Jurnalisme Radio Bukan Anak Tiri
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/Seksi Pendidikan PWI Sumsel
Pada orientasi calon anggota PWI Sumatera Selatan (Sumsel) akhir Oktober 2019, seorang wartawan yang mengaku wartawan sebuah radio swasta bercerita, selama mengikuti pelatihan atau orientasi wartawan, tidak pernah mendapat materi khusus yang membahas tentang jurnalisme radio. “Apakah ini karena pemateri lebih banyak berasal dari wartawan media cetak atau online, tidak ada dari radio?” katanya.
Saya mendengar keluhannya seraya mengakui, memang selama ini pelatihan jurnalistik bagi wartawan memang lebih banyak tertuju bagi wartawan cetak atau online, yang membahas jurnalisme radio atau televisi nyaris tidak ada. Ke depan hal itu tidak boleh lagi terjadi karena jurnalisme radio bukan anak tiri. Jurnalisme radio sama dengan jurnalisme cetak, jurnalisme online atau jurnalisme televisi.
Seorang pemateri yang menguasai atau memahami materi jurnalisme cetak dan online bukan berarti menguasai jurnalisme radio. Apa lagi bagi jurnalis atau wartawan yang tidak atau belum pernah bersentuhan dengan dunia penyiaran khususnya radio. Dengan membuat sama rata atau sama saja antara jurnalisme cetak, jurnalisme online atau jurnalisme televisi dengan jurnalisme radio adalah sikap yang gegabah.
Radio Siaran
Radio adalah salah satu media massa elektronik tertua di muka bumi. Radio atau lebih tepatnya radio siaran merupakan salah satu jenis media massa yang bersifat auditif, yakni dikonsumsi telinga atau pendengaran. Radio siaran sampai kini masih bertahan mengatasi persaingan keras dengan media massa lainnya. Menurut Theo Stokkink “Radio adalah media yang buta, maka pendengarnya mencoba untuk mengevaluasikan apa yang didengarnya dan mencoba untuk memvisualisasikan apa yang didengarnya dan mencoba menciptakan si pemilik suara dalam bayangan mereka sendiri.” (The professional radio presenter, 1997).
Radio merupakan sebuah media yang unik, ia dapat menciptakan “gambar” dalam imajinasi pendengar. Oleh sebab itu muncul istilah bahwa radio adalah “theatre of the mind”. Radio diibaratkan sebuah kanvas bagi seorang seniman lukis yang dengan kata-kata, suara, dan efek-efek pendukung lainnya diibaratkan sebagai kuas bagi si pelukis. Melalui kekuatan suara yang ada, pendengar dapat dibawa kemana saja, dan pada peristiwa apa saja. Hal ini yang salah satunya menjadikan radio sebagai media massa yang unik (Lois Baird, 1992. Guide to Radio Production).
Menurut Ishadi SK dengan mengutip Milton, radio memiliki sebuah karakter tersendiri yang membedakannya dengan media massa lain. Radio memiliki kekuatan untuk memilah-milah khalayaknya dalam segmen-segmen yang kecil, dalam segmen kelompok umur, keanggotaan keluarga, perolehan pendapatan maupun pendidikan.
Sedangkan Menurut UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menjelaskan bahwa “Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang terstruktur dan berkesinambungan.”
Siaran radio pada dasarnya tidak disajikan secara visual tetapi melalui verbal (auditif) dan memiliki ciri khas yang biasa disebut “theatre of mind”, yakni membawa imajinasi para pendengarnya untuk membayangkan hal-hal yang sedang dikemukakan oleh penyiar atau pemilik suara agar pendengar (audience) dapat mengerti maksud dan tujuan dari apa yang diungkapkan.
Radio punya karakter unik yang menjadi kekuatan dibandingkan dengan media lain yakni audiensi bisa sambil melakukan aktivitas lain saat mendengarkan radio. Kekuatan lainnya, radio dibanding dengan media lain adalah aspek kedekatannya, informasi atau materi yang dibawakan penyiar radio adalah informasi yang bersifat lokal atau hal-hal yang sangat dekat dengan kehidupan sekitar pendengar. Secara tidak langsung radio turut merawat tradisi dan budaya masyarakat dimana stasiun radio tersebut berada.
Setelah lebih dari sembilan puluh tahun sejak stasiun radio pertama di dunia berdiri, radio masih menjadi media massa yang paling banyak dinikmati, paling luas jangkauannya, dan fleksibel. Radio di dengar sampai ke pedesaaan dan daerah di pegunungan. Radio sering menjadi satu satunya media massa yang tersedia.
