Kebijakan Pemerintah Melarang Ekspor Nikel Diprotes APNI
EkbisNews.com, Jakarta – Wacana pemerintah mempercepat kebijakan larangan ekspor bijih mineral atau ore menuai penolakan dari pelaku usaha. Salah satunya dari Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI).
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menilai percepatan larangan ekspor bijih nikel itu akan menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha pertambangan. Menurut dia, ketidakpastian pemerintah dalam menetapkan kebijakan akan mematikan aliran investasi di sektor pertambangan.
Dia mencontohkan, pemerintah mewajibkan pelaku usaha pertambangan membangun smelter sebagai sarana mengolah bahan baku mineral. Dengan rencana perubahan kebijakan, menurut dia, rencana kinerja perusahaan tambang kembali berubah, termasuk soal investasi pembangunan smelter. Pada akhirnya, devisa yang masuk ke Indonesia akan hilang.
“(Kewajiban) harus membangun smelter itu kami lakukan. 31 perusahaan sudah ada proses pembangunan. Apakah bisa dipikirkan yang lagi bangun dihentikan? (aturannya) 5 tahun sejak diterbitkan. Kalau dihentikan banyak investasi yang mati, devisa hilang,” ujar Meidy dalam wawancara di CNBC Indonesia TV, Senin (26/8).
Meidy mengklaim larangan ekspor bijih nikel akan menyebabkan devisa hilang mencapai US$97 juta. Di sisi lain, progres pembangunan smelter belum signifikan.
Tak hanya kehilangan devisa, lanjut dia, percepatan larangan ekspor nikel ini juga akan menghilangkan lapangan kerja. Aktivitas dalam satu smelter paling tidak membutuhkan 500 tenaga kerja.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera mengumumkan keputusan akhir tentang larangan ekspor bijih mineral. Pemerintah disebut-sebut bakal mempercepat pelaksanaan kebijakan dari rencana awal yang tercantum dalam aturan yakni pada 2022 mendatang.
Menurutnya, percepatan larangan ekspor bijih mineral ini demi menarik investasi smelter di dalam negeri. Ia juga memastikan industri smelter dapat menyerap komoditas tersebut.
“Kami perlu menarik investor sebanyak mungkin,” imbuh Luhut.dikutip dari cnnindonesia
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Sri Raharjo bilang larangan ekspor bijih mineral tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Saat ini, keran ekspor bijih mineral masih terbuka sampai akhir 2021 mendatang.
Ia mengatakan aturan itu akan diberlakukan tanpa pengecualian meski produksi bijih mineral dalam negeri nantinya melimpah. Perusahaan berbasis tambang mineral diwajibkan memiliki perencanaan yang matang untuk mengolah bahan mentah itu sebelum membangun smelter.
“Perusahaan tetap harus mengolah, dia (perusahaan) harus punya feasibility study (fs) saat bangun smelter,” terang dia.
Dalam hal ini, diperlukan pula kerja sama antar kementerian atau lembaga (K/L) lain guna memastikan produksi bijih mineral terserap di dalam negeri. Misalnya, Kementerian Perindustrian ikut turun tangan agar proses hilirisasi komoditas ini berjalan dengan baik.