Doedy Jurnalis Pejuang Kebudayaan
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Pertama mengenalnya sekitar awal tahun 2000-an, adalah seorang jurnalis atau wartawan yang kerap meliput berita seputar kriminal dan hukum. Makanya sosoknya sangat mudah dijumpai di kantor polisi dari tingkat Polsek, Polresta sampai Polda (Kepolisian Daerah) Sumatera Selatan (Sumsel).
Dia kerap dipanggil dengan sapaan “Dudi.” Nama lengkapnya tertulis Dudy Oskandar sesuai tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP), tetapi banyak yang menulis namanya menjadi Doedy Oskandar. Untuk urusan nama ini tak tahu siapa yang pertama mengubah ejaannya?
Buktinya saat menerima Piagam Penghargaan Festival Bukit Seguntang, Selasa (23/11) di piagam tertera namanya “Doedy Oskandar, SH.” Memang menurut William Shakespeare “Apalah arti sebuah nama?”
Memang bukan nama yang untuk dibicarakan atau diperdebatkan, melainkan sosok Doedy dalam kapasitasnya sebagai seorang jurnalis yang konsisten dan berpegang teguh bidang perkerjaan yang sudah digelutinya lebih dari 10 tahun.
Sebagai wartawan atau jurnalis yang semakin matang, Doedy mulai mengukuhkan dirinya pada spesialisasi wartawan yang mengerti, memahami dan menguasai bidang liputan kebudayaan yang mencakup juga sejarah di dalamnya. Buah dari konsistensi pada profesi sebagai wartawan yang bidang yang didalaminya, serangkain prestasi dan pengalaman, pergaulan serta pertemanan berhasil diraih wartawan kelahiran7 Januari 1976.
Sebelum menjadi wartawan kebudayaan dan menjabat sebagai Ketua Seksi Kebudayaan di PWI Sumsel, Doedy juga pernah meliput olahraga dan politik. Sebagai wartawan olahraga Doedy Oskandar pernah meliput Sea Games XV yang berlangsung di Vintiane, Laos tahun 2009. Dia juga dikenal sebagai wartawan liputan politik yang mangkal di DPRD Provinsi Sumsel. Jaringan diantara politisi lokal di Sumsel sangat luas.
Dalam perjalanan karirnya sebagai seorang jurnalis yang memang menjadi wartawan sebagai pilihan profesi atau pekerjaan, Doedy Oskandar kini lebih banyak meliputi kegiatan kebudayaan dan sejarah. Saya menyebutnya, “Wartawan yang Sejarawan.” Doedy kini berteman dengan banyak akademisi dari kampus, para sejarawan lokal dan nasional, budayawan lokal dan nasional sampai penulis asing yang bermukim di luar negeri. Doedy juga dikenal di kalangan arkeolog dan seniman.
Buah dari sikap konsistennya Doedy kini juga hadir sebagai pembicara atau nara sumber dari berbagai kegiatan kebudayaan dan sejarah baik di tingkat daerah dan nasional. Baik secara virtual atau berada di ruangan berhawa sejuk atau di taman terbuka seperti di TPKS (Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya). Kini Doedy melangkapi perjalanan karir jurnalistiknya di lingkungan museum dan perpustakaan.
“Media dan budaya merupakan kajian yang memiliki daya tarik tersendiri. Daya tarik dari kajian ini terletak pada bagaimana media tersebut mempengaruhi budaya begitu juga sebaliknya bagaimana budaya mempengaruhi media dalam memproduksi kontennya,” katanya usai menerima piagam perhargaan dari Forwida tersebut.
Selain sebagai pemburu nara sumber, Doedy juga saya kenal sebagai pemburu buku-buku langka khususnya sejarah. Maka tak heran berbagai kisah sejarah seputar Sumatera Selatan atau Sumatera bagian Selatan (Sumbagsel) dari berbagai buku referensi yang dibacanya diolahnya kembali menjadi satu tulisan yang menarik dan kaya referensi.
Dalam berburu buku sejarah atau kebudayaan Doedy tidak hanya berkunjung ke perpustakaan atau toko buku, lapak buku online atau daring pun dikejarnya. Pernah beberapa kali saya kirim foto ke nomor kontaknya melalui pesan WA, Doedy selalu antusias. “Dimana bisa dapat atau belinya Kando?” katanya.
Jika mendapat kiriman buku saya juga kerap memintanya datang ke rumah dan memberikan buku yang saya peroleh. Seperti buku berjudul “Syair Lampung Karam Sebuah Dokumen Tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883” yang ditulis Suryadi dan buku sejarah tentang 1 Abad batu bara di Sumatera Selatan.
Bagi saya Doedy adalah salah satu dari sedikit wartawan di Sumsel mampu menulis laporan liputan yang panjang, kaya data dan kaya referesni. Seperti tulisan-tulisannya tentang sejarah masalah lalu yang enak dibaca dan sistematika penulisan yang runtut, bukan seperti wartawan lain yang saya kenal saat menulis panjang, tulisan dari satu paragraf ke paragraf berikutnya melompat-lompat dan tidak nyambung.
Kemampuannya itu diperoleh karena kebiasannya yang rajin membaca dan terus menulis dan menulis. Doedy Oskandar adalah wartawan pembelajar yang terus belajar dan belajar. Dia saat berkumpul-kumpul dengan wartawan Doedy jarang terlihat nimbrung pada permainan para wartawan yang menyebut kegiatannya sebagai hiburan atau mengisi waktu.
Itu bukan berarti Doedy wartawan yang tidak butuh refreshing, buktinya saat mengikuti media gathering yang diselenggarakan SKK Migas ke pulau Pahawang Provinsi Lampung Doedy Oskandar ikut serta. Doedy adalah wartawan yang memilih mengisi waktu senggangnya dengan aktivitas yang bisa memberi nilai tambah pada wawasan berpikir dan menambah kemampun menulis.
Dari berbagai tulisannya tentang sejarah dan kebudayaan tersebut yang jumlah sudah cukup banyak, saya pernah menawarkan untuk mendokumentasinya menjadikan buku. Namun dia selalu merespon, “Belum, kagek bae Kando.” Padahal saya siap menjadi editor dan menerbitkannya. Untuk bisa menghimpun kekayaan dari karya tulis dan pemikirannya dalam sebuah buku memang masih butuh waktu. Semoga pada tahun 2022 sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan Doedy Iskandar bisa terbit.
Satu hal lagi yang menarik dari Doedy, ketika banyak wartawan tulis cetak atau daring banting setir menjadi Youtuber atau menerbitkan siniar (podcast) dan sejenisnya untuk mengejar monetisasi yang menggiurkan, Alias aji mumpung. Doedy tidak tertarik untuk hijrah atau menambah sebutannya selain sebagai jurnalis.
Padahal dia pernah menjadi produser sebuah acara talk show bertajuk “Tuesday Dialog” di Radio Trijaya Palembang dan saya pernah diundangnya menjadi narasumber, tetap Doedy konsisten dan setia menjadi wartawan yang menuangkan karyanya dalam tulisannya.
Sikap dan pilihan Doedy setiap pada pilihan profesinya mengingatkan saya pada pernyataan Presiden Indonesia BJ Habibie, “Apabila kamu sudah memutuskan menekuni suatu bidang, jadilah orang yang konsisten. Itu adalah kunci keberhasilan yang sebenarnya.”
Selamat kepada Doedy Oskandar atas capaian dan kesetiannya pada profesinya sebagai jurnalis. “Jurnalis itu intellectual in action,” kata wartawan senior Jakob Oetama (alm).
Editor : Maspril Aries