JSS dan JSM atau Selat Bangka
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Wacana rencana pembangunan jembatan Selat Bangka adalah wacana yang mencuat pasca reformasi. Wacana ini kalah tua dibanding rencana pembangunan JSS dan JSM.
Di tengah meredupnya rencana pembangunan jembatan Selat Sunda (JSS) dan jembatan Selat Malaka (JSM) dari wacana dan pemberitaan media massa. Kini tersiar kabar rencana pembangunan jembatan yang akan menghubungkan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).
Jembatan yang rencananya akan membentang di atas Selat Bangka. Saya lebih memilih menyebutnya sebagai jembatan Selat Bangka (JSB). Sebelumnya di Indonesia sudah ada jembatan yang membentang dari Jawa Timur sampai ke Pulau Madura dan disebut jembatan Suramadu diambil dari singkatan “Surabaya” dan “Madura.” Tak ada yang menyebutnya jembatan Majapahit walau di Jawa Timur pusat Kerajaan Majapahit. Atau jembatan pulau garam karena Madura dikenal sebagai daerah penghasil garam.
Wacana rencana pembangunan jembatan Selat Bangka adalah wacana yang mencuat pasca reformasi. Wacana ini kalah tua dibanding rencana pembangunan JSS dan JSM. Pembangunan JSS yang menghubungkan pulau Sumatera dengan pulau Jawa sudah ada sejak Orde Lama masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Sedangkan rencana pembangunan JSM sudah ada sejak masa Orde Baru pada masa Presiden Soeharto dan Malaysia saat dipimpim Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Dua kepala negara tersebut bertemu di Kuala Lumpur tahun 1996 telah membahas rencana pembangunan jembatan Selat Malaka yang akan menjadi bagian dari rangkaian Trans Asean yang menghubungkan Thailand – Malaysia dan Indonesia.
Rencana pembangunan JSS dan JSM sudah lebih maju karena sudah ada penelitian, kajian dan feasibility study serta cetak biru rencana pembangunan jembatan dengan bentang panjang di atas laut. Wacananya kemudian berkembang, untuk menghubungan Sumatera dan Jawa melalui Selat Sunda bisa dibuat dengan terowongan di bawah laut, demikian pula dengan JSM juga ada gagasan membuat terowongan bawah laut di Selat Malaka.
Jembatan Selat Sunda
Pembangunan jembatan Selat Sunda sudah menjadi rencana sejak masa Presiden Soekarno. Presiden pertama Republik Indonesia tersebut mencetuskan ide untuk menghubungkan pulau Sumatera, Jawa, dan Bali. Ide yang dicetuskan pada tahun 1960-an yang disebut Tri – Nusa Bima Sakti yaitu sebuah gagasan untuk menghubungkan pulau dengan infrastruktur fisik buatan manusia. Ide tersebut diterjemahkan Prof Dr Sedyatmo (alm) seorang guru besar di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dikenal dengan temuannya teknologi konstruksi cakar ayam.
Gagasan Tri – Nusa Bima Sakti, khusus untuk menghubungkan pulau Sumatera dan Jawa ada dua pilihan, yaitu jembatan dan terowongan. Tahun 1965 atas permintaan Presiden Soekarno, ITB membuat uji coba desain Jembatan Selat Sunda lalu disampaikan kepada Presiden Soeharto pada awal Juni 1986.
Pada tahun 1997, Presiden Soeharto memerintahkan Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Kepala Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) BJ Habibie untuk menangani prestisius tersebut. Menrsitek BJ Habibie menugasi Prof Dr Wiratman Wangsadinata mempelajari jembatan laut ultrapanjang yang cocok untuk JSS. Salah satu acuan adalah jembatan Selat Messina, Italia, sepanjang 3,3 km.
Bersama tim ITB Wiratman merancang desain JSS yang panjang mencapai panjang 31 km dan ketinggian maksimum 70 meter dari permukaan air dengan anggaran Rp 100 triliun-Rp 200 triliun membutuhkan sekitar 17.000 ton baja dan ditargetkan selesai 10 tahun. Desain jembatan terdiri dari enam jalur (dua arah) dan trek ganda kereta api. Pada beberapa pulau yang dilalui akan ada fasilitas peristirahatan dan pendukung lainnya.
JSS direncanakan akan menjadi bagian Asian Highway Network–Trans Asia, meliputi pembangunan jalan raya dan kereta api. Pembangunan konstruksinya harus memiliki struktur tahan gempa sebab Selat Sunda merupakan kawasan dengan potensi gempa sangat besar.
