Arbi Sanit dan Gerakan Mahasiswa
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Tidak mudah untuk menjawab gerakan mahasiswa yang terjadi pada masa Orde Baru termasuk gerakan moral atau gerakan politik?
KAMIS, 25 Maret 2021 dunia politik Indonesia kehilangan seorang ilmuwan politik yang lama mengabdi untuk Ilmu Politik di Indonesia. Arbi Sanit tercatat sebagai staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Indonesia (UI) yang telah purna bakti meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Berita duka itu menyebar luas di media massa dan media sosial (medsos). Media massa dalam menulis judul berita kepergian Arbi Sanit ke haribaan Illahi dengan menyebutnya sebagai “pengamat politik.”
Bagi mereka yang mempelajari Ilmu Politik dan menempuh kuliah di Fisip lebih pas menyebut alumnus Fisip UI tahun 1969 sebagai seorang intelektual atau ilmuwan politik. Banyak buku tentang politik yang ditulisnya menjadi literatur wajib atau referensi bagi para mahasiswa khususnya mereka yang menjalani pendidikannya di kampus pada era Orde Baru.
Berkuliah pada masa Orde Baru jangan dibayangkan seperti mahasiswa era milenial yang diberi kemudahan oleh teknologi informasi (TI). Bisa dengan mudah mencari referensi melalui jaringan internet dan mesin pencari. Bagi mahasiswa era Orba, TI belum dikenal kalau pun ada adalah barang mewah yang langka. Jadi harus membeli buku literatur dan membacanya sampai tuntas, atau dengan cara memfotokopi bukunya.
Bagi mahasiswa yang mempelajari mata kuliah Sistem Politik Indonesia (SPI) pada salah satu buku literatur yang wajib dibaca adalah buku bersampul kuning dengan judul “Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan.”
Buku tersebut sangat membantu mahasiswa memahami Sistem Politik Indonesia pada masa itu. Buku atau literatur asing atau terjemahan pada masa Orba termasuk barang mewah dan sulit didapat. Maka buku yang ditulis ilmuwan Indonesia menjadi pilihan.
Ada beberapa buku yang ditulis Arbi Sanit yang menjadi santapan mahasiswa Indonesia, diantaranya, “Partai, Pemilu dan Demokrasi,” “Perwakilan Politik di Indonesia,” “Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik,” dan “Reformasi Politik” yang terbit Juli 1998 atau dua bulan setelah Orde Baru tumbang. Juga memberi kata pengantar pada buku “Politik dan Mahasiswa” dengan editor Philip G. Albatch.
Arbi Sanit juga dikenal sebagai kolumnis politik yang produktif. Dari berbagai tulisannya yang muncul di surat kabar dan majalah (zaman Orba belum ada media online), topik yang menarik adalah tentang gerakan mahasiswa khususnya membahas gerakan mahasiswa di Indonesia.
Tidak hanya menulis tentang gerakan mahasiswa Indonesia, Arbi Sanit adalah dosen yang selalu bersedia datang ke kampus-kampus perguruan tinggi di daerah jika diundang mahasiswa untuk berbicara tentang politik Indonesia. Selain menjadi nara sumber, Arbi Sanit juga pernah menjadi saksi ahli pada persidangan aktivis mahasiswa yang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung.
Gerakan Moral atau Politik
Gerakan mahasiswa adalah salah satu fenomena menarik di banyak negara berkembang sekaligus sekaligus bentuk aktivisme politik di kalangan terdidik. Namun gerakan mahasiswa juga ada di negara-negara maju di Prancis, Jerman dan Korea Selatan. Di Indonesia gerakan mahasiswa sudah ada sejak masa kolonial.
Dalam berbagai pembahasan tentang gerakan mahasiswa di Indonesia, gerakan mahasiswa masa kolonial yang dibahas adalah gerakan mahasiswa Angkatan 1908 dan 1928. Kemudian gerakan mahasiswa masa Orde Lama yaitu gerakan mahasiswa angkatan 1966, pada masa Orde Baru ada gerakan mahasiswa angkatan 1974, angkatan 1977, angkatan 1978, dan gerakan mahasiswa angkatan 1998.
Pada gerakan mahasiswa 1998 sempat muncul perdebatan. Gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi dengan tuntutan mundurnya Presiden Seoharto apakah gerakan moral atau gerakan politik praktis? Penguasa Orde Baru menuding gerakan mahasiswa dengan tuntutannya tersebut dicap sebagai gerakan politik. Tudingannya, “gerakan mahasiswa sudah ditunggangi” dan lain sebagainya.
