NASIONAL

Ada Mural di PGK

Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi

Mural hadir dengan membawa makna dan pesan dari pembuatnya selain mengusung kepentingan estetik, menyuarakan kondisi sosial dan budaya.

Ternyata sampai pertengahan September 2021 topik seputar mural yang ramai sejak bulan Agustus belum usai beritanya di media massa. Kehadiran mural yang marak di berbagai kota tersebut juga terlihat menempel di dinding kota Pangkalpinang ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang kerap disingkat “Pgk.”

Mural tersebut dengan gambar seorang laki-laki berbaju putih dengan masker tertutup di mata pada ujung hidung ada lingkaran warna merah seperti yang kerap ada di hidung badut dan di kepalanya ada sepasang tanduk.

Mural itu terpajang pada dinding bangunan di jalan Yang Zubaidah. Di sebelahnya ada tulisan, “Inilah sajakku pamplet masa darurat.. Apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan.” Kata-kata tersebut adalah penggalan dari puisi “Sebatang Lisong” karya penyair besar Indonesia WS Rendra.

Belum diketahui siapa pembuat mural namun pada Kamis petang, 16 September 2021 anggota oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Pangkalpinang telah menghapus mural itu dengan cat karena dinilai melanggar Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Mural tersebut mendapat reaksi yang beragam dari aparat dan warga Pangkalpinang.

Sebelumnya, pada Maret 2021 di Pangkalpinang juga sempat muncul aksi vandalisme berupa grafiti pada beberapa tempat sehingga merusak keindahan kota tersebut. Polisi dari Polres Pangkalpinang berhasil menangkap dua orang pelakunya.

Mural di Indonesia mulai membuat geger setelah di media sosial ramai membahas mural yang menggambarkan wajah seseorang yang mirip Presiden Joko Widodo dengan tulisan “404: Not Found.” Mural tersebut terpajang pada dinding kolong kereta api Bandara Soekarno-Hatta di kawasan Jalan Pembangunan I, Kelurahan Bayu Jaya, Kecamatan Batu Ceper, Kota Tangerang.

Dalam setiap kejadian di banyak kota, mural, grafiti dan vandalisme kerap dipandang sebagai tiga serangkai yang tidak terpisahkan bila muncul aksi coret-coret di ruang publik atau dinding kota. Ada yang memahami mural itu grafiti atau sebaliknya dan dicap sebagai vandalisme.

Dalam pengertian yang sederhana atau dengan membuka kamus Bahasa Indonesia akan dijumpai arti dari grafiti adalah coretan dalam berbagai bentuk (kata, simbol, dan sebagainya) dan warna yang terdapat pada tembok atau dinding properti umum. Mural adalah lukisan pada dinding, dan vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lain (keindahan alam dan sebagainya) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.

Jika mengutip Wikipedia, grafiti berasal dari bahasa Italia graffito (coretan, lukisan atau tanda berupa gambar atau tulisan); merupakan bentuk seni rupa kontemporer (street art) yang menekankan pada bentuk-bentuk grafis dan tekstual. Medium grafiti adalah tembok atau permukaan lainnya. Seni grafiti merupakan sarana untuk menyampaikan kritik sosial-budaya, namun tidak jarang yang menjadikan grafiti sebagai sarana vandalisme.

Ada perbedaan mendasar antara mural dan graffiti. Mural berasal dari bahasa Latin “murus” yang berarti tembok, melukis tembok untuk tujuan aesthetic atau didactic yang dilakukan dengan berbagai teknik. Sifat mural pengerjaannya penuh ketelitian sehingga memunculkan kesan sempurna.

Berbeda dengan grafiti yang lebih bersifat spontan, lalu muncul kesan bahwa grafiti menghasilkan wajah buruk bagi kota. Ada juga yang mengatakan mural dan grafiti tidak berbeda, pada grafiti biasanya berupa tulisan tiga dimensi yang dibubuhi gambar dan mural biasanya identik dengan pembuatan gambar.

