Anita dan Kuota 30 Persen
Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi
Penetapan jumlah 30 persen ditujukan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik.
Pada penghujung bulan Syawal 1442 H Koalisi Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sumatera Selatan (Sumsel) menyelenggarakan Hal Bi Halal. Ketua KPPI Sumsel RA Anita Noeringhati dalam sambutannya mengatakan, “Sejak Pemilu 1999 sampai Pemilu 2019, kuota keterwakilan perempuan 30 persen secara de facto di parlemen belum bisa terpenuhi.”
Pernyataan itu diulangi kembali oleh politikus Partai Golkar tersebut saat berbicara pada seminar bertajuk “Peningkatan Kapasitas Perempuan Politik dalam Rangka Pencapaian 30 Persen Perwakilan Perempuan Sumsel,” 7 Juni 2021.
Menurut politikus yang menjabat Ketua DPRD Sumsel, meski undang-undang memberikan jaminan penambahan keterwakilan perempuan dalam bidang politik di parlemen atau legislatif tetapi nyatanya masih banyak tantangan yang dihadapi kaum perempuan sendiri untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dan anak selama ini.
Anita Noeringhati mengungkapkan fakta tentang keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Sumsel pada Pemilu 2019 mengalami peningkatan dibanding pemilu sebelumnya. “Dari pemilu 2014 – 2019 keterwakilan perempuan di DPRD Sumsel berjumlah 11 orang. Pada Pemilu 2019 – 2024 jumlahnya meningkat menjadi 16 orang, diantaranya dari Partai Golkar tiga orang yang terbanyak dari PDI Perjuangan.”
“Untuk DPRD Provinsi Sumsel keterwakilan perempuan trennya sudah menaik. Ini yang sangat membanggakan, kenaikan ini menjadi indikasi partai politik telah menempatkan kader perempuan yang potensial dalam daftar caleg,” ujarnya.
Namun kondisi sebaliknya di kabupaten dan kota. Menurut Anita, keterwakilan perempuan di DPRD kabupaten dan kota masih ada rendah atau minim. “Ini yang perlu terus didorong KPPI agar pada Pemilu 2024 terjadi peningkatan. Khusus untuk DPRD Sumsel keterwakilan perempuan pada pemilu mendatang bisa mendekati 30 persen,” katanya.
Anita juga menjelaskan kepada para pengurus dan anggota KPPI Sumsel bahwa untuk Pemilu 2024 tahapan pemilu yang dilalui sangat lama, akan dimulai pada 2022 sampail awal 2024. “Ini merupakan tahapan pemilu terpanjang yang biasanya 12 bulan menjadi sekitar 24. Ini tahapan Pemilu terpanjang di dunia,” ujarnya.
Kepada anggota Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Anita Noeringhati mengajak, “Ayo kita bersatu, perempuan bersatu. Untuk kita duduk di parlemen tidak melihat warna baju, tetapi kita punya visi yang sama. Sebagai perempuan politik kita harus mencapai tujuan yang sama.”
Affirmative Action
Keterwakilan perempuan dalam demokrasi adalah keterwakilan gender dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Fenomena keterwakilan muncul pasca reformasi 1998 atau setelah tumbangnya Orde Baru (Orba) yang beralih ke demokrasi politik. Pada masa reformasi tersebut muncul konsep affirmative action.
Affirmative action atau tindakan afirmasi adalah tindakan khusus sementara (temporary special measures) yang dilakukan untuk mengejar ketertinggalan perempuan khususnya di bidang politik akibat adanya diskriminasi.
Affirmative action menurut Kunthi Tridewiyanti dalam “Kesetaraan dan Keadilan Gender di Bidang Politik – Pentingnya Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan di Legislatif,” (Jurnal Legislasi Indonesia, 2012), keterwakilan perempuan diperlukan karena suatu negara demokratis harus memperhatikan suara semua pihak, termasuk suara perempuan, secara sama. Untuk melaksanakannya diperlukan tindakan khusus sementara untuk mengejar ketertinggalan perempuan sehingga dapat mencapai de-facto equality dan dapat menjadi mitra yang setara dengan laki-laki.
Affirmative action juga sebagai tindakan koreksi, kompensasi dan promosi. Dalam kenyataan terlihat ada ketidakadilan terhadap perempuan sebagai warganegara khususnya mengenai partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik. Atau secara de facto belum setara dan adil.
Berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), jumlah minimum 30 persen merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan jumlah 30 persen ditujukan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik.
Terkait dengan dominasi yang bermuara pada diskriminasi, Indonesia telah sejak masa Orde Baru menyatakan komitmen penghapusan segala bentuk diskriminasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) atau CEDAW
Undang-Undang ini memuat tindakan khusus sementara atau affirmasi (affirmative action). Amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 ini bukanlah pengistimewaan bagi perempuan, melainkan bentuk koreksi dan kompensasi pelaksanaan kewajiban negara agar perempuan dapat mengejar ketertinggalannya.