Radio dapat menjangkaudunia dari perspektif lokal dan dapat merespons kebutuhan akan informasi lokal. Dibandingkan dengan media massa lainnya, radio berbicara dalam bahasa dan dengan aksen masyarakat lokal. Programnya mencerminkan kepentingan lokal dan dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan budaya, ekonomi, dan komunitas lokal itu sendiri.
Media radio juga dapat mendorong partispasi dan kesadaran publik atau komunitas melalui proses komunikasi. Kini juga bermunculan radio komunitas yang mendorong partisipasi individu (dalam masyarakat) dengan menyediakan forum diskusi, analisis, dan pertukaran ide. Melalui forum seperti itu, individu radio memiliki sejumlah fungsi, seperti mentransmisikan pesan, mendidik, membujuk, dan menghibur.
S.I Astuti dalam buku “Jurnalisme Radio Teori dan Praktik (2017) menjelaskan, kekuatan radio, yakni dapat mendidik khalayak yang spesifik. Artinya, radio memiliki kemampuan berfokus pada kelompok demografi tertentu. Dari sisi segmentasi, radio lebih fleksibel dibandingkan media komunikasi lainnya.
Pada era milenial di tengah derasnnya arus digitalisasi, radio masih dianggap sebagai media alternatif . Perkembangan teknologi baru justru memperluas kemampuan radio sebagai media massa dalam menjangkau khalayak. Teknologi streaming pada radio Internet memperluas jangkauan radio siaran secara geografis.
Radio Pasca Reformasi
Radio siaran di Indonesia sejarahnya sejak dulu bukan radio berita atau yang menyiarkan berita sendiri. Pada Orde Baru, radio siaran khususnya radio-radio swasta yang tersebar di daerah diwajibkan menyiarkan atau relai warta berita dari Radio Republik Indonesia (RRI). Pada masa itu radio siaran wajib menyiarkan warta berita sebanyak 14 kali setiap hari.
Seiring terjadinya reformasi dan berakhirnya rezim Orde Baru, Menteri Penerangan pada era reformasi M Yunus Yosfiah mengeluarkan surat edaran No.134/ SK/ Menpen/ 1998 tanggal 5 Juni 1998 yang berisi pengurangan “kewajiban” relai warta berita RRI dari 14 kali menjadi tiga kali sehari dan memberikan izin bagi radio swasta untuk membuat dan menyiarkan berita sendiri, juga diperbolehkan relai siaran berita radio asing. Sejak itu hampir semua radio siaran swasta memproduksi berita sendiri dan punya wartawan/ jurnalis sendiri.
Mengutip Masduki dalam buku “Jurnalistik Radio” (2000), perkembangan jurnalistik radio di Indonesia dari segi umur masih bayi, bahkan baru “lahir kembali” setelah terbit surat edaran Menteri Penerangn Yunus Yosfiah pada 5 Juni 1998.
Maraknya radio siaran tersebut membutuhkan sumber daya manusia khususnya reporter dan penyiar yang menguasai jurnalisme radio. Namun jumlahnya terbatas, yang terjadi banyak jurnalis atau wartawan media cetak dan online yang hijrah ke radio. Akibatnya, berita yang disiarkan adalah berita versi media cetak atau online.
Tentu tak salah jika ada wartawan radio yang menyampaikan keluhannya karena pada setiap mengikuti pelatihan materi yang diterimanya selalu versi atau gaya jurnalisme cetak atau jurnalisme online. “Mana yang gaya jurnalisme radio?” gugatnya.
Mengingat radio sebagai media auditif (hanya bisa didengar) bukan berarti jurnalisme radio identik dengan jurnalisme cetak atau jurnalisme online. Menurut Masduki, jika pada media cetak pengertian berita adalah peristiwa yang diulangi, maka dalam radio, berita adalah yang dikomunikasikan kepada pendengar pada saat bersamaan dengan peristiwanya.
Jika proses mengulangi itu menyangkut rekonstruksi ulang menurut kaidah jurnalistik, maka dalam radio proses rekonstruksi itu berlangsung secara spontan dalam hitungan detik, sehingga dibutuhkan ketajaman dalam mengendus substansi berita yang menarik dan keahlian menyampaikannya secara langsung dan interaktif.
Sampai saat ini belum ada definisi yang sangat tepat untuk menggantikan istilah Radio News, kecuali kesepakatan bahwa news is big business. Menurut Masduki, dari berbagai literatur yang ada menyebutkan definisi berita radio adalah suatu sajian laporan berupa fakta dan opini yang mempunyai nilai berita, penting dan menarik bagi sebanyak mungkin orang, dan disiarkan melalui radio secara berkala. Berita radio menjawab persoalan apa yang terjadi, dan bagaimana peristiwa tersebut berlangsung. ●