Lihat Juga  Jusuf Kalla : Minyak Goreng Curah Masih Menjadi Pilihan Bagi Masyarakat Kecil

Mengutip R Yuliawan dalam Mengenal Mural dari Waktu ke Waktu,” “Meski memanfaatkan media yang sama, mural dibedakan dengan grafiti dan fresco. Mural dan graffiti dibedakan berdasarkan objeknya, grafiti lebih menekankan pada stilisasi rangkaian huruf dan biasanya dikerjakan dengan cat semprot (airbrush), sering disebut “spray-can art”, sedangkan mural lebih menekankan pada kemampuan drawing (menggambar objek).

Mural dan grafiti adalah seni kontemporer yang kerap disebut sebagai street art yang hadir pada kalangan masyarakat pascamodern sebagai seni kontemporer.  Street art (seni jalanan) merupakan gaya seni yang berada atau hadir di tengah-tengah ruang publik, lokasi penting dan dikenal  dengan tujuan agar karya seni mudah dilihat dan diakses oleh khalayak. Objek seni publik ini menggunakan objek-objek yang sudah populer di masyarakat.

Street art banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari antara lain mural (grafiti) dan instalasi. Mural adalah seni rupa kontemporer yang menggunakan tembok, dinding, atau permukaan luas lain yang bersifat permanen sebagai medium atau kanvas ekspresinya; menyerupai grafiti, tapi lebih mengarah pada bentuk gambar dan karikatur.

Sejarah Mural

Ada yang menyebut dan menulis dalam berbagai literatur bahwa mural sudah berkembang lama sejak berabad-abad lalu. Sejarah mencatat lukisan mural tertua ada di Lascaux Prancis dan Altmaira di Spanyol berupa lukisan di dinding gua sejak 30.000 – 12.000 Sebelum Masehi (SM). Kemudian mural dijumpai di China ada sekitar1.700 SM.

Dalam perkembangan pada periode Kristen dan Binzantin muncul teknik baru mural berupa mozaik. Kemudian pada abad 17 sampai 19 mural menjadi pilihan lukisan seniman seperti pelukis Italia Peter Paul Rubens, Giovanni Battista Tiepolo dari Jurman dan Francisco de Goya dari Spanyol.

Mural modern sendiri baru berkembang pada tahun 1920-an di Meksiko yang dipelopori seniman Diego Rivera, Jose Clemente Orozco dan David Alfano Siqueiros. Para seniman tersebut membuat yang memperkenalkan identitas nasional baru pasca tumbangnya diktator Porfino Diaz. Puluhan mural menghias ruang publik pada dinding kota. Masa itu dianggap sebagai tonggak penting bagi wacana seni publik.

Saat depresi ekonomi melanda Amerika Serikat pada tahun 1930 seniman George Biddle menyarakan kepada Presiden Amerika Serikat waktu itu Roosevelt untuk membuat program ‘padat karya’ yang mempekerjakan seniman untuk melahirn seni publik dalam skala nasional. Tahun 1933 muncul proyek pertama berupa pembuatan 400 mural dengan nama Public Work of Art Project (PWAP) yang dibiayai pemerintah.

Kemudian proyek mural tersebut dengan persetujuan Kongres AS mulai dilakukan pengerjaan 2.500 mural yang dinamakan Federal Art Project (FAP) dan Treasureji Relief Art Project (TRAP). Suksesnya dua proyek tersebut sepanjang 1935 sampai 1943 dilaksanakan proyek The Work Progress Administration (WPA). Pada 1943 proyek ini dihentikan karena pecah Perang Dunia II.

Setelah perang dunia usai, mural pun merambah benua Eropa. Menjelang revolusi Mei 1968 pada hampir setiap sudut dan dinding atau tembok-tembok di jalan dihiasi dengan tulisan grafiti. Mural di Eropa menjadi simbol perlawanan seperti dilakukan simpatisan dan gerilyawan Sinn Fein yang melukis tembok dengan pesan menolak pendudukan Inggris di Irlandia. Irlandia Utara menjadi negara sangat produktif memproduksi mural di dunia. Sejak 1970 hingga saat ini sudah lebih 2.000 mural dihasilkan.