Komite CEDAW PBB mendorong pemerintah Indonesia melaksanakan dan memperkuat penerapan “tindakan khusus sementara” sesuai Pasal 4 ayat (1) Konvensi dan Rekomendasi Umum Komite Nomor 23 dan 25 untuk mempercepat peningkatan partisipasi perempuan secara utuh dan setara dengan laki-laki di semua sektor dan di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan publik, politik, dan ekonomi, termasuk dalam dinas luar negeri, peradilan, pemerintah daerah, sektor pendidikan, dan swasta.
Untuk mewujudkan kuota 30 persen perempuan di parlemen, Anita Noeringhati memperingatkan kaum perempuan, bahwa peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, bukanlah suatu yang turun tiba-tiba dari langit dan tidak terjadi secara serta merta.
Semua akan terwujud karena perjuangan yang terus menerus untuk mewujudkan hak setiap orang untuk mencapai persamaan dan keadilan. Diantaranya dengan memperjuangkan terwujudnya peraturan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan dan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan.
Mengapa kuota perempuan penting? Menurut Titi Anggraini anggota Dewan Pembina Perludem mengutip “The Political of Presence” (Anne Phillips 2009) adalah : 1. Menuntut prinsip keadilan bagi laki-laki dan perempuan; 2. Menawarkan model peran keberhasilan politisi perempuan; 3. Mengidentifikasi kepentingan-kepentingan khusus perempuan yang tak terlihat; 4. Menekankan adanya perbedaan hubungan perempuan dengan politik, sekaligus menunjukkan kehadirannya dalam meningkatkan kualitas perpolitikan.
Di Indonesia, berdasarkan ketentuan undang-undang partai politik, undang-undang pemilu dan undang-undang lain, semuanya mewajibkan keterwakilan perempuan dalam aktivitas kebijakan publik dan aktivitas politik minimal 30 persen harus ada wakilnya dari pihak kaum perempuan. Undang-undang tersebut hadir sebagai bentuk affirmative action dalam mewujudkan keterwakilan perempuan tidak menjadi masalah lagi.
Lahirnya lebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik adalah perjalanan panjang bermula pada perubahan UUD 1945 lalu disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Melalui UU tersebut peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 menyebutkan, “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”
Kemudian peraturan tentang affirmative action terus disempurnakan, seperti lahirnya RUU Paket Politik yang digunakan dalam pelaksanaan Pemilu 2009, yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. UU No. 22 Tahun 2007 mengatur keterwakilan perempuan minimal 30 dalam keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu di KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Demikian pula halnya dalam UU No. 2 Tahun 2008 yang mengatur keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Tentu yang lebih penting dalam terhadap affirmative action terhadap perempuan pada partai politik, adalah pada Pasal 53 yang menyebutkan, “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30 persen (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.”
Pasal 52 mengatur mengenai daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh partai politik peserta Pemilu. Dalam affirmative action UU No. 2 Tahun 2008 mengatur adanya penerapan zipper system, yaitu sistem yang mengatur bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon terdapt sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan.
Walaupun regulasi atau kebijakan afirmasi telah hadir sebagai legalitas politik, namun keterwakilan perempuan belum memenuhi kuota tersebut, bahkan secara nasional belum mampu meningkatkan keterwakilan kaum perempuan di ruang politik secara signifikan. Pada pemilu kapan atau sampai berapa pemilu lagi kuota 30 persen tersebut bisa terpenuhi?
Pertanyaan berikutnya, apa yang membuat minimnya perempuan dalam politik atau di parlemen? Rasyidin dan Fidhia Aruni dalam “Gender dan Politik – Keterwakilan Wanita Dalam Politik” (2016) menjawabnya dengan melihat dari tiga perspektif atau pandang yaitu : Pertama, pendapat konservatif yang memandang bahwa perempuan tidak pantas terjun ke dunia politik, karena dunia politik merupakan domainnya kaum laki-laki. Pendapat ini memperkuat budaya patriarkhi.
Kedua, Pandangan Liberal, pandangan ini sejak awal kaum perempuan telah terlibat dalam politik, misalnya dalam Islam sejak awal munculnya Islam kaum perempuan sudah dilibatkan dalam aktivitas politiknya, karena itu bagian dari mengamalkan Islam secara kafah (komprehensif). Islam menempatkan kaum perempuan pada tempat yang paling mulia.
Ketiga, Pendapat Apologetis, pendapat ini memandang bahwa ada ruang atau wilayah yang perlu melibatkan perempuan dan ada wilayah yang tidak diperkenankan keterlibatan kaum perempuan di dalamnya.
Jawaban lainnya menyebutkan, ada hambatan psikologis yang menyingkirkan perempuan dari politik, selain budaya patriarki adalah sub ordinasi perempuan dan persepsi bahwa public domain (wilayah publik) diperuntukkan bagi laki-laki. Bahwa kontrak sosial adalah mengenai hubungan antara laki-laki dan pemerintah dan bukan antara warga negara dengan pemerintah – walaupun hak-hak perempuan dijamin oleh hukum.
Dengan waktu yang ada menjelang Pemilu 2024, perjuangan perempuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen harus terus digaungkan dan digerakkan. ∎
Editor : MA