Rencana pembangunan jembatan Selat Sunda tersebut dilirik investor PT Pakarti Trimitra milik pengusaha Ari Sigit, cucu mantan Presiden Soeharto. Pada tahun 1999 pemerintah membatalkan proyek pembangunan jembatan tersebut bersama 24 paket rencana pembangunan jalan tol. Pembatalan proyek tersebut karena tidak sesuai dengan Keppres No 8 Tahun 1998 dan pada saat Indonesia dilanda krisis ekonomi proyek tersebut sangat tidak layak secara bisnis.
Kandas sudah rencana pembangunan JSS sampai kemudian pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memunculkan kembali rencana pembangunan JSS. Pada 10 Agustus 2007 dilakukan penandatanganan Memorandum of Agreement (MOA) antara Pemerintah Provinsi Lampung dan Provinsi Banten. Kesepakatan menjadi dasar pra kajian JSS yang ditandantangani di atas Kapal Tunas Wisesa milik Tomi Winata pada 3 Oktober 2007. Wiratman Wangsadinata dari Wiratman & Associates dan Tomi Winata selaku pemilik PT Artha Graha Grup menjadi pelaksana pembangunannya.
Proyek JSS pun masuk dalam program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) koridor Sumatera. Rencana pembangunan JSS kembali kandas seiring pergantian pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menggantikan SBY. Presiden Joko Widodo menghentikan rencana mega proyek tersebut dan tidak berminat melanjutkannya. Salah satu pertimbangannya, dana yang sangat besar untuk menggarap proyek jembatan tersebut.
Jembatan Selat Malaka
Nasib jembatan Selat Malaka juga idem dengan JSS, kandas tanpa realisasi. Jembatan ini jika terwujud akan menghubungkan dua negara serumpun Indonesia – Malayasia yang dipisahkan laut bernama Selat Malaka. Selat Malaka tergolong selat yang sempit dengan Lebar selat 1,5 mil laut atau sekitar 2,7 km. Lalu lintas kapal di selat ini sangat padat. Selat Malaka adalah salah satu koridor perdagangan tersibuk di dunia yang menghubungkan Laut China dengan Samudera Hindia. Sekaligus menjadi jalur pelayaran terpendek dari tanduk Afrika dan Teluk Persi ke Asia Timur dan Samudera Pasifik.
Di atas Selat Malaka Pemerintah Malaysia pada tahun 1990-an menawarkan gagasan pembangunan Jembatan Selat Malaka sebagai mega proyek infrastruktur jembatan tol yang menghubungan Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Kota Dumai di Provinsi Riau (Indonesia) dan Distrik Masjid Tanah/Telok Gong (Malaysia) akan menjadi titik pondasi jembatan yang membentang di atas Selat Malaka tersebut. JSM juga akan melintasi Pulau Rupat
Tahun 2016 Pemerintah Malaysia melansir proyek ini bernilai sekitar US$ 12,75 miliar (sekitar lebih dari Rp165 triliun) yang rencananya akan dibiayai oleh salah satu bank besar asal Tiongkok yaitu Exim Bank of China. Panjang total jembatan adalah sekitar 127,93 km, sepanjang 48,69 km akan melintasi Selat Malaka dan 79,24 km akan melalui Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis.
Jembatan ini akan menghubungkan daratan Indonesia dengan daratan besar Eurasia. JSM adalah visi konektivitas infrastruktur ASEAN yang tercantum dalam Rencana Induk Konektivitas ASEAN (Master Plan on ASEAN Connectivity). JSM juga bagian dari Trans-Asian Highway, sebuah proyek kerjasama antara negara-negara di Asia dan Eropa di bawah United Nations Economic and Social Commision for Asia and the Pacific (UNESCAP). Jaringan jalan ini membentang 141.000 km mencakup 32 negara anggota termasuk Indonesia. Di sisi timur menyambung dari Tokyo, di barat dari Turki, di utara dari Rusia, dan paling ujung selatan berakhir di Denpasar, Bali melalui jaringan jalan di Sumatera dan Jawa.
Terhadap gagasan JSM, Pemerintah Indonesia sejak masa Presiden Soeharto kurang serius mendukung rencana Malaysia tersebut. Alasannya, pembangunan JSM yang akan dikombinasikan dengan terowongan bawah laut tersebut akan lebih menguntungkan Malaysia. Seperti dari data kunjungan warga negara, saat ini warga negara Indonesia khususnya Riau dan Kepulauan Riau yang banyak berkunjung ke Malaysia ketimbang warga Malaysia yang datang ke Riau. Jika JSM terwujud, akan lebih banyak warga Indonesia yang memanfaatkan akses jembatan untuk datang ke Malaysia.