Di Indonesia mural mulai muncul pada masa revolusi tahun 1945 dengan banyak bermunculan street art yang menjadi bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pasa masa itu banyak bermunculan mural dan grafiti yang berfungsi sebagai agitasi berisikan seruan untuk kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan melawan imperialisme Barat. Pada masa itu mural berfungsi sebagai propaganda efektif dalam menyebarkan semangat mengusir Belanda dari bumi pertiwi.

Lihat Juga  Khofifah Minta Pembakaran Stadion GBT Diusut Tuntas

Mural hadir dengan membawa makna dan pesan dari pembuatnya selain mengusung kepentingan estetik, menyuarakan kondisi sosial dan budaya. Melalui mural seseorang dapat menuangkanekspresinya guna menyampaikan pesan kepada masyarakat ataupun pemerintah dalam bentuk visual atau gambar di ruang-ruang publik. Seni mural memberikan pesan melalui komunikasi nonverbal. Dengan cara melihat dan memaknai dari struktur gambar yang terpasang, terdapat makna di dalamnya dan mengetahui apa maksud dan tujuannya.

Media Luar Ruang

Mural lebih akrab dan sering ditemukan di kota-kota besar, terpajang di ruang publik seperti dinding atau tembok bangunan kota. Di kota-kota itu juga banyak dijumpai media luar ruang yang juga menggunakan ruang publik dengan ukurannya yang besar. Ruang publik di kota menjadi arena perebutan pengaruh atau kekuasaan antara mural dan media luar ruang yang sama-sama membawa pesan.

Bukankah sama antara mural dan media luar ruang yang mengisi ruang publik? Mural adalah urban art yang menjadi wadah dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat kota. Mural adalah media yang efektif dalam penyampaian pesan khususnya masalah-masalah di perkotaan.

Saat ini seni bukan hanya karya yang ditampilkan di ruang pameran atau  galeri berudara penyejuk. Seni juga sudah hadir ruang publik bukan melalui media kanvas atau poster tetapi terpajang pada dinding-dinding kota bisa menjadi media ekspresi bagi Bomber. “Bomber” adalah sebutan bagi pelaku atau pembuat mural.

Di banyak kota dan daerah, media luar ruang dalam bentuk papan iklan berukuran besar di ruang publik mendapat izin karena memberikan profit. Mural dilarang karena dituding merusak keindahan kota dan tidak memberi kontribusi bagi pendapatan asli daerah.. Tentu tidak semua kota melarang atau menghapus karya mural.

Jika di Amerika Serikat seni mural didanai pemerintah, di Indonesia juga ada pemerintah membiayai pembuatan seni mural seperti yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta melalui dana APBD sejak tahun 2003. Pesertanya bukan hanya seniman mural dari dalam negeri tapi ada juga dari San Fransisco Amerika Serikat yang tergabung dalam Clarion Alley Mural Project. Di kota gudeg ini para seniman mural atau bomber membentuk wadah atau komunitas bernama “Jogja Mural Forum” (JMF).

Seni mural saat ini hadir sebagai bentuk kegelisahan pada kondisi yang terjadi di tengah masyarakat, sekaligus kegelisahan kepada kota tempat bermukim agar menyediakan alternatif estetis bagi warga kota yang mungkin sudah merasa pengap karena sudah dipenuhi oleh polusi, kebisingan, kekerasan, tidak teraturnya papan billboard atau media luar ruang dan poster maupun pamflet di dinding yang sudah mengarah pada vandalisme. Mural hadir untuk menjembatani komunikasi yang tersumbat, secara visual dan estetis seperti lirik lagu Iwan Fals berjudul “Coretan di Dinding.”

“Coretan di dinding membuat resah
Resah hati pencoret mungkin ingin tampil
Tapi lebih resah pembaca coretannya
Sebab coretan di dinding adalah pemberontakan

Kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah
Ditiap kota
Cakarnya siap dengan kuku-kuku tajam
Matanya menyala mengawasi gerak musuhnya
Musuhnya adalah penindas.”

Editor : MA

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button