China Lirik Sembilan Proyek Infrastruktur RI dalam KTT OBOR
EkbisNews.com, Jakarta – Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mengungkapkan sembilan dari 30 proyek infrastruktur yang ditawarkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) 2nd The Belt and Road Initiative atau Jalur Sutra modern pada April 2019 dilirik oleh China.
Pemerintah China juga diklaim sepakat melakukan enam studi bersama di luar Pulau Jawa mengenai berbagai proyek infrastruktur, misalnya Taman Bunga di Danau Toba, Kawasan Industri Tanah Kuning, dan wisata Lembeh.
Deputi III Bidang Infrastruktur Kemenko Maritim Ridwan Djamaluddin mengatakan nilai dari sembilan proyek dan enam studi bersama itu sebesar US$20 miliar atau setara dengan Rp280 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar Amerika Serikat). Sementara, total nilai dari 30 proyek yang ditawarkan mencapai US$91,1 miliar atau Rp1.275,4 triliun.
Untuk proyek infrastruktur yang berhasil memikat China berada di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali. Pihak dari China dan badan usaha di Indonesia sudah meneken nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) pada 25 April 2019 kemarin.
“Sumatera Utara ada tiga proyek, Kalimantan Utara tiga proyek, Bali dua proyek, dan Sulawesi Utara satu proyek,” ujar Ridwan dikutip dari CNNIndonesia.com, Senin (21/5).
Ridwan merinci proyek di Sumatera Utara terdiri dari Pelabuhan hub dan kawasan industri internasional Kuala Tanjung, Kawasan industri Sei Mangkei, dan Kawasan Industri Kualanamu.
Kemudian, di Kalimantan Utara ada Kayan hydro energy, Kabupaten Bulungan, Pelabuhan Tanah Kuning, dan Kawasan Industri Tanah Kuning. Lalu, satu proyek di Sulawesi Utara ada Kawasan Industri Bitung.
Selanjutnya, dua proyek infrastruktur di Bali terdiri dari Taman teknologi Pulau Kura-Kura dan Pelatihan bersama sumber daya manusia. Sementara, ada satu proyek kelapa sawit di Sumatera Utara yang masih ditinjau oleh pihak China.
“Jadi dibilangnya sembilan plus satu. Yang sawit belum ditandatangani, kami juga tidak memaksa. Ada hal yang belum sepakat mengenai sawit ini,” jelasnya.
Menurut Ridwan, proyek kelapa sawit itu masih ditinjau dan diproses di Bank Indonesia (BI). Ia menuturkan BI tengah mempertimbangkan risiko nilai tukar mata uang renminbi dan rupiah. “Kalau ada gejolak bagaimana itu belum ada solusinya,” imbuh dia.
Lebih lanjut ia menyebut pemerintah dalam hal ini hanya sebagai fasilitator untuk menawarkan berbagai proyek infrastruktur yang dimiliki sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Nantinya, kelanjutan dari penandatanganan nota kesepahaman bergantung kesepakatan antara badan usaha dan pihak China.
“Jadi, uang dari China bukan utang pemerintah, semua ke badan usaha. Ini kan business to business (b to b),” tegas Ridwan.
Walaupun begitu, pemerintah akan memantau kelanjutan kesepakatan yang dilakukan oleh pihak China dengan pemilik dari sembilan proyek infrastruktur di Indonesia itu ke depannya. Saat ini, pemerintah masih mengkaji bentuk pemantauan yang tepat.
“Jadi, sekarang masih proses pemantauan, beberapa kali dialog, mungkin dua minggu sekali kami monitor. Kalau ada pergerakan, bagus. Kalau tidak ada pergerakan, kami tanya kenapa ini,” pungkas Ridwan.