Rencana JSM pun kandas dan tak mungkin terealisasi walaupun Pemerintah Malaysia ngotot untuk membangunnya. Pada 2013 Pemerintah Indonesia pernah menyatakan belum berkeinginan membangun jembatan Selat Malaka yang menghubungkan dua negara anggota Asean tersebut.
Jembatan Selat Bangka
Apakah nasib jembatan Selat Bangka (JSB) akan bernasib sama seperti dua pendahulunya. Atau sebaliknya bernasib baik seperti jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dengan pulau Madura? Waktu yang akan menjawabnya.
Dengan menyusuri jejak digital yang tersedia di dunia maya, maka rencana pembangunan JSB sudah pada tahap nota kesepahaman atau MoU antara Pemerintah Provinsi Bangka Belitung (Babel) dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). MoU tersebut ditandangani Gubernur Babel Rustam Effendi dan Gubernur Sumsel Alex Noerdin pada 2016.
Pada 2020 Gubernur Babel Erzaldi Rosman membawa rencana pembangunan JSB kepada Gubernur Sumsel Herman Deru. Keduanya sepakat untuk merealisasikan pembangunan JSB dengan panjang 13,5 km dan Pemerintah Provinsi Babel telah mempersiapkan pre-feasibility study akan dilanjutkan penyusunan detail engineering design (DED) dan akan diusulkan untuk masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pembangunan JSB diperkirakan membutuhkan investasi mencapai sekitar Rp15 triliun. Dengan termasuk dalam PSN diharapkan JSB bisa dibiayai melalui APBN. Muncul juga wacana, investasi pembangunannya berasal dari swasta atau asing. Jika invetasi pembangunan JSB dari swasta atau asing maka tidak berbeda dengan rencana pembangunan JSS yang akan dibangun oleh Artha Graha Grup dan JSM dibiayai oleh Exim Bank of China.
Sebagai jembatan yang dibangun dengan investasi swasta atau asing maka JSB adalah jembatan tol yang setiap penggunanya yang hendak menyebrang ke pulau Bangka atau sebaliknya harus membayar setiap kilometer yang dilewatinya. Faktor lainnya adalah investasi yang besar butuh pengembalian, berapa lama dana yang dikucurkan bisa kembali dan berapa besar profit yang bisa dihasilkan?
Jika kalkulasi tersebut yang digunakan, maka investasi di JSS saat ini dan ke depan akan lebih menguntungkan. Jalan tol trans Sumatera (JTTS) adalah daya tarik investasi tersebut. Selesainya JTTS yang akan mencapai 2.840 km dengan menghubungkan koridor Sumatera sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi akan meningkatkan mobilitas dari Sumatera menuju Jawa sebagai sentra pendorong industri dan pusat jasa nasional.
JTTS akan memperlancar arus barang, jasa dan mobilitas penduduk. Data statistik perhubungan tahun 2014 menunjukkan jumlah penumpang penyeberangan Merak-Bakauheni terus mengalami kenaikan, sejak 2010-2014 kenaikannya rata-rata 2,26 persen. Tahun 2010 mencapai 16,5 juta penumpang, pada 2011 meningkat menjadi 17,5 juta penumpang dengan pertumbuhan 6,61 persen. Tahun 2012 naik 7,58 persen menjadi 18,92 juta penumpang. Peningkatan tersebut tidak menutup kemungkinan ke depan akan membuka kembali wacana pembangunan JSS.
Tidak mustahil ke depan akan ada persaingan daya tarik investasi antara JSS atau JSB. Jika diharuskan memilih mana yang anda pilih pembangunan JSS, JSM atau JSB? Maka setiap warga negara Indonesia yang bermukim di pulau Sumatera akan punya pilihannya masing-masing. Investor swasta atau asing tentu punya hitungan tersendiri yang mungkin saja tidak sama dengan yang ada dalam benak warga Sumatera.
Belajar dari kegagalan pembangunan JSS dan JSM semoga pembangunan JSB (jembatan Selat Bangka) bukan sekedar menjadi obsesi melainkan harus menjadi legacy seperti pembangunan komplek olahraga Jakabaring Sport City (JSC) yang monumental dan kereta LRT yang pertama di Indonesia. 𝞨𝞨
Editor : MA