Uncategorized

Boleh Hati-hati ‘Ngutang’ dari China, Tapi Harus Dipikirkan Matang-Matang

EkbisNews.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia akan menawarkan 28 proyek infrastrukturpada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt and Road Initiative atau Jalur Sutra Modern yang akan digelar di Beijing, April 2019 mendatang.

Upaya tersebut dilakukan untuk menarik investor demi membiayai total nilai proyek yang mencapai US$91,1 miliar atau setara sekitar Rp1.296 triliun (kurs JISDOR, Rabu (20/3), Rp14.231 per dolar AS).

Melihat besarnya nilai proyek yang akan ditawarkan Indonesia, wajar pemerintah mencari pembiayaan dari eksternal. Pasalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini hanya mampu menanggung alokasi dana infrastruktur Rp415 triliun yang akan disebarkan di berbagai macam pos kementerian/lembaga (K/L).

Selama ini, China merupakan salah satu negara yang menjadi investor dan kreditur terbesar bagi Indonesia. Tahun lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi asal China mencapai US$2,4 miliar dan menduduki peringkat ketiga terbesar dari total investasi asing. 

Jenis investasinya beragam mulai dari pembangunan pembangkit listrik hingga fasilitas pemurnian dan pengolahan hasil tambang.

Selama masa pemerintahan Joko Widodo, trennya memang relatif meningkat. Pada 2014, realisasi investasi China di Indonesia mencapai US$800 miliar. Kemudian, pada 2015, investasi China melambat menjadi US$628 juta. Pada 2016, investasi China kembali melesat menjadi US$2,7 miliar, dan 2017 mencapai US$3,36 miliar.

Dari sisi utang, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang Indonesia ke China juga terus meningkat. Pada 2014, total utang Indonesia ke Cina adalah US$7,87 miliar. 

Kemudian, pada 2015, melesat 73,5 persen menjadi US$ 13,6 miliar pada 2015. Pada 2016, kembali merangkak menjadi US$15,16 miliar dan naik menjadi US$16,15 miliar pada 2017. Akhir tahun lalu, utang Indonesia ke China telah mencapai US$17,31 miliar.

Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai China dilirik menjadi mitra potensial pembangunan proyek infrastruktur karena China memiliki pendanaan yang besar.

Selain itu, China ingin melakukan ekspansi untuk mendukung program Jalan Sutera Modern yang akan memperlancar arus perdagangannya.

Kendati demikian, Lana menilai keterlibatan China dalam proyek infrastruktur di Indonesia harus dipikirkan matang-matang dan dilakukan dengan hati-hati. Sebab, China biasanya turut membawa sumber dayanya yang akan menjadi isu sosial yang sensitif. Kemudian, itu pun sebenarnya tak lepas dari keterbatasan kemampuan bahasa.

Lihat Juga  Fintech Syariah Menyediakan Modal Untuk 2.000 UMKM

“China kalau investasi biasanya membawa satu gerbong, termasuk tenaga kerja dan segala macam. Memang pilihannya sulit karena, sekarang, yang punya uang China,” ujarnya

“Itu yang Indonesia mesti hati-hati karena ketika ada kepemilikan, isunya menjadi lain, yaitu menjadi isu politik dan sosial, meskipun awalnya isu ekonomi, sebatas utang,” terang Lana Dikutip ekbisnews.com dari laman cnnindonesia.com, (21/3/2019)

Lana mengingatkan, pada periode kepemimpinan mantan Presiden Soeharto, model penerimaan utang adalah dalam bentuk proyek atau barang yang akan dilunasi pemerintah dengan uang. Akibatnya, Indonesia tidak memiliki keleluasaan.

“Ketika kita utang in-kind, kita tidak akan memiliki keleluasaan karena kita sudah diberikan barang apa adanya dan belum tentu barang tersebut teknologi baru, bisa jadi teknologi usang di negara asal yang di bawa ke sini,” jelasnya.

Model utang yang diberikan China di negara lain biasanya juga dalam bentuk in-kind dengan beragam persyaratan. Dalam hal ini, China membawa teknologi dan material dari China yang akan dibayar oleh negara penerima pinjaman dengan uang.

Jika negara yang menjadi mitra tidak memiliki kemampuan membayar, skema pembayaran bisa berupa pembagian jatah kepemilikan saham. Tak ayal sejumlah negara merasa keberatan dengan skema yang digunakan China, seperti Malaysia dan Thailand.

Sensitivitas dalam menerima utang maupun investasi dari China salah satunya berasal dari isu penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Berdasarkan, data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja asing pada akhir tahun lalu mencapai 95,33 ribu orang atau meningkat 10,9 persen dibandingkan 2017, 85,97 ribu. 

Dari jumlah tersebut, pekerja China mendominasi dengan porsi 33,7 persen atau sekitar 32,2 ribu orang. “Padahal, tenaga kerja kita di China, di Taiwan, juga banyak, tetapi mereka tidak sensitif dengan tenaga kerja Indonesia. Kita yang sensitif terhadap TKA China. Jadi, isu sosial mesti diperhatikan,” katanya.

Lihat Juga  Pemerintah Akan Kaji Harga Tiket dan Maskapai Asing

Menurut Lana, alih-alih menerima utang in-kind, Indonesia bisa mengajukan pinjaman dalam bentuk dana mentah. Artinya, Indonesia memiliki keleluasaan untuk menggunakannya, meskipun dikenakan bunga yang tinggi.

Selain dari China, ia bilang, Indonesia sebenarnya memiliki peluang pendanaan bilateral dengan negara lain, seperti Jepang. Kemudian, pasar utang internasional juga masih terbuka terlebih rasio utang Indonesia masih belum terlalu besar, yaitu tak sampai sepertiga dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

“Dengan cara itu (utang dalam bentuk uang), Indonesia bisa memilih teknologi dari manapun, dan menggunakan insinyur-insinyur kita, selama kita bisa memastikan tingkat pengembalian proyek bisa menutup utang tersebut,” tutur dia.

Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Anton Gunawan menilai masyarakat tidak perlu khawatir terhadap investasi maupun utang yang berasal dari China.

Menurut Anton, dalam menerima investasi atau utang, Indonesia tidak perlu mengkotak-kotakkan suatu negara tertentu. Asalkan, pemerintah dan badan usaha memastikan ketentuan kerja sama investasi maupun utang tidak akan merugikan Indonesia.

Boleh Hati-hati 'Ngutang' dari China, Tapi Tak Perlu Alergi
Perkembangan utang dari China.

“Jangan melihat asalnya, tetapi bagaimana kita bisa mengendalikan kualitas dan mencari yang terbaik,” tegasnya.

Ia memahami kekhawatiran timbul karena melihat pengalaman terdahulu. Misalnya, kualitas pembangkit listrik yang dibangun perusahaan China dianggap jelek. Namun, hal itu bisa diantisipasi pada saat perencanaan.

“Kalau berbicara soal investor asing  kayaknya alergi. Padahal, tidak usah seperti itu. Yang penting adalah bagaimana mereka melakukannya di sini dan itu yang mesti dikendalikan supaya tidak membuat kerusakan di dalam,” ujarnya.

Terlepas dari itu, senada dengan Lana, Anton menilai China bukan satu-satunya negara yang bisa memberikan pinjaman untuk pembangunan proyek di Indonesia. Misalnya, Bank Investasi Infrastruktur Asia (The Asian Infrastructure Investment Bank/AIIB) maupun kerja sama business to business antar perusahaan.

“Dari Jepang ada. Dari negara barat juga sedang mencari-cari negara berkembang mana yang bisa menjadi lokasi investasi,” tandasnya.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button