Dua Sahabat yang Menulis Lingkungan
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Menulis adalah tradisi ilmiah di lingkungan akademis pada perguruan tinggi. Mereka menulis karya tulis ilmiah dalam bentuk makalah, skripsi, tesis, disertasi atau laporan penelitian. Di antara kekayaan literasi dunia kampus tersebut, tak banyak kalangan akademisi menulis atau menerbitkan buku, dalam bentuk buku karya ilmiah atau buku dalam bentuk karya ilmiah populer.
Dari yang sedikit tersebut, saya mengenal dua orang sahabat yang saya kenal sebelum menjadi akademisi atau dosen di kampusnya masing-masing. Kini dua sahabat tersebut sudah menyelesaikan pendidikan strata tiga (S-3) sebagai seorang akademis dengan gelar Doktor (Dr.) melekat di depan nama mereka. Mereka sudah menulis buku ilmiah populer dan sudah terbit.
Pertama adalah Yenrizal saat ini sebagai akademisi di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah, Palembang. Yenrizal kelahiran Talu, Sumatera Barat (Sumbar) saya kenal saat mahasiswa di Fisip Universitas Sriwijaya (Unsri). Kemudian melanjutkan pendidikan Strata Dua (S-2) Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran (Unpad) dan berlanjut sampai ke S-3 di kampus tersebut.
Untuk menyelesaikan pendidikan S-3 Yenrizal menulis disertasi dengan judul “Komunikasi Lingkungan Masyarakat Petani Pedesaan, Studi Etnoekologi Komunikasi Masyarakat Desa Swarna Dwipe, Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.”
Yenrizal dikenal sebagai penulis yang produktif menulis di banyak media massa cetak dan online yang ada di Palembang dan luar Palembang. Juga kerap menjadi nara sumber pada forum ilmiah atau panggung talk-show di radio dan televisi. Yenrizal adalah salah satu nara sumber yang kerap saya undang saat saya menjadi host pada talk-show di Radio Trijaya FM Palembang dengan nama “Trijaya Prime Topik” yang mengudara setiap Senin malam atau awal pekan.
Kedua adalah Rachmat Setiawan, kini menjadi akademisi mengajar pada Program Sarjana Ilmu Kepolisian dan Program Doktoral Ilmu Kepolisian pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) – PTIK.
Mengenal Rachmat Setiawan yang akrab dipanggil “Cekmat” saat ia baru kembali dari Yogyakarta setelah menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S-1) dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada 1994. Di Palembang Cekmat aktif sebagai Direktur Yayasan Advokasi Lingkungan Hidup (Yalhi). Beberapa masalah lingkungan hidup sempat ditangani Yalhi dan Cekmat adalah salah satu nara sumber wartawan jika ada masalah lingkungan hidup terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel).
Yalhi bukan semata-mata menangani advokasi lingkungan tapi juga melaksanakan pendidikan lingkungan terhadap masyarakat seperti melaksanakan sejumlah diskusi dan seminar. Saya teringat ada satu acara seminar lingkungan hidup yang diselenggarakan di Hotel Swarna Dwipa pada saat hari pelaksanaan dibatalkan Cekmat walau undangan dan nara sumber sudah memenuhi ruangan seminar.
Saat itu Yalhi mengadakan seminar tentang lingkungan. Saya lupa tahun persisnya, namun ingat peristiwanya. Sejak pagi Cekmat sudah berada di ruang seminar, mengenakan jas lengkap menyambut tamunya satu persatu. Peserta seminar dan nara sumber sudah hadir, namun saat waktu sudah mendekati acara seremoni pembukaan pukul 08.30 WIB, acara belum juga dimulai.
Cekmat masih terlihat mondar-mandir dari dalam ruangan ke luar ruang seminar yang terletak di lantai dua. Dengan wajah yang terlihat kesal, ternyata Direktur Yalhi tersebut masih menunggu Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) yang akan hadir untuk membuka seminar. Sampai menjelang pukul 09.00 WIB yang dinanti tak kunjung tiba. Akhirnya, Cekmat maju ke depan dan mengambil mikrofon mengatakan, seraya meminta maaf dan seminar hari itu dibatalkan.
Peserta sebelum meninggalkan ruangan dipersilahkan menikmati snack pagi. Selanjutnya, Cekmat meminta pihak hotel mengumpulkan makan siang peserta seminar yang tengah dipersiapkan untuk dikirim ke panti asuhan. Bersama beberapa panitia dan wartawan Cekmat mengantar kotak-kotak makan siang tersebut ke panti asuhan.
Peristiwa itu menjadi kenangan yang tidak bisa saya lupakan. Setelah itu Cekmat tidak lagi ada di Palembang. Kabar yang kemudian datang, Cekmat melanjutkan pendidikan S-2 mengambil Ilmu Hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Lalu ia memilih menetap di Jakarta dan menjadi staf pengajar di STIK, serta sempat menjadi tenaga ahli anggota DPR RI dan mendirikan kantor hukum Rachmat Setiawan dan Rekan.
Di STIK Cekmat melanjutkan pendidikan S-3 dan mendapat gelar Doktor Ilmu Kepolisian pada 25 April 2019. Cekmat lulus dengan disertasi berjudul “Efisiensi Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pemolisian Masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan.”
Dari dua sahabat tersebut dalam waktu yang berbeda saya mendapat kiriman buku-buku yang mereka tulis. Yenrizal mengirim dua buku berjudul “Lestarikan Bumi dengan Komunikasi Lingkungan” dan “Etnoekologi Komunikasi Orang Semende Memaknai Alam.”
Kemudian Rachmat Setiawan dari Jakarta mengirimkan dua judul buku berjudul “Efisiensi Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pemolisian Masyarakat (Community Policing)” dan “Pencegahan Penegakan Hukum Pencemaran Lingkungan Hidup.”
Dua sahabat saya tersebut telah menjadi penulis, di tengah kesibukannya sebagai staf pengajar pada UIN Raden Fatah dan STIK-PTIK mereka masih meluangkan waktu untuk menulis dan menerbitkan buku.
Saya kurang mengetahui di kalangan akademisi atau dunia perguruan tinggi buku dimaknai sebagai apa. Jika di lingkungan komunitas jurnalis atau wartawan buku adalah identik dengan mahkota.
Wartawan senior Jakob Oetama mengatakan, “Mahkota wartawan itu adalah buku yang ditulisnya.” BM Diah tokoh pers nasional dan pendiri surat kabar Harian “Merdeka” menulis buku berjudul “Mahkota Bagi Seorang Wartawan.”
Kedua sahabat tersebut ternyata sama-sama telah menulis buku, empat judul buku yang saya terima semuanya terkait dengan lingkungan hidup. Dua sahabat tersebut telah menulis buku tentang lingkungan.
Buku yang ditulis Yenrizal dengan judul “Lestarikan Bumi dengan Komunikasi Lingkungan” adalah buku berisi kumpulan tulisannya yang pernah dimuat di berbadai media massa cetak dan online. Buku ini diperkaya dengan tulisan khusus berjudul “Posisi Komunikasi Lingkungan.”
Kemudian buku kedua berjudul “Etnoekologi Komunikasi Orang Semende Memaknai Alam” adalah bagian dari disertasi yang ditulis kembali sebagai buku ilmiah populer yang diperkaya dengan catatan prolog dan epilog yang ditulis tiga pakar bidang komunikasi dan lingkungan dari Unpad.
Dalam buku keduanya Yenrizal mengkaji tiga disiplin ilmu berbeda yaitu komunikasi, antropologi dan ekologi. Juga bersentuhan dengan pertanian, perikanan dan biologi. Kajian komunikasi lingkungan yang dipilih Yenrizal memang bukan bidang kajian ilmu komunikasi yang seksi. Komunikasi lingkungan kalah seksi dibanding tentang kajian media, komunikasi politik. Komunikasi antar budaya, humas sampai kajian tentang media sosial (medsos).
Bagaimana dengan buku yang ditulis Cekmat atau Rachmat Setiawan. Buku keduanya berjudul “Efisiensi Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pemolisian Masyarakat (Community Policing)” yang berasal dari disertasinya juga menarik untuk diketahui mereka yang bergelut pada bidang lingkungan hidup.
Buku ini menurut Cekmat, berisi catatan tentang fenomena adanya perkembangan hukum kepolisian di Indonesia dan keunikannya disamping hal-hal yang bersifat universal yang melekat pada profesi kepolisian dan asas-asas umum hukum kepolisian.
Apa kaitannya dengan lingkungan hidup? Dalam bukunya Cekmat membahas tentang bagaimana karakteristik penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui litigasi dan non litigasi serta bagaimana efisiensi kebijakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pendekatan EAL di Provinsi Sumatera Selatan, dan menjelaskan bagaimana model penyelesaian lingkungan hidup melalui pendekatan pemolisian masyarakat?
Kepedulian dua sahabat tersebut pada lingkungan patut mendapat apresiasi di tengah masalah lingkungan yang tak kunjung terselesaikan karena kerap datang berulang. Di Sumatera Selatan berbagai masalah lingkungan masih terus terjadi seperti masalah pencemaran lingkungan dan juga masalah kebakaran hutan lahan yang memicu terjadinya kabut asap. Jika berkenan membaca buku karya dua akademisi tersebut, ada mereka menawarkan sejumlah formula dan solusi untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup. ∎