Gerakan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi keluar dari kampus dan turun ke jalan memiliki implikasi yang terhadap situasi politik di Indonesia. Apa lagi sampai dilakukan tindakan represif terhadap gerakan tersebut seperti yang terjadi masa Orde Baru.
Tidak mudah untuk menjawab gerakan mahasiswa yang terjadi pada masa Orde Baru termasuk gerakan moral atau gerakan politik? Secara pragmatis akan terjawab pada situasi politik yang berkembang dan keinginan mahasiswa itu sendiri.
Menurut Arbi Sanit dalam buku “Reformasi Politik,” “Secara universal, tidak bisa dibedakan politik moral dengan politik praktis, karena tidak ada politik yang sepenuhnya tanpa moral dan nyatanya semua politik adalah praktik atau interaksi kekuasaan.
Dalam buku “Sistem Politik Indonesia” menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong peningkatan peran mahasiswa dalam kehidupan politik. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama duduk di bangku sekolah.
Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian, dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit dalam kalangan angkatan muda.
Jadi, “Hakikat gerakan politik mahasiswa umumnya adalah perubahan. Ia tumbuh atas dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang ada untuk digantikan dengan situasi yang lebih memenuhi harapan,” kata Arbi Sanit.
Dalam tulisannya berjudul “Kampus Sebagai Kantong Perubahan.” Menurut Arbi Sanit, “Kampus sebagai arena politik diawali segera setelah Indonesia merdeka. Pendirian kampus itu sendiri dilatari oleh pertimbangan politik, yakni sebagai penolakan terhadap sisa kekuatan kolonial di bidang ilmu khususnya tehadap perguruan tinggi, begitulah antara lain yang terungkap dari proses pembentukan Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia diawal kemerdekaan.”
“Sejalan dengan watak dunia kampus yaitu berpikir rasional dalam upaya mendekati kebenaran, maka kecenderungannya untuk mengevaluasi hasil pembangunan tidak terhindarkan. Sejak awal tahun 1970-an mulai terasa adanya perbedaaan penilaian diantara kampus dan pemerintah. Kritik terhadap proses dan hasil pembangunan berkembang menjadi keprihatinan terhadap sistem yang mewadahi pembangunan itu sendiri sejak pertengahan tahun 1970-an. Sadar akan bangkitnya suatu gerakan yang mempertanyakan sistem yang ada, maka pemerintah beserta aparatnya mengambil langkah-langkah yang diperlukan sejak akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.”
Menurut Arbi Sanit, kampus di indonesia memang tidak lekang dari pengaruh politik dan birokrasi pemerintah. Akan tetapi pengaruh politik yang terkombinasi dengan birokrasi amat menekan kemandirian kehidupan kampus. Gejala ini memuncak sejak Orde Baru tegak.
Terhadap gerakan mahasiswa di era reformasi, menurut Arbi Sanit berpotensi terjadinya peoples power ketika mahasiswa berkolaborasi dengan unsur masyarakat sipil lainnya. Tulisnya, “Dewasa ini, ada empat unsur masyarakat sipil yang sudah mulai menampilkan potensi peoples power yang dimiliki untuk memperjuangkan reformasi segenap aspek kehidupan menuju demokrasi.”
Empat unsur masyarakat sipil tersebut menurutnya, adalah mahasiswa, kaum intelektual, LSM dan Ormas. Kecuali kaum intelektual, tiga unsur lainnya memang cenderung menggunakan aksi massa sebagai pengganda (amplifier) kekuatan-kekuatan tuntutannya.
Dewasa ini, gerakan politik peoples power memang dipelopori oleh mahasiswa, karena kemurnian idealisme mereka terganggu oleh kegagalan sistem ekonomi dan politik untuk mempertahankan apa lagi meningkatkan prestasinya. Mahasiswa itu punya kampus yang secara ideal punya otonomi menegakkan kebebasan ilmiah demi kebenaran.
Dalam salah satu tulisannya Arbi Sanit berpesan, janganlah meremehkan dan melumpuhkan gerakan politik moral mahasiswa dengan cara-cara yang tidak jujur, seperti menuduh pengacau, mubazir, dan ditunggangi, atau melakukan kegiatan tandingan untuk mengalihkan perhatian publik dan dunia, atau pun menghukum mereka, baik secara akademik maupun fisik, seperti pemukulan, penculikan dan penangkapan. ∎
Editor : MA