BPJS Kesehatan Akan Ajukan kajian Pembatalan Kenaikan Iuran ke Jokowi
EkbisNews.com, jakarta – BPJS Kesehatan akan mengajukan kajian pembatalan kenaikan iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja BP atau peserta mandiri kelas III kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu merupakan tindak lanjut dari hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Kesehatan, Kejaksaan Agung (Kejagung), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, dan Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN) pada Selasa (28/1) malam.
Diskusi tersebut diadakan untuk mengurai permasalahan di BPJS Kesehatan terkait kenaikan iuran.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan akan menunggu pendapat tertulis terkait hasil FGD dari tiga lembaga yakni kepolisian, Kejagung, dan BPK. Selanjutnya, ia akan menyampaikan kesepakatan diskusi tersebut pada Jokowi.
“Ini proses teknis jadi harus kami laporkan (ke Jokowi) karena pada Pasal 25 UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah disebutkan penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan atasan pejabat sesuai dengan ketentuan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memaparkan terdapat dua kesimpulan dalam diskusi tersebut. Pertama, DPR meminta pendapat tertulis dari kepolisian, Kejagung, dan BPK dalam tempo dua hari, sehingga bisa menjadi landasan Direksi BPJS Kesehatan membuat aturan direksi terkait iuran mandiri kelas III.
Kedua, DPR meminta BPJS Kesehatan mengeksekusi peraturan direksi setelah pendapat tertulis masing-masing pihak selesai. “Kalau untuk atasan, saya kira pak presiden (Jokowi) tidak keberatan,” katanya.
Sebelumnya, dalam rapat Komisi IX tanggal 12 Desember 2019 telah disepakati pemberian subsidi pemerintah atas selisih kenaikan iuran pada peserta jenis mandiri Kelas III, sehingga iuran kelas mandiri III batal naik. Hal tersebut merupakan usulan dari Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang kemudian mendapat lampu hijau dari anggota Komisi IX.
Namun demikian, usulan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Iuran BPJS Kesehatan tetap naik hingga dua kali lipat untuk seluruh kelas pada awal Januari 2020.
Menanggapi hal tersebut, Komisi IX, Kementerian Kesehatan, dan BPJS Kesehatan kembali mengadakan pertemuan pada Senin (20/1). Akan tetapi, tidak didapatkan kesepakatan (deadlock) lantaran masing-masing pihak kekeh dengan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, Komisi IX menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk golongan mandiri kelas III.
Sementara itu, Terawan “angkat tangan” dalam menyelesaikan keberatan peserta atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan, khususnya peserta mandiri kelas III.
Fahmi lalu merujuk Peraturan Pemerintah (PP) No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.
Dalam Pasal 21 PP 87/2013, penggunaan aset dana jaminan sosial kesehatan dilakukan untuk tiga hal, yakni pembayaran manfaat atau layanan jaminan kesehatan, dana operasional penyelenggaraan program jaminan kesehatan, dan investasi dalam instrumen investasi sesuai aturan undang-undang.
Dalam regulasi itu, tidak disebutkan penggunaan lainnya. Dengan kata lain, undang-undang tidak mengatur alokasi dana jaminan sosial kesehatan untuk menutup selisih iuran kelas.
“Dari awal kami sampaikan BPJS Kesesatan tidak ada niat membangkang, melawan, atau mengkhianati hasil rapat dengan Komisi IX. Kami malah menjalankan apa yang tertulis dalam hasil rapat dengar pendapat yaitu melaksanakan sesuai undang-undang,” papar Fahmi seperti dilansir dari cnnindonesia.com
Ia juga mengaku mendapat peringatan dari Dewan Pengawas BPJS Kesehatan terkait potensi pelanggaran hukum jika menggunakan dana jaminan sosial kesehatan di luar aturan berlaku.
“Pada tanggal 23 Desember 2019, dewan pengawas bersurat kepada kami direksi bahwa terdapat potensi risiko hukum jika dilaksanakan tidak sesuai dengan peraturan perundangan,” ucapnya.
Namun demikian, Pelaksana Harian Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Ali Mukartono menegaskan tidak terdapat potensi pelanggaran hukum atas alokasi tersebut.
Pasalnya, penggunaan dana tersebut untuk kepentingan umum. Pihak bersangkutan tidak mendapatkan untung, dan penggunaan dana tidak merugikan negara. Untuk diketahui, peserta mandiri kelas III mencapai 19 juta orang.
“Saya hanya memberikan pendapat, kriteria di luar tiga ini bisa digunakan sepanjang itu untuk kepentingan umum. Putusan Mahkamah Agung itu tidak dipidana meskipun ada perbuatan melawan hukum sepanjang itu untuk kepentingan umum. Jadi jangan takut itu dikatakan tindak pidana korupsi,” katanya.
Menurut dia, kondisi ini bisa dikategorikan sebagai pelaksanaan diskresi, yaitu keputusan atau tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan.