mulai dipopulerkan dalam ranah akademik oleh peneliti/ilmuwan dari bidang ilmu marketing, komunikasi dan politik. Adalah Nicholas J.O’Shaughnessy yang menjabat sebagai Profesor di bidang Ilmu Marketing di Queen Mary, University of London telah mengembang kajian marketing politik.
Penelitian-penelitian lanjutan mengenai pemasaran politik melahirkan bidang studi lintas disiplin yakni yang berasal dari ilmu politik, manajemen pemasaran serta teori komunikasi, sosiologi. Bidang marketing politik sebagai bidang kajian ilmu maupun sebagai praktek semakin berkembang seiring dengan menguatnya kontestasi parpol dan kandidat dalam arena pemilu. Dua ilmuwan bidang kajian marketing yang konsen pada hal ini adalah Philip Kotler dan Neil Kotler.
Dua ilmuwan yang sudah lama berkiprah dalam mengembangkan ilmu marketing yang kemudian ikut memberikan kontribusi pemikirannya pada bidang kajian pemasaran sosial (social marketing) dan marketing politik (political marketing).
Jauh sebelum itu sekitar tahun 1969 Philip Kotler dan SJ Levy telah menganjurkan penggunaan metode marketing dalam dunia politik. Saat itu marketing dilihat sebagai media interaksi antara dua lebih struktur sosial. Menurut Firmanzah dalam buku Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas, sejak itu lahirlah penelitian artikel yang memuat peranan marketing politik dalam bagaimana sebuah partai memenangkan perolehan suara mulai banyak dilakukan.
Meskipun disiplin marketing politik baru berkembang akhir-akhir ini, namun aktivitas marketing dalam politik telah dilakukan sebelum kaum intelektual dan akademisi mempelajarinya. Di Inggris marketing politik telah dilakukan oleh partai-partai politik semasa periode pemilu 1929.
Mengutip Firmanzah, marketing politik sebagai suatu domain baru tidak terlepas dari polemik yang menyertainya. Marketing politik merupakan penerapan ilmu marketing dalam kehidupan politik.
Marketing Politik
Apa itu marketing politik? Apakah sekedar gabungan ilmu marketing dan dunia politik? Menurut Philip Kotler dan Neil Kotler dalam Political Marketing: Gerating Effective Candidate, Campaigns and Causes, dalam Bruce (1999), perkembangan marketing politik sebagai bidang kajian akademik maupun praktek sangat terkait dengan kecenderungan menguatnya persaingan parpol dan kandidat dalam arena pemilihan umum yang berbasis sistem pemilu langsung atau pilkada langsung. Para kandidat dan parpol, masing-masing berusaha mendapatkan dukungan sumber daya politik dan legitimasi politik, baik dari kalangan pemilih, konstituen, dan donatur politiknya.
Secara etimologi, marketing politik adalah gabungan kata “marketing” dan “politik.” Marketing atau pemasaran oleh Kotler didefinisikan sebagai proses sosial dan manajerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain.
Politik sendiri bisa berarti proses pembentukan dan pembagian kekuasan dalam masyarakat yang berwujud proses pembuatan keputusan khususnya dalam negara. Dalam teori klasik Aristoteles politik berarti usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Dalam konteks dengan pemilu atau pilkada, politik adalah kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
Menurut Nicholas J.O’Shaughnessy marketing politik bukanlah konsep untuk menjual partai politik atau kandidat presidensial kepada pemilih. Namun merupakan sebuah konsep yang menawarkan bagaimana sebuah partai politik atau kontestan mampu membuat sebuah program yang berhubungan dengan masalah aktual yang terjadi di masyarakat.
Para pakar politik dan komunikasi politik meyakini, marketing politik merupakan keniscayaan dari proses demokratisasi yang memperbolehkan partai politik untuk merebut hati konstituen/pemilih dalam sistem pemilu yang langsung dan demokratis.
Anwar Arifin dalam Komunikasi Politik – Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, menyebutkan bahwa marketing politik dipahami sebagai penyebaran gagasan-gasan politik dengan menerapkan prinsip-prinsip pemasaran komersial. Hal itu menunjukkan kecenderungan konvergensi antara dunia politik dan dunia bisnis.
Di Indonesia bagaimana peran marketing politik? Arif Sugiono dalam buku Strategic Political Marketing menuliskannya : sejak era reformasi bergulir, realitas politik menunjukkan bahwa sistem pemilu (pilkada) secara langsung, yang berjalan demokratis secara tidak langsung sedikit banyak telah “mengkerdilkan” dominasi, fungsi dan dan peran dari partai politik yang telah digantikan oleh dominannya para konsultan politik.
Sejak saat itu dinamika politik Indonesia telah membuka lembaran baru, dimana faktor pencitraan terhadap personaliti sang kandidat menjadi satu hal yang dianggap paling penting. Sesuatu yang hampir tidak bisa kita temukan dalam era Orde Baru dan Orde Lama. Ada yang menyebut, pilkada bukan sekadar festival politik, tapi lebih kepada bazar politik. Di mana pembeli/pemilih memiliki otoritas penuh menentukan pilihan apa yang dibeli atau dipilih.
Pilkada tidak sekadar memilih pemimpin baru tetapi juga dimaknai sebagai estafet kepemimpinan lokal. Seorang calon kepala daerah yang akan menantang calon petahana atau incumbent harus mampu meyakinkan pemilihnya bahwa daerah perlu pemimpin yang inovatif agar pembangunan terus semakin dirasakan oleh rakyatnya. Jangan biarkan petahana terus berkuasa tanpa konstribusi yang berarti. Seorang kepala daerah yang terpilih melalui pilkada harus membawa perubahan ke arah yang lebih baik. 𝞨𝞨
Editor ” MA